Sebuah fatwa dikeluarkan. Isinya mudik diharamkan mulai 2010. Tindak lanjutnya, semua jalur yang kemungkinan akan dilalui pemudik dijaga ketat. Jalur pantura misalnya, seluruh satuan polisi dan tentara siaga berjaga-jaga di tempat itu. Pemudik yang tertangkap akan dikenakan sangsi kurungan dan denda.
Fatwa mengharamkan mudik dikeluarkan karena beberapa pertimbangan. Pertama, mudik menyebabkan kemacetan di mana-mana. Kedua, ibukota negara (Jakarta) jadi lengang. Ketiga, mudik menyebabkan perpindahan manusia dan uang ke daerah. Keempat, ibu-ibu jadi kerepotan karena semua pembantu mudik. Kelima, bapak-bapak terpaksa ikut masak, ngepel, dan mencuci baju. Keenam, anak-anak jadi terlantar karena tidak ada yang mengurus. Ketujuh, Â biaya pembantu pengganti (infal) sangat mahal. Kedelapan, para pemudik biasanya kembali dengan membawa saudara dan kerabatnya. Kesembilan, lebaran tidak harus dilakukan di kampung halaman. Kesepuluh, dengan adanya sistem komunikasi yang sudah canggih, bermaaf-maafan bisa dilakukan melalui telepon, sms, email, blog, Facebook, Twitter, Youtube, dan layanan-layanan sejenis.
Siapa yang membuat fatwa? Yang berwenanglah yang melakukan. Mereka menggondok kemudian secara resmi mengeluarkan fatwa tersebut ke masyarakat. Mereka itu siapa? Merekalah yang disebut dengan PJRI. Apakah sejenis MUI? Tidak. PJRI adalah organisasi independen yang tidak ada kaitannya dengan MUI. PJRI merupakan kependekan dari Persatuan Juragan Republik Indonesia. Sebuah organisasi yang berseberangan dengan PBB. Bukan, bukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi Persatuan Babu-Babu. Apakah fatwa itu serius? Tentu saja tidak!
Saya hanya berandai-andai. Melihat kegiatan periodik dan kolosal seperti mudik yang merepotkan semua pihak, siapa tahu kemudian muncul ide gila mengharamkan rutinitas tahunan tersebut. Penguasa negeri ini kan kadang suka aneh-aneh. Hal-hal yang tidak masuk akal tidak jarang terjadi. DPR yang katanya wakil rakyat saja mengkhianati yang memberi amanah. Kebijakan yang jelas menyakitkan hati rakyat ngotot dijalankan, seperti rencana pembangunan gedung DPR. Jadi siap-siap saja bila tiba-tiba muncul kebijakan menggelikan semacam fatwa di atas.
Bicara mudik artinya bicara banyak hal. Kegiatan yang dilaksanakan menjelang lebaran itu merupakan aktifitas multi dimensi. Mudik bukan hanya semata-mata pulang kampung. Mudik bisa berarti kenyamanan hati. Para pemudik merasa tenteram karena sebentar lagi berada di kampung kelahiran. Jiwa mereka kembali menyatu seutuhnya setelah terpisahkan sekian lama. Ikatan emosi yang kuat dengan kuat pula menarik mereka pulang ke tempat asal mereka dilahirkan. Lingkungan tempat tinggal, teman-teman lama yang juga teman sepermainan masa kecil, dan bau air sungai misalnya, adalah sebagian magnit yang menarik mereka kembali ke kampung.
Kebanggaan juga bisa terkait dengan kegiatan mudik. Bagi mereka yang tinggal di kampung, orang-orang yang mudik adalah orang-orang sukses. Anggapan inilah yang kemudian menjadikan sebagian pemudik memaksakan diri untuk tampil sukses. Malu rasanya jika pulang kampung tidak membawa apa-apa. Dan bangga terasa ketika mudik  membawa materi yang kasat mata. Pengakuan sukses di perantauan akan muncul karenanya. Meskipun ujung-ujungnya, meninggalkan hutang di mana-mana.
Acara yang terjadi setahun sekali ini bisa menafikan kesengsaraan sebelum dan sesudahnya. Bagaimana mereka harus berdesak-desakan di kendaraan umum saat berangkat atau kepanasan di dalam kemacetan bukan hal yang perlu dirisaukan. Kampung halaman mampu menyihir mereka untuk berjuang agar sampai ke sana. Setelah lebaran, romantisme kampung halaman dan suka cita saat lebaran bisa membius mereka dalam perjalanan pulang. Apabila akibat lebaran di kampung halaman kemudian mendatangkan tagihan hutang, itu resiko yang tidak perlu dipantang. Apapun yang terjadi saat berangkat atau sesudahnya, mudik tetap menjadi perjalanan yang bagi mayoritas masyarakat wajib dilaksanakan. Dengan demikian, seandainya mudik diharamkan, saya yakin mereka tetap akan senang dan sukarela melanggarnya untuk bisa pulang ke daerah kelahiran. Kembali ke kampung penuh kenangan.
Bagi anda yang akan mudik, berhati-hatilah di jalan. Semoga selamat sampai tujuan. Dan juga, saya ucapkan selamat berlebaran di kampung halaman.
Mudik memang memiliki dan menimbukan sensasi lain. aku akan selalu melakukannya walau pulang seminggu sekali juga terjangkau
@MT: maksih komennya 😆
hahaha WKF emang gokil ah! selalu bisa bercanda dalam tulisan yg enak dibaca
[…] mudik kah? Mudik tidak haram […]
@anKa: hemat sehat cermat tuh hehehe…
@Omanta: ayo…
Ehmm Apakah nuansa mudik ini terjadi dinegara lain???
Kalau enggak berarti ini adalah Budaya Bangsa yang
harus dilestarikan duonk…
Ayo..Dukung “MUDIK LEBARAN” menjadi salah satu warisan
budaya Dunia….
saya mau mudik ke bogor ajah ach… yang deket2 ajah..
@Awam: ke demak & salatiga om. makasih dah ditengok 8)
Wah, Mas Adi ini jago bikin “gara-gara” rupanya, he he. Ngomong2, mudiknya ke mana nih?
@isdiyanto: terima kasih doa dan komentarnya 😉
kirain serius mas, ternyata…. he..he..
selamat menempuh perjalanan mudik,
semoga selamat sampai kampung halaman,
bisa berlebaran bersama keluarga,
bermaaf-maafan di hari raya nan fitri…