Hohah celangapan. Ketoprak racikan Duloh sesuai pesanannya ternyata berasa api. Mulutnya terbakar, kepedasan. Air teh segelas sudah dia minum. Maksudnya agar rasa panas di mulutnya menggelontor melalui lorong tenggorokan. Usahanya tak sepenuhnya berhasil.
“Gila lu, Loh. Itu cabai jablai yang kamu pakai, ya?” Hohah menyebut cabai jablai untuk cabai rawit merah yang memang terkenal pedas.
“Kan kamu sendiri yang tadi minta ketopraknya dibuat pedas sepedas-pedasnya?”
“Ya, sih, tapi tak kusangka pedasnya setan gini.”
“Silakan dinikmati saja kalau begitu,” kata Duloh sambil tertawa, melihat temannya keok oleh pedasnya ketoprak bikinannya.
Hohah memang gemar makan masakan pedas. Teman-temannya suka menghubung-hubungkan kegemarannya itu dengan namanya yang terdengar seperti suara mulut kepedasan. Hohah sendiri hanya mengiyakan dengan keisengan mereka yang mencocok-cocokkan hobi makan pedasnya dengan nama dia yang asli pemberian orangtua.
Kedatangan Hohah ke tempat Duloh bukan sekadar menikmati ketoprak. Dia menghantarkan tiket bus yang dipesan Duloh kemarin lewat telepon. Dua tiket bus Sepuluh Bersaudara tujuan Yogyakarta dia serahkan begitu turun dari motornya.
“Nih, tiket pesananmu. Dua, kan? Semua Rp 106.000.”
“Tidak ada diskon lagi, nih?”
“Kamu mau aku dipecat bosku, apa? Itu sudah harga paling mentok. Harga untuk karyawan dan keluarganya. Karena kamu sudah aku anggap sebagai keluarga, bos mengijinkan aku kasih harga segitu.”
“Ya, deh. Panjang amat tausiahnya. Orang cuma nanya ada diskon lagi atau tidak, malah diceramahi.”
“Jinguk!” Hohah menyerapahi ledekan Duloh.
Duloh mengambil uang sejumlah harga tiket dari dalam laci gerobak. Diserahkan uang itu ke Hohah.
“Dihitung dulu. Jumlahnya seratus enam juta rupiah.”
“Pret!” Hohah menghitung uang di tangannya. Setelah itu dia masukkan ke dalam tas pinggang biru dongker yang selalu menggantung di bawah perutnya. Hohah kemudian minta dibuatkan sepiring ketoprak.
Wekape ikut bergabung ketika Hohah sedang celangapan kepedasan. Kios koran Wekape sedang tidak ada pembeli. Ketika dilihatnya Hohah ada di tempat Duloh, dia melenggang menghampiri.
“Apa kabar, Hah?”
“Haik.” Hohah membalas sapaan Wekape dengan mulut penuh ketoprak. Karena itu, ucapan ‘baik’ yang keluar dari mulutnya terdengar seperti bahasanya orang Jepang.
“Ngantar tiket?”
Hohah hanya mengangguk. Mulutnya masih sibuk mengunyah. Ketoprak itu akhirnya habis meski diakhiri protes Hohah yang kepedasan.
“Duloh berangkatnya sama kamu ya, Pe, ke acara #NgopiKere? Aku ikut, lho. Kemarin aku sudah omong ke Duloh waktu dia pesan tiket lewat telepon.” Pertanyaan Hohah belum sempat dijawab, dia sudah sambung dengan rencananya itu.
“Wah, asyik dong, kita berangkat bertiga. Memang bosmu mengijinkan?”
“Ya. Bosku kasih ijin aku berangkat tanggal segitu. Dia orangnya baik. Sebenarnya ijinku bukan ke acara ngopi itu tetapi pulang ke rumah. Mbokdhe-ku yang tinggal di belakang rumahku meninggal kemarin sore. Aku diberi ijin untuk takziah dari tanggal sepuluh sampai duabelas.”
“Memang rumahmu mana?” Meskipun Wekape sudah berkawan lumayan lama, dia tidak tahu persis di mana asal dari temannya itu. Wekape tidak menganggap terlalu penting asal dari teman-temannya. Seperti Hohah ini, Wekape tahunya dia orang Jawa, seperti dirinya. Jawanya sebelah mana, dia tak paham. Bagi Wekape yang penting orangnya, bukan daerah asalnya. Baginya, seluruh orang Indonesia adalah saudaranya. Selama orangnya baik, Wekape tak ambil pusing jika menjadi temannya.
“Aku lahir di Kaligono, dekat tempat diadakan acara #NgopiKere itu. Malah satu kecamatan, Kaligesing. Dari rumahku tak sampai setengah jam bermotor untuk sampai ke acara itu. Rencananya aku akan ke #NgopiKere tanggal sebelas siang. Nanti kita ketemu di sana.”
Wekape mengangguk-angguk. Duloh yang duduk di sebelahnya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kenapa kamu geleng-geleng, Loh?” Wekape bertanya. Heran.
“Hla kamunya mengangguk-angguk, aku ya geleng-geleng saja. Biar beda.”
“Wedhus!” Umpat Wekape.
“Memang,” Hohah setuju. “Sebenarnya aku mau curhat sedikit, selain menghantarkan tiket kalian.”
“Tentang?” Tanya Duloh. Wekape hanya diam, menunggu jawaban.
“Gini,” Hohah memulai, “di tempat aku kerja, bosku orangnya memang baik, seperti yang aku bilang tadi. Di kantorku, ada dua komputer yang keduanya terhubung internet. Salah satunya ada di meja kerjaku. Suatu pagi sebelum kantor ramai dengan orang-orang yang mencari atau membeli tiket, bosku bertanya apakah aku suka menulis. Dia bertanya seperti itu karena sering melihatku suka membaca di saat senggang. Dia bilang orang yang suka membaca akan lebih bagus lagi jika diimbangi dengan kegiatan menulis. Internet yang terpasang di komputer bisa dimanfaatkan. Aku kemudian diperkenalkan dengan blog dan diajari cara memakainya. Aku sesekali bertanya bila ada yang membingungkanku. Sejak itu aku suka menulis di blog. Apa saja. Beberapa tulisan di blogku bahkan ada yang mengomentari. Selama ini tak ada masalah dengan tulisan yang kubuat. Namun tulisan terakhir yang kubuat minggu lalu membuat aku tak berani menulis lagi, bahkan menengok pun aku jadi deg-degan. Tulisanku bermasalah.”
“Memang kamu nulis apa?” Wekape penasaran.
“Tentang bancaan,” jawab Hohah.
“Bancaan? Apanya yang jadi masalah? Itu kan tradisi yang dijalani masyarakat kita, turun-temurun?” Duloh heran dan tak mengerti di mana salahnya menulis tentang bancaan atau kenduri yang biasa dijalani rakyat negeri ini.
“Komentar terakhir di tulisan itu mengatakan bahwa tulisanku itu fitnah dan menzalimi orang banyak. Itu yang membuatku terus kepikiran. Sampai sekarang pun, berarti sudah seminggu, aku tidak berani buka blogku dan tidak berani menulis. Ketika kemarin Duloh menelpon mau pesan tiket bus untuk ke acara #NgopiKere, aku kemudian buka Google dan mengetik kata ‘ngopikere’. Ketemulah blog ngopikere.gunungkelir.com. Dari blog itu, aku tahu tempatnya tak jauh dari desaku. Dari blog itu pula, aku baca di antara yang datang ada blogger-blogger hebat yang sampai saat ini aku hanya tahu namanya. Itu yang sebenarnya membuatku bersemangat untuk datang ke #NgopiKere. Aku akan obrolkan tulisanku yang bermasalah itu dengan mereka. Siapa tahu dapat pencerahan.”
“Isinya apa sih kok sampai dibilang fitnah dan menzalimi orang lain?” Duloh makin penasaran.
“Di tulisan yang aku kasih judul Bancaan Nasional itu berisi tentang sebuah kegiatan seminar. Setelah mendapat banyak komentar pedas yang sayangnya penulisnya tidak mau memberi tautan, aku baca lagi tulisanku itu. Aku cari kira-kira kata apa atau kalimat mana yang membuat mereka merasa dizalimi atau difitnah. Kayaknya kata ‘bancaan uang rakyat’ yang membuat mereka membenci tulisanku. Mungkin akan berbeda reaksinya jika aku menggunakan kata ‘menggunakan uang negara’ atau ‘memanfaatkan dana pemerintah’. Apa tulisan itu aku hapus saja, ya?” Hohah terlihat masygul.
“Jangan!” Wekape menyambar ucapan Hohah. “Jika kamu yakin tulisannmu benar, mengapa harus takut. Itu kan hanya masalah pilihan kata. Bila mereka tidak suka, bukan berarti kamu harus menghapus tulisan. Apa jadinya dengan blogmu jika setiap ada yang berkomentar pedas kamu kemudian menghapus tulisan itu. Blogmu pasti akan kosong. Di mana pun, tak ada orang yang bisa memuaskan semua orang. Termasuk seorang blogger macam kamu itu, Hah. Kalau pembaca tulisan di blogmu protes, kemungkinannya ada dua. Pertama, dia tahu bahwa itu tidak benar. Kedua, dia tahu yang kamu tulis itu benar dan dia pelakunya. Sekarang tinggal dicek lagi, betul tidak apa yang kamu tuliskan itu.”
“Aku hanya menuliskan apa yang aku baca di koran dan aku lihat di televisi. Tulisanku itu sesungguhnya ungkapan sakit hatiku sebagai rakyat yang uangnya dijadikan bancaan oleh orang-orang yang katanya pintar dan berwawasan itu. Bancaan itu disarukan dalam bentuk kegiatan yang tak ada manfaatnya buat rakyat dan gamblang terlihat mengada-ada. Contohnya kegiatan studi banding wakil rakyat yang aku lihat sebenarnya hanya piknik semata.”
“Wah, tulisanmu nasionalis sekali.” Duloh menimpali.
“Nasionalis gimana?” Tanya Hohah.
“Ya begitu itu. Aku sebut nasionalis karena ngilmiah sekali.”
“Ngilmiah gimana?” Sekarang giliran Wekape yang bertanya.
“Ya begitu itu.”
Hohah dan Wekape berhenti memburu jawaban meskipun apa yang dikatakan Duloh tidak memuaskan dan pada dasarnya tidak mereka mengerti. Mereka sudah hafal. Temannya yang satu itu memang kadang-kadang tidak jelas seperti itu.
“Eh, tapi nanti aku harus bilang apa kalau ditanya dari komunitas mana saat hadir di acara #NgopiKere?” Hohah mengalihkan pembicaraan.
“Kan tidak harus dari komunitas mana? Atas nama perorangan juga boleh, kok.” Jawab Wekape.
“Bilang saja kamu teman kami. Bila panitianya tanya komunitas, katakan kamu dari Komunitas Serabi Jenggot.” Kata Duloh.
“Aku kan belum jadi anggota komunitasmu itu?” Hohah ragu. Dia tahu Duloh punya komunitas, meskipun hanya seorang penjual ketoprak. Hohah juga tahu, wawasan Duloh lebih luas dari piring ketoprak dagangannya. Kadang-kadang Duloh memang bicara tak jelas dan tak bisa dimengerti.
“Tinggal masuk saja apa susahnya? Tak ada syarat apa pun untuk masuk komunitas kere ini. Bahkan untuk blogger bermasalah macam kamu itu.” Duloh berbicara sambil mengelus-elus jenggot kambingnya. Sok wibawa.
“Baiklah. Tolong aku diingatkan ya saat di #NgopiKere nanti. Aku mau konsultasi tulisan bermasalahku dengan para blogger itu. Blogger bau kencur macam aku ini harus rajin-rajin bergaul dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada.”
“Siap!” Duloh membusungkan dada. Telapak tangannya ditempelkan di kening, menghormat layaknya prajurit kepada komandannya.
“Raimu kuwi!” Sergah Hohah.
Sumber gambar: siluetnya diambil dari sini
Hohah,Duloh dan Wekape nama2 yg bikin penasaran buat terus membaca
Hohah, Duloh, Wekape nama2 yg lucu mengundang untuk terus membaca
ini benar2 sesuai tagline “memaparkan kebenaran dan menghibur” 🙂
Wekape = WKF? Duloh dan Hohah itu ?
asik tidak ada tokoh genthokelir hahahahaha
Lumayan 😀
Hohah, duloh, wekape. Entah siapa lagi nanti tokoh yg hadir kemudian 🙂
Tep kudu foto bareng dedengkot komunitas serabi jenggot!
Asyik. Selamat #ngopikere