Perkataan yang baik dan pemberian maaf, lebih baik daripada sedekah yang diiringi oleh sesuatu yang menyakitkan. Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (Al Baqarah: 263)
Memberi sumbangan baik berupa infaq, sodaqoh, maupun zakat sangat dianjurkan tetapi …
Apa yang akan anda lanjutkan dengan kalimat di atas? Beda orang akan beda kalimat tentunya. Agar relevan dengan judul tulisan ini, saya akan lanjutkan dengan kalimat “bila anda memberi sumbangan sambil ngomel-ngomel, sebaiknya tidak usah menyumbang saja.” Mengapa lebih baik tidak berinfaq, bersodaqoh, maupun berzakat meskipun kita mampu? Sebab bila pemberian itu diikuti oleh caci-maki maka hal itu sudah pasti menjadi tidak ikhlas. Jika tindakan yang dilakukan tidak ikhlas maka apakah masih ada amal kebaikan di dalamnya? Yang lebih penting dari menghindari perbuatan itu sebenarnya adalah agar tidak membuat sakit hati pihak penerima sumbangan.
Yang namanya sumbangan atau pemberian bisa berupa apa saja. Tidak harus berujud uang atau materi. Waktu, tenaga, pikiran juga bisa disumbangkan. Namun tetap saja tidak akan menjadi kebaikan bila ujung-ujungnya berupa omelan, cacian, makian, serta hal menyakitkan lainnya. Bila akan memberi sumbangan, akan lebih baik untuk diniatkan tidak berpamrih apapun selain sekedar meringankan beban. Saya menyebutnya sumbangan tak bersyarat. Jika bantuan itu diberikan dengan imbal balik tertentu, itu namanya bukan lagi murni sumbangan, tetapi trade atau barter. Ada pertukaran yang terjadi di dalamnya. Hal yang diberikan oleh penerima bantuan mungkin berbentuk tenaga, atau contoh lain misalnya sebuah kepatuhan.
Sah-sah saja memang, ketika anda membantu orang lain kemudian menuntut imbal jasa. Namun jika hal ini anda lakukan, siap-siap saja kecewa atau terluka dan sakit hati bila ternyata yang terjadi tidak sesuai harapan anda. Oleh karena itu, akan lebih baik bahkan bagi kedua belah pihak saat kita memberi bantuan, itu kita lakukan semata-mata untuk menolong,. Tidak ada pamrih apapun. Dengan demikian, tidak ada beban bagi keduanya setelah memberi atau menerima.
Saya tahu tidak semua orang bisa rela memberikan sesuatu miliknya tanpa syarat apapun. Barangkali termasuk saya sendiri. Namun dengan belajar memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan apapun, percayalah, anda akan hidup lebih tenang. Sadar atau tidak sebenarnya kita kan sering berlatih, sangat sering malah, sepanjang umur kita. Jadi jika usia anda sekarang 20 tahun maka anda sudah berlatih merelakan barang anda tanpa syarat selama itu. Ingin bukti? Kegiatan rutin anda setiap pagi atau sesuai kebiasaan anda di kamar mandi itulah buktinya. Apakah anda selalu memikirkan kembali barang anda itu? Pasti tidak. Jangan menuduh dulu kalau saya memberi analogi jorok, namun jika anda bersikukuh ya… saya juga tidak apa-apa. Jorok tidaknya sesuatu itu kan kadang-kadang tergantung siapa yang melihat. Bagi pemulung, sampah itu bukan barang jorok.
Kembali tentang kegiatan rutin di pagi hari. Barangkali kita tidak menyadari bahwa rutinitas harian itu banyak kemiripan dengan anjuran bersedekah. Pertama, ketika memberi jangan pernah mengingatnya kembali. Sebuah hadist (tolong dikoreksi bila saya salah) menyebutkan ketika tangan kanan memberi tangan kiri jangan sampai tahu. Jadi ketika bersedekah, anggap saja seperti membuang kotoran. Kedua, kegiatan itu sifatnya rutin. Begitu juga dengan beramal. Sebaiknya diupayakan pula memberi bantuan secara rutin. Ketiga, menyehatkan. Dengan rutin ke belakang maka kita sadar atau tidak sedang melakukan detoksifikasi. Beramal itu bisa menjadi sarana membuang racun yang bukan bersarang dalam perut, tetapi dalam hati. Keempat, ikhlas. Anda ikhlas kan kehilangan barang anda setiap pagi? Mengapa tidak bersikap sama ketika sedang beramal? Kasih, dan lupakan. Kasih, lupakan. Begitu seterusnya. Ada sebagian memang yang berpendapat lebih baik memberi banyak meskipun tidak ikhlas dengan harapan lama-lama nanti jadi ikhlas. Terserah anda mau mengikuti yang mana, sedikit tetapi ikhlas atau banyak meskipun nggak ikhlas. Kalau saya sih pengennya banyak dan ikhlas.
Sebagai pamungkas, marilah mulai berlatih berempati. Bagaimana rasanya saat kita menerima pemberian yang diakhiri dengan makian. Tidak usahlah berupa ucapan setajam silet, cukup dengan kerlingan mata sinis. Sakit rasanya. Mudah-mudahan saja ketika kita dalam posisi memberi kita bisa melakukannya dengan setulus hati, bukan mencaci. Apalagi mempunyai anggapan bahwa dengan memberi, jiwa raga dan sisi-sisi kehidupan dari si penerima sedekah otomatis menjadi milik kita yang bisa diapa-apain sesuka-suka kita. Lebih-lebih bila kita ini sebenarnya hanya sebagai perantara dari orang baik yang menyedekahkan hartanya. Sok banget rasanya bila kita kemudian bertindak semena-mena mengobok-obok kehidupan orang lain karena merasa telah memberi. Jangan sampai deh.
Sumber gambar: di sini
Sebaik-baiknya ibadah adalah yg disembunyikan..
@Jendral Lebond: ho oh. 😉
wah pak. setiap jawaban singkat banget…. hehe
artikelnya kena banget. sekarang kami seperti ini… tapi kami kan berusaha, dan jadi lebih dari ini…. amin….
m0ohon doanya…
@erlan: maaf ya baru dijawab sekarang karena baru tahu kalau ada komentar ini. Semoga jadi lebih baik. Aamiin. *tuh panjang kan* 😉
rumi, yang kekurangan yang diprioritaskan, kalo smua kekurangan, yg terdekat yg didahulukan, gitu kali. coba tanya yg lebih kompeten
Pak gmn klo da perasaan pengen shadaqah yang banyak tapi selalu inget keluarga yang mungkin lagi kekurangan…
Luarrrrrrrrrrrrrrrrrrrr biasa….
terima kasih atas luar biasanya yang banyak r-nya itu 😉
wah artikelnya curhat amat ya…. tapi bisa jadi penerang hati deh…. saya tidak tahu apa yang ada di hati mr wong kamfung… tapi….. he he he… spertinya……perlu direnungkan doang.
sekedar saling mengingatkan mas/mbak
pak, saya mau dong diajarkan menulis agar tulisannya inspiratif, gimana ya pak?
pokoknya nulis gusti, jgn mikirin inspiratif atau tidak
kalo mo ngasih, ngasih aja, nggak usah mikir shadaqah ato bukan
Kalo ngasih pengamen yang maksa kayak gitu, bisa disebut shadaqah nggak pak, kan niatnya udah beda tuh.. *meski sebenernya udah nggak pernah ngasih juga seh :p