Saya katakan demikian karena salah satu fungsi media sosial adalah mengawetkan kenangan. Bagaimana tidak dibilang mengawetkan jika karenanya, foto-foto lama yang disimpan oleh para sahabat dengan tiba-tiba kemudian bermunculan di dunia maya lewat Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan lain-lain.
Tak terbayang pada waktu dulu bahwa hal ini terjadi. Perkembangan teknologi terus berjalan. Apa yang tak terpikirkan pada waktu lampau, sekarang mewujud. Dulu, saya tak punya bayangan bisa kumpul kembali, ngobrol lagi, bercanda, saling merisak (mem-bully) antar teman setelah sekian puluh tahun. Bukan hanya teman kuliah, bahkan teman masa kecil bisa saya jumpai lagi dan bisa saling berinteraksi meski hanya berwujud maya di media sosial. Tanpa harus bertemu secara fisik, itu sudah cukup buat saya. Bila memungkinkan bertatap muka langsung, tentu lebih menyenangkan. Namun, rasanya bukan hal gampang itu bisa dilakukan sekarang. Apalagi masing-masing sudah punya kehidupan sendiri-sendiri. Semua sudah berkeluarga, bahkan ada yang sudah memiliki cucu. Tempat tinggal bukan hanya berbeda kota atau pulau, bahkan berbeda negara. Untuk bisa berkumpul bersama seperti masa sekolah dulu, bisa dibilang sebuah pekerjaan yang sudah tidak mungkin lagi. Tangeh lamun, kata orang Salatiga.
Bagaimanapun juga, saya wajib berterima kasih kepada orang-orang kreatif macam Mark Zuckerberg atau Jack Dorsey, Evan Williams, Biz Stone dan Noah Glass, dan pencipta aplikasi jejaring sosial lain. Karena mereka, saya bisa kembali berhaha-hihi dengan sahabat-sahabat masa lalu saya. Berkat kreasi mereka, pertemanan bisa terjalin kembali tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Sahabat saya yang ada di Eropa, misalnya, bisa saya sapa dari kampung di mana saya tinggal sekarang. Kala di sini lewat tengah malam dan saya belum tidur, saya bisa ngobrol asyik dengan mereka. Yang menyenangkan lagi, aplikasi semacam WhatsApp, BBM, atau Facebook, memungkinkan kita berkumpul dalam satu kelompok yang sifatnya eksklusif. Sama seperti dulu. Hanya teman-teman sekolah atau kuliah yang ada di dalam kelompok itu. Tak ubahnya sedang berada di ruang kuliah atau nongkrong di tembok depan kampus.
Bila saya katakan media sosial itu formalin, yang saya alami di atas itulah buktinya. Persahabatan saya dihidupkan kembali dan diawetkan oleh media sosial. Dan saya yakin saya tidak sendiri. Anda yang sedang membaca ini sebagian besar atau bahkan semua mengalami apa yang saya alami. Tali silaturahmi yang dulu pernah terjalin, kini tersambung kembali oleh media sosial. Atau mungkin juga sebaliknya. Bangunan silaturahmi yang dibangun selama ini, runtuh gara-gara media sosial. Positif atau negatif efek yang ditimbulkan, kesalahan bukan datang dari media sosial yang digunakan. Kitalah yang mengendalikan. Oleh karena itu, menggunakan media sosial secara bijak perlu dilakukan.
Sumber gambar: http://what-buddha-said.net/Pics/friendship-grey-children.jpg
sangat setuju. apa lagi berjumpa dengan teman teman kecil, semua kenangan akan bangkit kembali
Formalin berbahaya untuk mengawetkan makanan. Pun demikian, medsos berbahaya jika mengawetkan kenangan dengan “mantan”. Was was lah.. was was lah… :v
Yup sosial media bisa menjadi senjata atau bumerang untuk menghancurkan kita bila masuk dalam kategori bisnis. Saya sendiri sudah menggunakan sosial media dari jaman friendster terkenal, kemudian lanjut ke Facebook karena friendster beralih fungsi.
Salah satu dampak positif sosial media adalah saya dapat dengan mudah menemukan teman lama. Dan pastinya bisa melakukan reuni dengan mudah.
Betul sekali pak, positif negafinya medsos tergantung kebijakan dari penggunanya. 🙂