Sebagaimana generasi-generasi sebelumnya, kehadiran generasi jempol tak bisa ditolak. Suka atau tidak, kita tetap akan berhadapan dengan mereka. Disadari atau tidak, generasi jempol sudah hadir di tengah-tengah kita. Atau bisa jadi kita adalah generasi jempol itu.
Kemunculan generasi jempol seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Mereka hadir begitu saja. Pemicunya tak lain adalah media sosial semacam Facebook dan Twitter.
Media sosial ini efeknya memang dahsyat. Dia menghasilkan pakar apa saja dalam waktu sekejap. Tiba-tiba saja bermunculan ahli sosial, pakar politik, munsyi, sastrawan, komentator olahraga, ahli surga, dan semua keahlian di bidang kehidupan manusia, binatang, dan bahkan makhluk halus. Para pakar ini ada yang memang ahli betulan, ada yang tak terang keilmuannya alias merasa dirinya pakar. Yang jelas mereka merasa kuasa menggerakkan jemarinya untuk menumpahkan segala buah pikiran dan unek-unek. Dia anggap yang dia sampaikan kebenaran belaka. Meskipun belum tentu kebenaran itu sebagaimana yang dia sangkakan. Dan bisa jadi curahannya itu melabrak norma-norma yang ada.
Kemunculan Generasi Jempol
Istilah generasi jempol tiba-tiba saja muncul dalam obrolan bersama teman ketika saya bertandang ke rumahnya beberapa waktu lalu. Saat itu kami sedang membincang sastra siber (cyber) yang cenderung ngawur di media sosial khususnya Facebook. Kengawuran yang dimaksud adalah ungkapan yang cenderung menafikan bentuk sastra yang sudah ada sebelumnya baik karya maupun penciptanya. Sah-sah saja mereka berkarya. Tak ada larangan untuk berkreasi di dunia sastra. Namun bila kemudian menyalah-nyalahkan karya lain dan merisak penciptanya, itu jelas perbuatan yang tidak santun.
Kemunculan generasi jempol berbarengan dengan hadirnya Facebook. Media sosial inilah, setahu saya, yang memperkenalkan ikon tangan yang mengacungkan jempol untuk menyatakan Like atau suka atas status yang dibaca. Dengan adanya ikon ini, kemudian berhamburan penggunaannya. Ikon yang tadinya diperuntukkan sebagai lambang suka atau senang selanjutnya dipakai untuk merespon yang sebenarnya tidak pada tempatnya. Salah kaprah telah terjadi atas ikon jempol ini. Salah satu contoh misalnya saat seseorang mengunggah foto musibah atau mengabarkan kedukaan, pengguna lain kemudian memberi jempol. Bersukacita di atas penderitaan orang lain? Bila maksudnya bersimpati, janganlah malas untuk menuliskannya. Jangan hanya memberi jempol yang bisa disalahartikan.
Perilaku Generasi Jempol
Sebenarnya ikon jempol ini sangat bermanfaat untuk mengungkapkan perasaan dan praktis. Dengan menggunakan ikon jempol, kita juga menginformasikan kepada pemilik status akan keberadaan kita. Lewat ikon jempol yang kita berikan, itu artinya kita telah membaca dan memahami status yang kita kasih jempol itu. Sayangnya itu tak berlaku seratus persen. Banyak generasi media sosial ini asal kasih jempol. Tidak tahu apa yang dibaca, atau malah belum dibaca, yang penting kasih jempol. Tak heran bila perilaku mereka ini menjadikan hoax tumbuh subur dan berkembang biak. Mereka kemudian menjadi agen penyebar hoax tanpa disadari.
Generasi jempol yang asal kasih jempol ini biasanya kaum pemalas. Mereka malas membaca dengan cermat, malas melakukan cek dan ricek atas informasi yang diterima. Celakanya lagi bila generasi jempol ini juga seorang bigot. Mereka akan menjadi sasaran empuk bagi kaum hitam yang punya kepentingan politik, kekuasaan, dan lain-lain.
Media sosial itu ibarat mata uang. Kita tak bisa mengambil satu sisi saja. Baik dan buruk media sosial menjadi satu paket. Ketika kita masuk ke dalamnya, kita akan menemukan dua hal itu. Media sosial berfungsi sebagai penyebar hal-hal baik sekaligus menjadi mesin yang memproduksi hoax, caci-maki, dan intoleransi.
Alatnya Generasi Jempol
Media sosial seperti pisau. Sebuah alat semata. Bahaya atau tidak tergantung penggunanya. Media sosial di tangan generasi jempol yang juga bigot akan menjadi perkakas yang sangat membahayakan. Akan dengan mudah media sosial dipakai menyebar fitnah dan menghancurkan kredibilitas orang yang tak disenangi. Generasi jempol yang tak punya tanggung jawab akan melakukan optimalisasi media sosial untuk merugikan sampai mencelakakan pihak lain.
Sangat gampang generasi jempol yang juga bigot ini digerakkan. Tinggal rangsang dengan sesuatu yang menyulut emosi, mereka akan langsung meledak. Karena gampang tersulut dan meledak, wajar saja orang-orang seperti ini kemudian dijuluki sumbu pendek.
Bukan pekerjaan sulit menjadikan generasi jempol sebagai agen penyebar hoax. Tinggal kasih berita yang menyangkut kemanusiaan, keyakinan/agama, kesehatan, atau hal-hal yang tampaknya baik, generasi jempol akan semrinthil menyebarkan informasi tersebut via dinding Facebook miliknya, Twitter, Path, Line, Instagram, grup-grup WhatsApp yang dia ikuti, dan media sosial lain yang dia miliki.
Mau dicegah seperti apa, generasi jempol pasti akan nongol. Bukan perlawanan yang mesti dilakukan terhadap mereka tetapi rangkulan penuh persahabatan. Lebih baik membimbing dan mengarahkan generasi ini agar jempol mereka tidak terlepas sambungannya dengan nalarnya.
Sumber gambar: di sini