Kembali tulisan kritis Maman S. Mahayana bisa saya nikmati. Dalam epilog yang dia tulis untuk buku antologi cerpen pilihan Kompas 2012, Laki-laki Pemanggul Goni, Maman mengupas habis dua puluh cerita pendek yang ada di dalamnya. Dalam tulisan yang dia beri judul Potret Indonesia dalam Cerpen, pisau kritiknya yang tajam, bahkan terlalu menyakitkan untuk beberapa cerpen yang dia kupas, menguliti kerat demi kerat kedua puluh cerpen di dalamnya. Saya tidak heran bila ada penulis yang kemudian tersakiti karenanya.
Sebagai seorang kritikus sastra, memang sudah selayaknya yang dia kerjakan menguliti apa yang bisa dikuliti dari segala sisi. Menganalisis sampai tak ada yang tersisa, sampai habis. Perihal tajam tidaknya analisis yang dia berikan, itu terkait dengan persepsi pemilik tulisan yang sedang dikupas. Saya pribadi merasa senang andai tulisan saya yang dikritik habis-habisan, dibantai sampai ke hal paling kecil. Semakin keras kritik yang diberikan, semakin menyenangkan bagi saya. Sebuah bentuk masokhis sastrawi? Bisa jadi! 😀
Jam terbang kepenulisan dari para cerpenis yang tergabung dalam antologi tersebut sekilas tergambar dalam tulisan Maman. Penulis sekelas Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, Martin Aleida, dan Arswendo Atmowiloto, misalnya, bisa dibilang tak banyak disentuh. Bisa dibilang sedikit kritikan diberikan untuk cerpen mereka. Beda dengan penulis lain. Terhadap karya penulis-penulis yang sebagian di antara mereka merupakan cerpenis muda, Maman berlaku ‘kejam’. Pisau kritiknya menyayat di sana-sini. Perih, mungkin, bagi penulisnya, namun mencerahkan untuk pembaca. Maman menguliti satu per satu cerpen yang ada. Sebagai pembaca, saya menikmati betul sayatan-sayatan yang dia buat.
Dalam mengkritik, Maman tampak tak berpihak pada belas kasihan. Bila dia dibilang sadis, memang tidak salah. Bagaimanapun juga, kesadisannya berfokus pada cerpen yang menjadi tanggung jawabnya untuk dikupas. Yang dia lakukan semata-mata sebatas kapasitas dia sebagai pihak yang diberi tanggung jawab menulis epilog. Satu hal yang saya salut dari hasil kerja Maman sebagai kritikus kumpulan cerpen Kompas 2012 ini adalah dia memang menjalankan perannya. Tulisannya mencerminkan keberanian, kemandirian, dan yang terpenting, apa yang dia tuliskan bukan sesuatu yang ‘asbun’. Maman S. Mahayana jelas memiliki bekal saat dia menjalankan tugas sebagai seorang ‘jagal’.
Sebagai sebuah epilog, 52 halaman menurut saya sangat berlebihan. Tulisan Maman nyaris menyita 20% dari tebal buku yang berjumlah 268 halaman. Namun bila menengok isinya, ketebalan itu harus dimaklumi karena memuat kupasan-kupasan kritik yang dalam untuk 20 cerita pendek. Barangkali pertanyaan lanjutan yang muncul, “Memang perlu sebanyak itu dalam mengupas?” Jawabannya bisa ya, bisa sebaliknya. Tidak semua penulis yang ‘dihabisi’ Maman dalam buku tersebut barangkali gembira dengan panjang lebarnya kritik dia atas karyanya. Bisa jadi ada yang sakit hati dan ‘terpaksa’ menerima kritik tersebut sambil mengirimkan ucapan terima kasih. Namanya juga asumsi, bisa saja dugaan saya ini salah.
Hal lain yang perlu dikritik adalah masih ditemukannya kesalahan penulisan. Ini barangkali sepele dan bisa jadi memang Maman yang melakukan kesalahan, namun bagaimanapun juga, ketika sebuah buku diterbitkan, tanggung jawab terhadap kebenaran penulisan tentu saja ada di pihak penyunting (penerbit). Meski kecil, sepele, kesalahan itu tetap mengganggu. Beberapa gangguan itu ditemukan di beberapa halaman. Kata “memertontonkan” (halaman 196, baris keenam dari bawah) harusnya “mempertontonkan”. Huruf ‘p’ di awal kata dasar yang langsung diikuti huruf vokal memang luluh saat mendapat awalan ‘me’, misalnya pacul dan pijit. Namun ‘p’ dalam kata “pertontonkan” bukanlah awal kata dasar tetapi huruf depan dari awalan ‘per’. Kata dasar dari kata “pertontonkan” atau “mempertontonkan” adalah “tonton”. Dengan demikian, ketika “pertontonkan” kembali mendapat awalan’me’ maka huruf ‘p’ tersebut tidak akan luluh dan tetap menjadi kata “mempertontonkan”, bukan “memertontonkan”. Itu argumen yang bisa saya berikan. Dasar saya adalah kata “memertontonkan” tidak saya temukan dalam lema ‘tonton’ di KBBI edisi ketiga halaman 1206, KBBI daring yang beralamat di http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/, atau aplikasi KBBI untuk android. Yang ada dalam ketiga media tersebut adalah kata “mempertontonkan”. Mungkin Maman memiliki rujukan lain. Entahlah.
Kesalahan berikutnya adalah awalan ‘di’ ditulis dua kali di halaman 224 pada baris kelima paragraf kedua. Kekeliruan yang seharusnya tidak perlu terjadi untuk urusan yang sangat sepele ini. apalagi bagi penerbit sekelas Kompas.
Terus terang, barangkali ini hanya sekadar rasa penasaran saya terhadap kata “sesiapa”. Maman menggunakan kata itu dalam kalimat, Sesiapa pun manusia punya kebebasan memilih, yang terdapat pada halaman 236 paragraf kedua. Kembali saya menggunakan rujukan KBBI untuk penggunaan kata tersebut, dan saya tidak menemukan lema “sesiapa”. Awalan ‘se’ memang bisa berarti satu, bisa pula bermakna tidak dikenal. Sebagai contoh, seorang berarti satu orang. Seseorang dalam kalimat, tadi ada seseorang menelepon Anda, yang saya ambil dalam KBBI edisi ketiga halaman 802, memiliki arti seorang yang tidak dikenal. Saya belum menemukan rujukan yang digunakan Maman dalam penggunaan kata “sesiapa”. (Mendapati kata “sesiapa”, saya jadi teringat kata “tetiba” untuk pengganti “tiba-tiba” yang beberapa kali saya temukan digunakan orang). Apakah kata tersebut memang sudah disepakati penggunaannya atau hanya sebentuk kesalahkaprahan? Apakah sesiapa bisa disetarakan dengan seseorang? Sayangnya, KBBI tidak memberikan jawaban. Saya tidak menemukan kata sesiapa, pun tetiba, dalam KBBI yang biasa saya jadikan acuan. Bila di dalam kamus yang menjadi rujukan dalam penulisan saya itu tidak ada, Maman barangkali menggunakan buku lain entah apa yang dia jadikan landasan.
Kealpaan dalam penulisan kembali saya temukan di halaman 236 paragraf kedua untuk kata “dialog41” yang seharusnya “dialog41” dan satu lagi di halaman 251 baris kedua dari atas, kata “sosiologis.51” semestinya ditulis “sosiologis.51”.
Epilog berjudul Potret Indonesia dalam Cerpen memang renyah dinikmati. Maman dengan panjang lebar menguraikan alasan atas judul itu, yang pembaca mustahak menerimanya. Di satu sisi, epilog setebal 52 halaman untuk antologi 20 cerpen Kompas menunjukkan keseriusan Maman S. Mahayana menggarap tulisannya. Di sisi lain, epilog itu bak burung merak yang membentangkan, melebarkan, bulu ekornya untuk memamerkan keindahan di musim kawin untuk menarik perhatian betinanya. Siapa yang menjadi betinanya? Para pembaca, tentu. Seperti yang dikatakan seorang teman perihal epilog itu, dengan membaca epilognya, pembaca bisa jadi sudah tak tertarik lagi untuk membaca cerpennya. Nah, lho.
Bagaimanapun juga, saya wajib mengucapkan tahniah untuk munsyi yang satu ini. Tabik.
Sumber gambar: koleksi pribadi
Mau tanya kang, paragraf 9 »» Kealpaan dalam penulisan kembali saya temukan di halaman 236 paragraf kedua untuk kata “dialog41” yang seharusnya “dialog41”
Bedanya “dialog41” pertama dgn kedua di mana kang? Nanya serius iki #macakkritikus 😀
@profijo: angka 41 di dialog41 kedua harusnya berupa superscript (posisi tulisan lebih tinggi). Sekarang sudah dibetulkan. Terima kasih koreksinya. 🙂