Langit Yogyakarta masih hitam jengat saat bus Sepuluh Bersaudara memasuki Terminal Jombor. Di sekeliling terminal, temaram. Terminalnya sendiri terang benderang. Di setiap peron terdapat kursi-kursi panjang dengan posisi saling membelakangi yang diterangi barisan lampu neon di atasnya. Kursi yang jadi tempat duduk penumpang menunggu bus datang saat itu hanya diduduki beberapa orang. Mereka adalah sopir mobil omprengan dan pedagang asongan. Para penumpang yang turun dari bus Sepuluh Bersaudara segera dikerubuti mereka. Dengan sopan tapi agresif mereka menawarkan mobil omprengan. Para pedagang asongan mencoba menawarkan kopi panas dan rokok. Terminal Jombor menjadi riuh. Jam dinding yang menempel di tembok terminal menunjukkan pukul empat.
Duloh, Hohah, dan Wekape menjauhi kerumunan begitu turun. Ketiganya pucat pasi. Dengan sempoyongan mereka bergegas menuju pohon angsana yang berderet di sebelah pagar terminal. Seperti dikomando, ketiganya jongkok mengelilingi pohon. Hampir dalam waktu bersamaan, ketiganya mengeluarkan isi perutnya. Paduan suara babi digorok segera terdengar. Dua tiga kali. Setelah itu berhenti. Mereka sudah tak peduli jika jadi perhatian orang lain.
“Tas di bagasi sudah di ambil?” Wekape tiba-tiba bertanya.
“Belum.”
“Belum.”
Ketiganya baru sadar jika tas punggung yang berisi pakaian dan barang lain yang mereka taruh di bagasi belum diambil. Mereka segera berlari ke arah bus.
“Ini tas-tas sampeyan, Mas?” Kernet bis yang longak-longok mencari pemilik tiga tas punggung yang masih berada di bagasi segera bertanya saat melihat tiga manusia dengan wajah pucat menghampiri.
“Hiya.” Duloh yang menjawab.
Ketiganya segera mengambil tas masing-masing. Mereka kemudian duduk di bangku panjang terdekat. Untuk beberapa saat mereka hanya diam. Pusing masih menyerang kepala mereka akibat mabuk darat. Mereka sepakat menuju Umbulharjo, tempat penjemputan oleh panitia #NgopiKere, setelah terang tanah. Sambil menunggu, ketiganya merebahkan diri berbantal tas.
Duloh, Hohah, dan Wekape akhirnya sampai di lokasi acara #NgopiKere, di sebuah desa bernama Gunung Kelir yang berada di puncak Bukit Menoreh. Hawa sejuk menerpa wajah tiga sekawan dari Komunitas Serabi Jenggot ini. Lega rasanya mereka akhirnya sampai di tempat yang dituju tanpa terjadi apa-apa kecuali sedikit pusing yang masih tersisa. Saat di mobil panitia penjemputan, mereka tak buka mulut sepanjang perjalanan. Mereka takut akan muntah lagi. Mau ditaruh di mana muka mereka. Ketiganya duduk di bangku belakang. Mereka hanya menjadi pendengar obrolan tiga gadis muda yang duduk di deretan bangku tengah di depan mereka. Tiga gadis itu saat berkenalan mengaku bernama Nabil, Joling, dan Sahara. Mereka dari Jakarta menggunakan kereta api, turun di Stasiun Tugu.
Gunung Kelir begitu hijau. Desa ini dikelilingi aneka pepohonan. Sejauh mata memandang yang terlihat hamparan menghijau yang berasal dari beragam tumbuhan. Pohon kopi, coklat, cengkih serta pinus dan meranti banyak terdapat di Gunung Kelir dan di sepanjang jalan menuju desa nan elok ini. Dalam perjalanan tadi, Wekape melihat tanda arah menuju objek wisata Gua Seplawan. Seingat dia, salah satu acara yang ditawarkan panitia #NgopiKere adalah berwisata alam ke gua itu. Wekape bertekad akan ikut meskipun seandainya dua temannya tidak mau berangkat. Walau jalan menuju Gunung Kelir berkelok-kelok dan naik-turun, pemandangan yang tersaji di kiri-kanan mampu menyihir orang-orang yang ada di mobil jemputan. Salah satu pemandangan yang tak terlupakan saat mereka melewati perkebunan tebu. Bunga nan cantik muncul di setiap pucuk pohon tebu, melambai-lambai tertiup angin bak hendak menggapai cakrawala. Warnanya putih keunguan bagai beledu yang begitu lembut. Mengundang setiap tubuh penat untuk rebahan sejenak di atasnya. Sungguh sebentuk karya agung yang tidak setiap saat bisa dinikmati. Pameran keindahan dan perjalanan yang tak lebih dari satu jam inilah yang akhirnya membuat Duloh, Hohah, dan Wekape bertahan dalam mobil jemputan. Dan tidak mabuk.
Peserta yang hadir sudah cukup banyak. Mereka mengelompok menjadi beberapa. Di antara obrolan mereka, sekali-sekali terdengar suara tawa. Terlihat cair. Terasa begitu akrab. Seorang laki-laki berbadan gempal berkulit gelap datang menyambut disertai segaris senyum mengurai di bibirnya yang tebal kehitaman.
“Selamat datang. Saya Atmo.” Disalaminya seluruh peserta yang baru tiba satu-satu. Mobil kembali pergi setelah semua penumpangnya turun.
“Silakan kalau mau langsung ngopi atau mau istirahat dulu.” Atmo menawarkan pilihan. Setelah itu dia pamit untuk melakukan kesibukan lain.
“Terima kasih.” Hohah menyambut tawaran tersebut.
Duloh melihat sekeliling. Sebuah rumah besar berdiri di hadapannya. Rumah model sekarang. Rumah bertembok putih tipe minimalis meski dari ukuran tidak cocok lagi dibilang minimalis. Terasnya dipenuhi orang yang sedang asyik mengobrol. Begitu juga dengan garasi di samping kiri rumah, beberapa orang berada di sana. Sebagian berbincang sambil tiduran. Di sebelah kiri Duloh terdapat bangunan panjang dari kayu berbentuk panggung. Dari lobang persegi empat di dindingnya melongok sebentuk kepala kambing ettawa. Matanya menatap Duloh. Tiba-tiba mulutnya membuka. Dari mulut itu keluar suara keras embik. Mungkin dia sedang berkata, “Huh, manusia lagi.” Duloh menengok ke kanan. Ada panggung setinggi satu meter. Di atasnya tergelar seperangkat gamelan. Duloh menebak panggung itu pasti sering digunakan untuk pertunjukan wayang kulit dan karawitan.
“Loh, kita mau bergabung ke kelompok yang mana, nih? Apa mau bikin kelompok sendiri?” Wekape minta saran.
“Bebas saja. Kan katanya yang datang ke sini boleh suka-suka?” Hohah yang menjawab.
“Kita ke teras rumah saja. Ayo.” Ajak Duloh.
Duloh berjalan mendahului. Hohah dan Wekape mengikutinya. Begitu juga tiga gadis muda Nabila, Joling, dan Sahara yang menjadi teman seperjalanan tadi. Mereka bergabung dengan peserta lain yang sudah berada di teras. Melihat kedatangan Duloh dan lima orang lainnya, orang-orang yang ada di teras itu sebagian berdiri. Mereka kemudian saling bersalaman dan memperkenalkan diri. Tak butuh waktu lama untuk mencairkan suasana. Meskipun usia mereka beragam, hal itu tidak menjadi kendala. Mereka yang berkumpul seolah-olah seumuran. Keriuhan semakin bertambah dengan hadirnya Duloh dan rombongannya. Dari semua kumpulan peserta yang berada di teras, Daeng yang paling ramai orangnya. Dia ternyata datang dari Bogor. Sama seperti Duloh, Hohah, dan Wekape. Selain itu, hal-hal menggelikan ternyata berada di balik nama Daeng yang dia sandang. Peserta lain tahu itu dari obrolan ketika mereka bersama-sama melakukan perjalanan ke Gua Seplawan esok harinya.
***
Jam menunjukkan pukul 09.45 WIB. Hari ini adalah hari kedua acara #NgopiKere. Beberapa orang berdiri bergerombol di halaman rumah. Sebagian besar bermata sipit dan kemerahan karena semalam baru berangkat tidur pukul tiga atau malah setelah subuh. Di antaranya bahkan ada yang belum tidur sama sekali. Daeng salah satunya. Katanya sayang kalau malam di Gunung Kelir dilewatkan begitu saja. Itulah sebabnya dia memilih begadang semalam suntuk. Dan hasilnya sekarang matanya terlihat sayu karena mengantuk.
Mereka yang berdiri bergerombol itu adalah yang berniat ikut jalan-jalan ke Gua Seplawan. Tidak semua peserta #NgopiKere berminat. Sebagian lebih memilih meneruskan tidur atau ngobrol sambil ngopi setelah sebelumnya menikmati sarapan yang dihidangkan tuan rumah. Acara jalan-jalan ke Gua Seplawan memang dipersiapkan untuk peserta #NgopiKere. Namun bukan kegiatan yang wajib diikuti. Sebagaimana yang diinformasikan di blog penyelenggara acara. Sifatnya suka-suka. Yang mau bergabung silakan, tak ikut juga tak apa. Karena sifatnya yang begitu lentur, jam berangkat jalan-jalannya jadi molor. Sebenarnya rencana jalan-jalan ke Gua Seplawan dimulai pukul sembilan. Ternyata, sudah lebih empat puluh lima menit, peserta yang berniat ikut baru berkumpul.
“Ayo, dong, kita jalan.” Daeng sudah tidak sabar. Meski terlihat mengantuk, justru dia yang paling bersemangat.
“Kita berdoa dulu sebelum berangkat.” Seorang peserta berkepala gundul mengusulkan acara berdoa melalui pelantang jinjing yang dia bawa. Dia dan seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluh lima tahunan yang berdiri di sampingnya yang akan memandu rombongan menuju Gua Seplawan. Seluruh peserta menundukkan kepala untuk berdoa berdasarkan keyakinan masing-masing untuk keselamatan mereka di perjalanan hingga kembali lagi ke tempat di mana mereka berdiri saat ini.
“Cabut!” Daeng melambaikan tangan kanannya ke atas, tanda untuk berangkat.
Rombongan mulai bergerak. Peserta yang akhirnya memutuskan ikut berjumlah lima belas orang termasuk Duloh, Hohah, Wekape, dan tiga gadis teman seperjalanan tiga sekawan anggota Komunitas Serabi Jenggot dari Bogor itu kemarin. Daeng berjalan paling depan ke arah yang tadi ditunjuk pemandu berkepala gundul. Stamina Daeng memang mengagumkan. Meski belum tidur sedetik pun, dia tak terlihat loyo.