Pada dasarnya kepemimpinan bukan urusan kursi yang diduduki. Kepercayaan yang menjadikan seseorang dianggap pemimpin. Dengan demikian, hatilah yang menggerakkan anak buah mengikuti pemimpinnya.
Di setiap mendekati saat pemilihan pemimpin pemerintah entah itu presiden atau yang lebih rendah, bermunculan beragam model pencitraan. Di tepi-tepi jalan berdiri baliho besar berisi foto calon dan slogan-slogan klise. Spanduk yang berisi sama seperti baliho itu terbentang di mana-mana. Kita dijejali sebentuk pencitraan yang justru lebih terasa sebagai sampah visual. Tak ada yang menarik dari foto, slogan, bahkan janji yang kerap dimunculkan. Saya tidak menangkap apa yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin. Mereka yang fotonya ada di titik strategis lebih terlihat sebagai calon penguasa, bukan calon pemimpin. Apa yang terjadi dalam pemerintahan sampai sekarang ini tidak gampang membuat rakyat percaya. Bagi saya, dengan melihat bertebarannya baliho dan spaduk, makin membuat saya yakin mereka memiliki agenda tersembunyi yang bisa jadi justru menjadi agenda utama yaitu memperkaya diri sendiri. Dugaan saya ini tentu saja sangat subjektif dan bila dikatakan suuzan, bolehlah. Hanya saja, melihat banyaknya pejabat dan mantan pejabat yang terjerat korupsi, saya tak berdaya untuk tidak suuzan. Bila seseorang yang mengincar suatu posisi mengeluarkan uang begitu banyak entah milik pribadi atau sponsor dari pengusaha, setelah berhasil meraih posisi tersebut, apalagi agenda pertama yang akan dipikirkan selain mengembalikan modal?
Merupakan matematika sederhana untuk mendeteksi harta milik seorang pejabat adalah hasil korupsi atau bukan. Selisih harta awal sebelum menjabat dan harta akhir saat menuntaskan jabatan bisa menjadi acuan. Jika selisihnya tidak masuk akal, dari mana lagi kalau bukan hasil kongkalikong alias kolusi dan atau korupsi? Dalam batas kewajaran, tak mungkin misalnya seorang pejabat dengan gaji yang hanya 1/100 harga mobil bisa memiliki kendaraan tersebut. Dengan cara menabung? Berapa lama? Memang tidak memiliki kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal? Mungkin saja dari hasil menjalankan satu atau beberapa bisnis. Namun jika usaha itu dibentuk saat sedang menduduki jabatan, yakinkah tak ada unsur memanfaatkan jabatan?
Saya tak yakin mereka yang foto-fotonya terpampang di pohon asam Jawa, angsana, mahoni dan pohon-pohon lain, atau di media elektronik, media cetak, dan media sosial, dengan senyum manis kadang dipaksakan, akan amanah bila berhasil menduduki posisi yang mereka incar. Tentu saja tidak semua seperti itu. Mungkin saja di antara kumpulan telur busuk, ada yang sebenarnya masih mulus meski belepotan tahi dan kotoran dari telur lain dan mesti dibersihkan dahulu. Semoga saja harapan saya tidak tinggal harapan.
Amanah seorang pemimpin bisa dirasa oleh mereka yang ada di bawahnya bila memenuhi persyaratan sebagai ciri-ciri yang dimiliki pemimpin sejati. Beberapa di antaranya seperti di bawah ini, yang sebagian saya ambil dari buku John Calvin Maxwell berjudul The 21 Indispensable Qualities of a Leader: Becoming the Person Others Will Want to Follow.
Menginspirasi
Yang namanya pemimpin pasti menginspirasi. Jika tak bisa menginspirasi, pasti bukan pemimpin yang baik. Bila seorang pemimpin tidak menjadi inspirator, bagaimana dia bisa menggerakkan anak buahnya?
Bukan Peragu
Keraguan bisa menyesatkan. Ketika sebuah keputusan untuk keadaan krusial harus diambil, ragu-ragu tak boleh ada. Bila dia dibiarkan, keputusan bisa membawa ke keadaan yang tidak diinginkan. Bisa juga, keraguan akan membuat kondisi buruk menjadi berlarut-larut. Tidak boleh tidak, keputusan harus dibuat oleh seorang pemimpin, dengan tanpa ragu. Pemimpin peragu sudah pasti akan merugikan. Sayangnya, pemimpin peragu memang ada.
Berhati
Ketika hati berbicara, yang akan merasakan juga hati. Kadang-kadang, masalah rumit yang terjadi di antara anak buah bisa menjadi sederhana saat pemimpin menggunakan hatinya untuk berkomunikasi. Pemimpin berhati akan lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Dia tahu, dengan lebih sering menjadi pendengar akan semakin memahami persoalan dan yang pasti akan lebih mudah untuk dia memasuki hati anak buahnya.
Menjadi Solusi
Semua masalah ada solusinya. Entah saat itu juga, atau beberapa waktu kemudian setelah melalui berbagai proses. Pemimpin harus menjadi solusi atau bisa membawa atau mengarahkan anak buah menuju penyelesaian masalah. Dengan demikian, anak buah akan merasa pemimpinnya bisa diandalkan.
Melayani
Seharusnya pemimpin itu melayani. Namun yang terjadi banyak pemimpin yang minta dilayani karena merasa kedudukannya lebih tinggi. Jika pemimpin mau lebih banyak memberi atau melayani, dia juga akan memperoleh hal yang sama bahkan bisa lebih. Yang dipimpin pasti akan lebih hormat dan akan lebih menghargai. Di mata anak buah, pemimpin ini akan dipandang sebagai atasan yang memanusiakan bawahan. Bila sudah demikian bisa dipastikan hubungan akan menjadi harmonis.
Berani mati
Barangkali terdengar ekstrim bila pemimpin harus berani mati. Namun begitulah yang dituntut dari seorang pemimpin. Dia harus bernyali, bahkan bila perlu siap mempertaruhkan nyawanya. Tidak mesti dalam keadaan perang. Dalam keadaan tidak perang pun, nyali pemimpin kadang diuji. Jika dia takut dengan ancaman preman, misalnya, bagaimana mungkin kepemimpinannya bisa pro rakyat? Pemimpin ‘cemen’ jelas tak bisa diharapkan untuk menjadi pelindung.
Jika kepemimpinan hanya dikaitkan dengan kursi dan untuk mendapatkannya dibutuhkan uang berpeti-peti, pemimpin yang muncul bisa dipastikan hanya para penjual mimpi. Pemimpin bukan semata-mata urusan posisi yang diduduki tetapi bagaimana dia bisa mendekati hati mereka yang dipimpin.
Sumber gambar: di sini
Musti memilih 1 setan dari ratusan iblis..trus kl gak milih kata emui haram..trus aku kudu piye..
@Jendral Lebond: ngopi ae nek ngono.