Kejadian Duloh memuntahi sopir sempat membuat perjalanan tertunda. Sopir bus terpaksa membelokkan bus ke SPBU terdekat untuk membersihkan badan dan berganti baju yang punggungnya berlumuran muntahan. Sopir bus sempat marah-marah, dan Duloh hanya diam. Duloh tahu memang dia yang salah. Duloh sudah meminta maaf tetapi tentu saja maafnya tak akan membersihkan dan mengeringkan baju sopir bus. Untungnya, sopir itu tahu Duloh teman Hohah yang dikenalnya dengan baik sehingga kemarahannya tidak berkepanjangan. Sopir bus akhirnya hanya menekuk mukanya. Sebal.
Lelaki yang pingsan juga baru mendapat pertolongan pertama setelah bus diparkir di SPBU. Dia tidak diturunkan dari bus. Lelaki itu siuman tak lama setelah bus berhenti. Dengan dibantu dua penumpang laki-laki, dia didudukkan di kursinya. Penumpang lain memberi teh kemasan lengkap dengan sedotan. Seorang penumpang, ibu-ibu, mengambil cairan pembersih luka, obat merah, dan perban dari kotak P3K yang tersedia di dalam bus. Sementara menunggu sopir membersihkan badan dan berganti baju, ibu yang ternyata perawat itu membersihkan luka kemudian memerbannya. Mulut lelaki yang menjadi jontor karena mencium lantai bus sekarang tertutup perban. Bus kembali melaju ke jalan raya setelah sopir selesai membersihkan badan dan berganti baju.
Satu jam kemudian, bus memasuki pelataran parkir restoran. Rumah makan itu merupakan tempat istirahat penumpang dan awak bus antar kota dari arah maupun yang menuju Jabodetabek. Dari pintu depan bus, Wekape bergegas turun diikuti Hohah kemudian Duloh. Hampir saja Duloh terjungkal kalau tidak segera memeluk punggung Hohah. Kaki kirinya tersangkut tangga paling bawah. Muka ketiganya pucat pasi. Seperti dikomando, tiga sekawan itu jongkok berderet di samping bis: Wekape, Hohah, Duloh. Ketiganya menghadap bis dengan muka tertunduk. Dalam waktu hampir bersamaan, mereka mengeluarkan isi perut yang selama satu jam tadi mereka coba tahan mati-matian. Penumpang lain hanya geleng-geleng kepala. Prihatin.
Masih ada waktu tigapuluh menit sebelum bus diberangkatkan kembali. Wekape, Hohah, dan Duloh tidak berani makan nasi, takut nanti di bus muntah lagi. Duloh teringat kudapan buras dan gorengan sisa tadi siang menjelang sore yang rencananya akan dijadikan menu makan malam. Buras dan gorengan itu sudah tinggal kenangan. Makanan itu berantakan di bawah kursi supir bus bercampur muntahannya tadi. Andai pun buras dan gorengan itu ada di tangannya, dia tak yakin akan berani memakannya. Tragedi muntah di dalam bus tadi begitu traumatis baginya. Trauma itu ternyata juga menular ke kedua temannya. Akhirnya, mereka patungan hanya membeli kantong keresek untuk persiapan di jalan nanti. Sekadar berjaga bila isi lambung berontak lagi minta dikeluarkan.
Sambil menunggu bus berangkat, mereka menonton televisi yang disediakan pihak restoran. Sebuah stasiun televisi nasional menyiarkan perbincangan seputar dunia bisnis luar negeri. Seorang perempuan cantik menjadi pemandu acara didampingi dua orang laki-laki dan satu perempuan sebagai narasumber. Di layar bagian bawah terbaca topik yang sedang diperbincangkan. Hohah memperhatikan tulisan itu secara seksama: Asosiasi Kamar Dagang (Association of Business Chambers) negara-negara Eropa kisruh.
“Asosiasi itu sama tidak dengan komunitas?” Hohah bertanya kepada kedua temannya.
“Saya rasa sama,” jawab Wekape.
“Ya, sama saja,” sambung Duloh, “asosiasi atau komunitas itu kan kumpulan orang-orang yang punya kepentingan sama. Bisa berupa perdagangan atau minat yang lain.”
“Berarti mereka satu tujuan?” Hohah kembali bertanya.
“Jelas.” Jawab Duloh singkat.
“Berarti mereka saling menjaga dan melindungi?”
“Pasti.”
“Tapi kok suka terjadi kisruh, ya?”
“Kisruh itu wajar. Namanya juga kumpulan manusia. Banyak kepala. Makin banyak kepala, makin beragam pikiran. Beda pendapat, sudah pasti bakal terjadi. Asalkan diselesaikan dengan baik, tidak gampang emosi, perbedaan itu akan memperkaya wawasan dan mengokohkan asosiasi itu sendiri.” Duloh menjelaskan.
“Tapi Lah, kisruh yang terjadi dalam asosiasi di televisi itu karena munculnya dua kubu. Penyebabnya karena ada salah satu negara anggotanya yang bermasalah. Satu kubu membela dan membantu negara itu mengatasi masalahnya, kubu satunya lagi sebaliknya. Masalah negara anggota itu dianggap sebagai kesalahan sendiri. Jadi, asosiasi tidak perlu membantu. Biar negara itu sendiri yang merampungkan keruwetan yang terjadi. Kesannya, kubu yang ini meminta asosiasi untuk lepas tangan. Kalau sudah demikian, apa manfaatnya asosiasi bagi anggotanya? Katakanlah, misalnya masalah itu memang karena kesalahan dari anggota itu sendiri, kan dia anggota asosiasi itu? Harusnya sebagai wadah yang menaungi, asosiasi juga punya kewajiban, setidaknya kewajiban moral, membela dan melindungi anggotanya.” Hohah mengelus-elus kepala. Bingung.
“Harusnya tidak boleh terjadi kubu-kubuan dalam menyelesaikan suatu masalah. Meskipun prakteknya pasti terbentuk kelompok-kelompok kecil, namun harusnya satu suara saat menghadapi problem.” Duloh kembali menjelaskan.
“Tapi kenyataannya beda, kan?” tanya Hohah.
“Ya,” jawab Duloh singkat.
“Bisa jadi kaliber asosiasi itu tidak sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi.” Kata Hohah.
“Maksudmu? Memangnya senapan? Pakai kaliber segala.” Duloh memandangi Hohah. Dia tidak bisa menangkap makna dari kalimat yang diucapkan temannya itu.
“ Ya, seperti senapan, asosiasi itu kan punya ukuran kemampuan. Jika kaliber senapan untuk berburu ayam hutan digunakan untuk membidik babi hutan, ya tak bakalan jatuh itu babi. Begitu juga dengan asosiasi. Bila sebuah asosiasi misalnya hanya memiliki kemampuan sepuluh, dia kemudian diminta menyelesaikan masalah yang bobotnya seratus, ya tak akan pernah bisa selesai. Masih untung jika asosiasi itu terus mencoba mencari jalan keluar. Celakanya jika asosiasi itu bukannya memberi solusi tetapi malah sebaliknya, berdalih bahwa masalah itu bukan masalah asosiasi. Sama seperti yang terjadi di televisi itu.” Hohah menjelaskan.
“Menurutku, kaliber asosiasi atau komunitas ditentukan oleh kaliber orang-orang yang ada di dalamnya. Jika orang-orang itu tipe oportunis dan mata duitan, organisasinya pasti ecek-ecek. Organisasi itu kan cerminan dari penggeraknya. Bila sebuah organisasi semacam asosiasi atau komunitas dijalankan oleh pengurus berkaliber lubang jarum, tak heran jika muncul masalah, mereka akan berkelit dengan dalih macam-macam. Untuk menutupi ketidakmampuan, mereka bersembunyi di balik peraturan dan lain-lain. Intinya, mereka tak peduli dan tak mau bekerja jika tak ada keuntungan terutama keuntungan materi baginya.” Duloh menambahi.
“Betul, itu.” Hohah setuju.
“Kira-kira di acara #NgopiKere ada tidak ya komunitas yang kalibernya ecek-ecek? Tak peduli atau pura-pura bego terhadap anggota yang terlibat masalah. Seperti yang sedang disiarkan di televisi itu.” Tiba-tiba Wekape menimpali. Dari tadi dia hanya menjadi pendengar obrolan kedua temannya namun kedua matanya melotot ke layar televisi yang ada di depannya.
“Ya tidak tahu. Mungkin saja ada. Mungkin juga tidak. Kita lihat saja nanti. Sampai saja belum kok, Pe, Pe.” Jawab Duloh.
Dari pelantang terdengar pengumuman. Bus Sepuluh Bersaudara tujuan Yogyakarta akan segera diberangkatkan. Seluruh penumpang yang masih berada di luar diminta masuk ke dalam bus. Duloh, Hohah, dan Wekape beranjak masuk ke dalam bus. Ketiganya berjalan menggontai. Wekape memegang satu pak kantong keresek untuk jaga-jaga bila muntah lagi. Perut mereka dalam keadaan kosong. Dengan tidak makan apa pun, mereka berharap tidak akan muntah nanti. Mereka memilih kelaparan di perjalanan daripada harus mengeluarkan makanan yang ada di dalam perut. Ketiganya berniat akan tidur sepanjang perjalanan. Untuk itu, mereka meminum pil anti mabok yang dibeli di penjual kantong keresek.
Sumber gambar: di sini
Temenku sih namanya wekaef untungnya temen hohah dan duloh ini namanya wekape, jadi dia bukan temenku kan,hahaha
epik!