Jika sudah menyangkut urusan perut, apa pun akan dihantam. Ya, ayam juga begitu. Bila semangat menghantam karena urusan lapar itu kita jalani tanpa melibatkan nurani dan pikiran, tak ubahnya kita ini sebangsa ayam dan gerombolan binatang lain. Kita ini manusia, lho. Ingat! Kita manusia, bukan binatang. Yang kita miliki perut, bukan tembolok.
Kita punya periuk nasi, memang. Periuk itu harus kita jaga agar tetap berisi dan mengepulkan asap, jelas. Tapi jangan sampai periuk itu kemudian kita isi dengan cara yang sebagaimana binatang lakukan. Sebagai manusia, tidak sepatutnya kita berperilaku layaknya binatang. Yang diperoleh itu baik atau tidak, cara mendapatkannya benar atau tidak, seharusnya menjadi perhatian. Bukan sekadar bertekad dan berprinsip yang penting periuk nasinya terisi. Jika itu yang terjadi, alamak, tidak lebih baiklah kita ini dari ayam-ayam tetangga saya yang suka menghadiahi crot di teras rumah setiap hari.
Jangan tersinggung, ya? Kita ini beda tipis dengan binatang. Bahkan kadang sama dengan mereka. Atau celakanya lagi, suatu saat kita ini malah ada yang lebih binatang dari binatang itu sendiri. Tirai tipis mendasar yang menjadi pembeda antara manusia dan binatang adalah nurani dan pikiran (akal). Dua itulah hal utama yang eksklusif dimiliki manusia. Lainnya, apa yang dimiliki manusia, hampir semua juga dimiliki binatang. Salah satu contohnya adalah otak. Manusia dan binatang mempunyai otak. Penggeraknya yang berbeda. Bila ayam, misalnya, setiap hari keluar pagi pulang petang mencari makan, yang menggerakkannya lewat otak hanyalah naluri hewaninya. Selama temboloknya penuh, dia tak akan mencari makan lagi. Setelah temboloknya penuh dan ambang petang menjelang, dia akan pulang dengan tak membawa makanan untuk dia simpan di dalam periuk di dalam kandangnya. Itu pun bila ada ayam yang menyimpan periuk di kandang. 😀 Manusia? Sama! Bila manusia berangkat pagi pulang petang untuk mengais rejeki, dia juga digerakkan oleh otak. Bedanya, otaknya bukan hanya digerakkan nalurinya yang manusiawi bahkan kadang-kadang hewani juga, tetapi juga oleh nurani dan pikiran atau akal. Itulah sebabnya, kita ini, bila masih merasa manusia, akan pulang kerja bukan hanya setelah perut kenyang tetapi juga memikirkan periuk yang di rumah. Periuk yang kita kelola sendiri, bukan periuknya binatang.
Nurani dan pikiran. Ya, dua hal itulah yang semestinya menjadi pembeda antara kita dengan binatang. Memikirkan periuk nasi jelas harus kita lakukan. Namun jangan sampai hanya periuk itu yang menjadi fokus. Jangan sampai kita lupa bahwa saat kita membanting tulang memeras keringat, kita bersinggungan dengan manusia lain. Ada norma-norma dan etika yang semestinya kita perhatikan. Hanya karena peduli dengan periuk sendiri, jangan lantas kita abai dengan sopan-santun itu. Kita ini memiliki nurani dan pikiran (akal) sebagai manusia. Gunakanlah keduanya dalam mengisi periuk nasi kita. Dengan demikian, kita jadi seperti laba-laba. Akan merasakan getaran bila jaring-jaringnya tersentuh. Kita akan lebih bersimpati dan yang lebih penting lagi berempati terhadap manusia lain. Saat pekerjaan kita membuat tidak nyaman pihak lain, merugikan manusia lain, dengan gampangnya kita akan bisa mengidentifikasi karena kita menggunakan nurani dan pikiran. Bila dalam mencari isi periuk kita tidak menggunakan nurani, tak memakai pikiran, maka yang tertinggal hanya otak. Sama seperti ayam dengan temboloknya.
Jika kita berperilaku seperti ayam yang hanya mengandalkan naluri, celakalah manusia ini. Kita punya perut, bukan tembolok, jadi jangan sampai berperilaku seperti ayam. Kita memiliki otak, binatang juga. Tapi kita bukan binatang, kan?
Sumber gambar: di sini