Ikan Buntal: Semangkuk Sup Racun

2
3110
semangkuk sup racun- sup ikan buntal

Urusan mengonsumsi ikan, orang Korea tak beda dengan Jepang. Mereka sama-sama doyan yang mentah-mentah. Sushi, sashimi, semua dilahap. Orang kita, sebagian mengikuti cara mereka menikmati ikan. Ada yang memang suka, ada yang gaya-gayaan. Ada yang tuntutan profesi, ada yang karena gengsi. Bagaimana dengan sup ikan buntal?

Ada ikan yang didatangkan dari tempat lain tersebab permintaan pasar, dan karena di tempat itu tidak punya. Bogor bukan produsen ikan salmon. Bahkan, setahu saya, tak ada satu pun peternak ikan di Bogor yang membudidayakan ikan yang namanya berasal dari bahasa Latin salmo yang artinya ‘melompat’ ini. Paling adanya lele, emas, nila, atau ikan bawal yang mirip piranha. Namun demikian, mencari steak atau salad salmon di kafe dan restoran di kota Bogor bukan hal sulit.

semangkuk sup racun-sup ikan buntal
Sup Ikan Buntal (foto: rove.me)

Ikan yang umurnya sudah sekitar 500 miliar tahun konon jenisnya bisa sampai 30.000 macam. Spesies binatang air bertulang belakang ini yang dilahap bisa beragam tergantung wilayah. Perlakuan terhadap mereka bisa berbeda-beda pula. Orang Jakarta memelihara ikan arwana selain untuk hobi ada juga yang memperlakukannya sebagai jimat keberuntungan. Orang Kalimantan atau Papua lebih suka menaruhnya di atas piring untuk disantap. Saya tak terlalu suka belut. Di Korea, belut dianggap sebagai santapan lezat selain mahal harganya.

Masakan Ikan

Mengolah ikan sudah dilakukan orang sejak dulu. Bukti yang menguatkan adalah adanya kitab resep bangsa Roma abad 9 Apicius de re Coquinaria yang dianggap sebagai buku masakan paling tua yang pernah ada di bumi ini. Ada pula kumpulan resep terbitan tahun 1651 Le Cuisinier Francois karya La Varenne yang kemudian diterbitkan lagi versi bahasa Inggris The French Cook pada 1653. Hingga saat ini, buku-buku resep masih diproduksi para penggila kuliner dunia atau orang-orang kita. Sebut saja misalnya koki cowok berkebangsaan Inggris Jamie Oliver atau Gordon Ramsay. Atau si cantik semok Nigella Lawson yang lebih suka disebut food writer, juga dari Inggris.

Ikan yang asli setempat biasanya dimasak dengan beragam resep oleh masyarakat lokal. Masakan ikan itu bisa jadi aneh atau merupakan hal baru bagi orang di luar lingkungan tersebut. Karena aneh atau hal baru, bisa saja orang yang tidak suka tantangan akan menghindari masakan ikan itu. Di kota pesisir Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, ikan pari dipanggang kemudian diolah menjadi masakan berkuah yang namanya mangut. Mangut ini kalau dimakan bikin orang mandi keringat karena pedasnya gila-gilaan. Kaum maniak masakan pedas pasti semrinthil bila ketemu mangut. Di Korea lain lagi. Ikan pari bukannya dipanggang seperti yang dilakukan orang Jawa. Ikan yang ekornya beracun mematikan itu difermentasi hingga satu bulan atau lebih kemudian disantap begitu saja. Pari fermentasi yang oleh orang Korea disebut 홍어회 (hongeo-hoe) ini baunya ampun-ampunan. Bau busuk bercampur pesing layaknya air kencing. Ketika disantap, aroma amoniak yang sangat kuat langsung menyergap rongga hidung. Orang setempat biasa makan hongeo-hoe, meskipun beberapa di antaranya tak begitu suka.

Sup Racun

Ada lagi masakan berbahan ikan yang bisa ditemukan di Korea yang saya belum pernah lihat serta ditawarkan di warung dan restoran di Indonesia. Ikan yang digunakan adalah ikan buntal. Ikan yang bentuknya mirip bola saat menggelembungkan tubuhnya ini oleh orang Korea disebut 복어 (bogeo). Blowfish atau pufferfish dalam bahasa Inggris. Yang bikin gentar dan ciut nyali untuk menyantapnya, racun ikan buntal 200 kali lebih kuat dibandingkan sianida dan gilanya lagi, tidak ada antidot atau penawarnya. Racun bernama tetrodotoxin ini terdapat di hati, indung telur, dan kulitnya. Ikan ini bila dibikin sup, racunnya lebih mematikan dibandingkan yang dijadikan sashimi. Namun yang bikin saya geleng-geleng, ikan buntal ini justru diolah menjadi sup di sini. Saya menyebutnya sup racun. Jika sudah berurusan dengan racun ikan buntal yang perkasa ini, manusia hanyalah mahluk daif.

semangkuk sup racun-ikan buntal
Ikan Buntal (foto: bbc.com)

Misalnya saja, Anda ditawari semangkuk sup ikan yang Anda tahu ikan yang digunakan adalah jenis ikan beracun. Masih maukah? Bagi wisatawan kuliner, sudah pasti tak akan mau. Saya menyebut wisatawan kuliner untuk mereka yang menyantap apa yang biasa dinikmati orang pada umumnya. Tidak neko-neko. Beda dengan mereka yang suka mencoba dan gemar berpetualang dalam urusan kuliner. Saya menyebutnya petualang kuliner. Orang seperti ini biasanya suka coba-coba ketika ketemu hal baru. Tindakannya tentu saja berisiko. Namun risiko yang dihadapi bisa menjadi kenikmatan dan kebanggaan baginya bila berhasil melaluinya. Dia akan bisa cerita yang orang lain tidak pernah mengalaminya. Begitulah, di balik setiap risiko selalu ada imbalan. Mau dapat imbalan, harus berani ambil risiko.

Undangan Uji Nyali

Suatu siang saya terima ajakan makan dari seorang teman asli Korea. Oleh dia saya diajak ke restoran Jepang yang menyediakan sushi dan sashimi. Saya manut saja meskipun saya tak bisa menikmati makanan berbahan ikan mentah. Hanya saja saya berharap restoran tersebut punya menu lain, sup ikan atau ikan bakar misalnya. Harapan saya ternyata meleset. Restoran itu rupanya khusus menyajikan sushi dan sashimi. Kalau saya mau, bisa saja saya tetap di situ menikmati sushi atau sashimi sebagaimana orang-orang Korea yang begitu lahap saat menyantap ikan mentah.

semangkuk sup racun-warung sashimi
Restoran Sushi dan Sashimi (foto: @utamiutar)

Makan sushi atau sashimi itu bukan masalah yang hak atau yang batil. Ini masalah selera. Bila bisa memilih, saya lebih suka makan ikan matang. Untungnya teman saya ini maklum adanya. Kami kemudian pindah ke tempat lain. Dibawalah oleh dia ke tempat makan yang khusus menyajikan sup ikan buntal. Alamak! Serius? Eropa saja melarang ikan beracun ini dijual. Hanya sedikit negara yang membolehkan termasuk Korea, Jepang, dan Cina. Setiap tahun ada yang mati karena ikan buntal. Di Korea saja setiap tahun ada enam jiwa yang jadi tumbal ikan pencabut nyawa ini. Hla kok saya sekarang diseret ke pintu warung maut. Memang bukan kutuk serapah yang keluar dari mulut saya karena saya tahu ikan buntal itu beracun, tapi anggukan kepala tanda mengiyakan. Kadang-kadang jiwa petualang kuliner saya keluar. Dan saat itu, saya sedang menjadi petualang kuliner. Saya akan uji nyali. Mati hidup, hanya ikan buntal yang tahu. Begitu kira-kira.

Buat saya, ikan buntal itu bukan ikan kemarin sore. Saya punya pengalaman dengan ikan gendut ini. Dulu, puluhan tahun yang lalu. Karena salah satu hobi saya adalah mancing di laut, beberapa kali mata kail saya nyangkut di mulut ikan ini. Bila mujur, ikan buntal bisa diangkat sampai ke darat karena lazimnya tali pancing putus duluan digigitnya. Dia punya gigi depan besar mirip gigi kelinci. Tajamnya bisa memutus senar pancing dengan mudah. Ikan buntal ini musuhnya pemancing. Selain karena beracun, kami menyebutnya ikan pemakan mata kail. Bila sampai berhasil mengangkat dia ke darat, biasanya diinjak-injak dulu biar badannya menggelembung seperti bola. Kalau sudah begitu, tendangan pisang Lionel Messi dihadiahkan untuknya hingga tubuh gendutnya melambung kembali masuk ke laut.

semangkuk sup racun - ikan buntal
Ikan Buntal (foto: rove.me)

Sup Ikan Buntal

Kenangan menendang ikan buntal di atas beton pemecah gelombang di Tambak Lorok Semarang puluhan tahun lalu kembali hadir saat ikan itu disebut. Ajakan teman Korea pindah ke warung spesialis sup ikan buntal saya turuti. Meskipun ngeri juga mengingat racunnya, rasa penasaran saya lebih kuat. Saya hanya berpikir positif. Karena dijual di rumah makan, mestinya mereka sudah ahli dalam mengolahnya. Atau barangkali jenis ikan buntalnya berbeda. Beberapa kali berita yang saya baca tentang orang-orang yang mati karena keracunan ikan buntal, bahkan pernah juga satu keluarga nelayan putus nyawa setelah mengonsumsi sup ikan buntal, pasti karena tidak benar dalam menyianginya. Atau bisa jadi karena memang jenis ikan buntalnya jenis yang beracun. Satu berita pernah dilansir BBC pada 16 Januari 2018 perihal peringatan dari pemerintah sebuah kota di Jepang kepada warganya. Mereka meminta warga tidak mengonsumsi ikan buntal atau fugu karena sebuah supermarket ditemukan tidak sengaja menjual ikan buntal tanpa membuang bagian beracunnya.

semangkuk sup racun-bogeo
Restoran Sup Ikan Buntal

Tentang ikan buntal di sup yang saya nikmati apakah jenis yang tidak beracun atau sebenarnya beracun tetapi karena pemilik warungnya ahli menanganinya, entahlah. Seorang yang mengolah ikan buntal memang seharusnya sudah mendapat latihan khusus dan memiliki lisensi. Waktu itu saya tak memperhatikan di dinding tempat makan itu tergantung selembar sertifikat lisensi mengolah ikan buntal atau tidak. Yang pasti, daging ikan buntal ternyata enak banget. Kenyal gurih. Baik yang dijadikan sup maupun kulit mentahnya yang dijadikan salad. Apakah semangkuk sup ikan buntal itu semangkuk sup racun? Jawabannya bisa ya bisa tidak.

Sumber gambar: bbc.com, rove.me, koleksi pribadi

2 COMMENTS

  1. Ide bagus buat intel nih, daripada ngasih sianida ke aktivis semacam Munir, mending traktir Sup Ikan Buntal yang tak dibuang bagian beracunnya.

    Btw, itu kulitnya disajikan sbg salad? Kan beracun?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here