Hari ini saya akan melakukan perjalanan panjang menuju kampung halaman. Dan ketika anda sedang membaca ini, barangkali saya sudah di atas kendaraan yang menghantarkan saya dan keluarga. Atau saya malah sudah berada di rumah.
Layaknya seperti keluarga Indonesia lainnya, menjelang lebaran kali ini saya juga pulang kampung atau lebih populer disebut mudik. Hal ini juga dikarenakan ada rejeki baik berupa dana, waktu, dan kesehatan. Dengan niat bismillah, saya ayunkan langkah menuju kampung halaman. Semoga selamat sampai tujuan. Bisa bertemu dan berkumpul bersama keluarga, kerabat, dan sahabat.
Meski sebagian berpendapat bahwa yang namanya mudik tidak harus dilakukan menjelang Idul Fitri, untuk kali ini, saya memilih untuk tidak mengikuti pendapat itu. Pada umumnya pula, mayoritas saudara-saudara kita memilih untuk pulang kampung di bulan Ramadhan. Mereka memiliki banyak alasan melakukan hal itu, salah satunya adalah agar bisa sholat Idul Fitri bersama keluarga besar di kampung asal. Saya juga sama, ingin sholat Id dengan mereka yang saya sayangi di kampung halaman.
Mudik tidak salah bila dikatakan sebagai tradisi. Sebenarnya makna dari mudik sendiri tidak selalu terkait dengan lebaran atau Idul Fitri. Bila kita mengacu ke KBBI, mudik memiliki arti pulang ke kampung halaman. Namun demikian, istilah ini sering diucapkan apabila kepulangan ke kampung halaman itu dilakukan menjelang lebaran. Kita tidak menyebut mudik bila pulang kampung dilakukan di luar Ramadhan. Pergeseran maknakah? Bukan ini yang ingin saya bahas. Silakan anda telaah sendiri apakah penggunaan istilah mudik ini mengalami pergeseran makna atau tidak.
Bila mudik dianggap sebagai tradisi, dalam prakteknya memang tidak salah khususnya menjelang lebaran. Kegiatan pulang kampung selalu dilakukan dan direncanakan oleh sebagian dari kita. Bukan hanya yang tinggal di Indonesia, bahkan mereka yang berada di luar negeri juga akan melakukan hal ini bila memiliki kesempatan. Anjuran sebagian orang untuk menunda atau memindahkan acara mudik ke waktu yang lain tidak akan gampang diikuti. Hal ini disebabkan mudik bukan hanya sekedar pulang ke kampung halaman tetapi tradisi ini melibatkan emosi yang terkait dengan momen lebaran yang tidak mungkin digantikan dengan waktu lain di luar lebaran. Itulah sebabnya dalam kondisi apapun, orang akan berupaya untuk bisa mudik. Ibarat seekor unggas, sebutannya boleh sama yaitu ayam tetapi daging ayam kampung dengan daging ayam negeri jelas beraroma dan bercita rasa beda. Sama-sama pulang kampung, mudik menjelang lebaran tentu saja tidak akan sama dengan mudik di luar lebaran.
Terkait dengan ‘rasa’, mudik menjelang lebaran jelas tidak tergantikan. Meski terkadang terlihat konyol dan tidak masuk akal, orang tetap akan mudik. Begitulah yang namanya ‘rasa’. Acap kali rasa tersebut tidak bisa dinalar karena bukan di situ wilayahnya. Dalam urusan mudik, lebih sering emosi dikedepankan. Tidak heran bila kita kemudian melihat mereka menentang bahaya berkendara dengan penumpang melebihi kapasitas, berdiri semalaman di samping atau depan loko kereta api, atau membawa barang yang sebenarnya ada dan bisa dibeli di tempat tujuan.
Penggunaan logika dalam mudik mungkin saja tetap bisa dilakukan. Namun akhirnya percuma bila logika itu hanya jalan di luar pelaku mudik itu sendiri. Artinya, boleh saja pejabat atau siapapun menghimbau para pemudik untuk berpikir kembali sebelum memutuskan mudik, tetapi jika si pemudik sendiri lebih mendahulukan emosi, jangan harap yang namanya logika akan bisa berjalan dengan baik. Emosi kok dinalar. Emosi itu ya disalurkan dan diarahkan. 😉 Bila sudah demikian, yang bisa dilakukan adalah membantu bagaimana emosi massa yang selalu terbentuk menjelang lebaran ini bisa difasilitasi dengan baik sehingga kelancaran, ketertiban, kesehatan, keamanan, dan keselamatan mereka bisa dijaga sampai mereka semua tiba di tujuan masing-masing.
Bagi perantau, mudik menjelang lebaran bukan hanya sekedar tradisi. Ada aneka ‘rasa’ di dalamnya. Untuk mereka, mudik bisa menjadi keniscayaan (tidak boleh tidak/kepastian). Pun bagi saya, pulang kampung kali ini adalah sebuah perjalanan menuju keniscayaan. InsyaAllah.
Sumber gambar: di sini
@Anton: setuju banget dg semua yg dikatakan
Aplg kalau mudik disertai dg niat unt silaturahmi ke ortu & saudra,unt sdkt berbagi kebahagiaan dg mrk krn bisa berkumpul bersm ank-cucu meski hanya sbntar & brngkl hanya sekali dlm 1 tahun. Tentu sj adab2 slm dlm perjalanan mudik hrs dijaga:tdk meninggalkan sholat, tertib berlalu-lintas,tdk membuang sampah sembarangan,tdk melakukan hal2 yg bisa merugikan orng lain spt menyerobot jalan dll. Semoga ini bs mnjadikan mudik kita penuh berkah,sbg penyempurna ibadah puasa kita..