Cerita ini merupakan kelanjutan dari kisah berjudul Gua Seplawan di #Ngopikere. Setelah dua tahun tak ada kabar, Duloh dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Komunitas Serabi Jenggot kembali muncul.
————————————————
Panggilannya Daeng. Dari namanya, orang pasti mengira dia berasal dari Sulawesi. Perawakannya sedang, tak terlalu gemuk. Kulitnya coklat kehitam-hitaman. Ada kumis tipis melintang di bawah hidungnya yang tergolong besar. Matanya belok sehingga memberi kesan selalu melotot. Rambutnya yang hitam tebal sering terlihat acak-acakan karena jarang disisir. Secara keseluruhan, penampilan Daeng cukup menarik. Satu hal yang tak bisa dia lawan pada dirinya sendiri, kelaki-lakiannya selalu menggelegak setiap melihat perempuan manis atau cantik. Dia selalu menyerah dan menuruti nafsunya itu. Pagi ini Daeng begitu antusias mengikuti satu kegiatan yang diadakan penyelenggara acara #Ngopikere. Wisata alam ke Gua Seplawan merupakan acara yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Apalagi tiga gadis cantik dari Jakarta juga ikut.
Meski mata Daeng sayu karena begadang semalaman, semangatnya tak ikut melayu. Dia harus tunjukkan jika dia pejantan tangguh dan tulen ke ketiga gadis Jakarta yang setelah berkenalan dia jadi tahu kalau namanya Nabil, Joling, dan Sahara. Dengan kehandalannya berbicara dan kepintaran membuat puisi dan membacakannya, Daeng merasa punya senjata ampuh untuk menundukkan hati setiap makhluk berjenis kelamin perempuan. Bahkan saking yakinnya atas kemampuan yang dimiliki, andai sapi, kerbau, dan kambing betina bisa paham bahasa manusia, Daeng sesumbar hati mereka pun pasti akan luluh dan tunduk atas segala maunya. Begitu optimisme dan kepercayaan diri yang dimiliki Daeng.
Agar lebih menarik perhatian, sebelum berangkat tadi Daeng meminjam sisir milik Duloh yang baru dia kenal di #Ngopikere. Kali ini Daeng harus tampil maksimal, rambut mesti rapi, demi memikat tiga calon korban yang sekarang berjalan bersamanya di dalam rombongan wisata ke Gua Seplawan. Sambil menyusuri jalan setapak di antara pohon kopi, sesekali lewat di dekat rumah penduduk, mata Daeng terlihat mencuri-curi pandang ke Nabil, Joling, atau Sahara. Matanya menjelajahi seluruh lekuk-lekuk dari tubuh molek ketiga gadis itu. Dia sedang menimbang-nimbang ketiga mangsanya bagai menaksir sapi korban.
Tinggi Nabil sekitar 170 sentimeter. Bila dilihat postur tubuhnya, beratnya tak kurang dari 70 kg. Dengan tinggi dan berat badan seperti itu, Nabil jelas terlihat gagah. Rambutnya dipotong pendek sebatas leher. Ini menambah kesan Nabil sebagai perempuan kekar. Dada tipisnya makin menyempurnakan kekekarannya. Meskipun demikian, parasnya yang berkulit coklat muda dengan hidung meruncing serta mata yang indah menjadikan dia seperti bidadari raksasa. Begitu kesimpulan yang diambil oleh Daeng terhadap gadis yang sekarang berjalan persis di depannya.
Di sebelah kanan Nabil, berjalan gontai seorang gadis dengan rambut hitam kemerahan panjang terurai. Tak lama kemudian, rambut itu digulung pemiliknya. Dengan demikian, leher jenjangnya tampak jelas. Tingginya nyaris sama dengan Nabil. Karena badannya tidak sebesar Nabil, dia terlihat jangkung. Kulitnya putih bening dan halus. Daeng yakin bila teman Nabil yang bernama Sahara ini minum kopi, dari leher belakang pun akan terlihat. Daeng sekali-sekali menelan ludah setiap kali mengamati pinggul Sahara yang memantul-mantul ke segala arah seperti mau copot. Imajinasinya sudah melantur ke mana-mana. Pasti lembut bokong yang mau jatuh itu. Seratus persen rela bila kejatuhan kedua gunung kembar bagian belakang milik Sahara tersebut.
“Aduh!” Kemudian terdengar suara berdebum.
Rupanya yang teriak tadi Daeng. Dia terjerembap. Kakinya tersangkut akar pohon yang mencuat di pinggir jalan. Akibat membayangkan dijatuhi pantat Sahara, dia lengah. Matanya tak melihat ada akar pohon di depannya. Daeng segera bangkit. Ditepuk-tepuk dadanya untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Mukanya kemerahan karena malu. Untungnya muka peserta yang lain juga agak kemerahan setelah berjalan melewati medan yang naik turun. Hal ini menguntungkan Daeng. Rasa malunya tersamarkan. Mukanya yang memerah mereka kira akibat kecapean juga setelah berjalan jauh, sebagaimana mereka.
“Kalem, kalem, kalem. Semua aman. Cuma gangguan teknis dikit,” kata Daeng mencoba mengatasi situasi.
“Daeng tidak apa-apa?” Tanya Sahara.
“Oh, tidak apa-apa. Mari kita teruskan perjalanan.” Itu yang keluar dari mulut Daeng. Sementara di dalam hati dia bilang, “Sahara, pantat indahmu itulah penyebab jatuhku.”
Rombongan segera bergerak lagi melanjutkan langkah. Insiden kecil itu segera lenyap dalam gelak canda yang terlontar. Jatuhnya Daeng menjadikan suasana makin mencair. Bagi Daeng sendiri, kesialannya dia rasa membawa berkah. Dia merasa ketiga gadis Jakarta semakin akrab dengannya. Obrolan dengan mereka lebih sering dilakukan.
“Sulawesinya mana, Daeng?” Tiba-tiba Joling membuka percakapan.
“Maksudnya?” Daeng terlihat bingung dengan pertanyaan itu.
“Daeng orang Sulawesi bukan?” Kembali Joling bertanya.
“Mengapa bertanya begitu?”
“Daeng kan nama panggilan untuk orang Sulawesi yang artinya jika tak salah seperti Abang kalau di Jakarta atau Mas di Jawa?”
“Aku asli Wonosari, Gunung Kidul, kok. Lahir dan besar di sana.”
“Hloh, kok bisa?” Joling terbengong-bengong mendengar jawaban Daeng. Nabil dan Sahara yang berada di dekatnya juga keheranan.
“Orangtuamu asli Wonosari juga?” Nabil menimpali.
“Tidak. Kedua orangtuaku tidak berasal dari Wonosari.”
“Dari Sulawesi ya? Itulah sebabnya kamu dipanggil Daeng.” Kembali Nabil bertanya.
“Ibuku berasal dari dekat sini, Kaligesing. Bapakku asli Jabung, Ponorogo.”
“Terus, bagaimana ceritanya kamu bisa dipanggil Daeng?” Kali ini Sahara yang bertanya.
“Teman-teman SMA yang memberiku panggilan Daeng. Katanya wajahku mirip pahlawan nasional yang gambarnya ada di uang kertas Rp 1000.”
“Maksudmu Kapitan Pattimura?” Tanya Sahara.
“Ya.”
“Kan Kapitan Pattimura kumisnya baplang? Sementara punyamu tipis gitu.” Sahara memprotes.
“Katanya versi Kapitan Pattimura berkumis tipis.”
“Sebentar… sebentar…,” tiba-tiba Duloh ikut nimbrung. Sebagai pedagang ketoprak yang setiap hari tangannya menyentuh uang kertas seribuan, baik yang dia terima sebagai bayaran untuk ketopraknya atau yang dia serahkan sebagai kembalian, Duloh hafal tampang pahlawan nasional yang ada di uang kertas itu. Karena dia suka membaca koran dan majalah dagangan Wekape yang bersebelahan dengan gerobak ketopraknya, Duloh tahu betul siapa Kapitan Pattimura.
“Kalau teman-temanmu bilang kamu mirip Kapitan Pattimura, mengapa kamu dipanggil Daeng? Teman-temanmu tahu tidak Pattimura itu pahlawan yang berasal dari daerah mana?” Tanya Duloh.
“Entah, mereka tahu atau tidak. Teman-temanku pokoknya memanggilku Daeng. Daeng Pattimura.”
“Berarti mereka tidak tahu. Kalau tahu Pattimura itu berasal dari mana, pasti tak akan memanggilmu Daeng.”
“Memang Pattimura berasal dari mana?”
“Pattimura itu pahlawan dari Maluku. Dia lahir 8 Juni 1783 di Haria, Pulau Saparua, Maluku. Usianya tergolong masih mudah saat meninggal yaitu 34 tahun. Tepatnya 16 Desember 1817 di Ambon, Maluku. Pattimura yang di uang kertas seribuan bernama Kapitan Pattimura juga dikenal sebagai Thomas Matulessy. Jadi, tidak ada julukan Daeng untuk orang Maluku. Daeng itu nama yang dipakai untuk orang Bugis atau Makassar. Pokoknya Sulawesi.” Duloh mencoba menjelaskan semampunya dan sejauh yang dia ketahui.
“Berarti salah dua kali dong kalau aku dipanggil Daeng?”
“Dua kali gimana?”
“Pertama, aku wong njowo asli. Asli Wonosari. Orang Jawa itu panggilannya Mas, bukan Daeng. Kedua, Pattimura ternyata bukan orang Sulawesi sehingga gelar atau panggilannya harusnya bukan Daeng. Entah apa panggilan untuk orang Maluku yang artinya mirip-mirip Mas atau Daeng. Kalau aku dipanggil Daeng Pattimura, itu artinya kan salah dua kali.”
“Menurutku sih tidak apa-apa meskipun salah.” Duloh menenangkan. “Nama panggilan itu kan bukan masalah benar atau salah, tetapi itu untuk menunjukkan kalau kamu adalah sahabat mereka. Wajar jika dalam pertemanan saling memberi julukan. Meskipun kadang ngaco seperti nama panggilanmu itu.”
“Ya, sih. Tapi kan lebih baik kalau nama yang diberikan sesuai dengan yang ada. Lagipula…” Daeng tidak melanjutkan omongannya karena terdengar suara pemandu perjalanan mengumumkan lewat megafon bahwa sebentar lagi rombongan akan sampai di area wisata Gua Seplawan.
***
Para peserta wisata sangat antusias. Di depan mereka sudah terlihat mulut gua. Terlihat jalan beton berundak dengan pagar pelindung dari besi di kiri-kanannya yang mengarah ke mulut gua. Di beberapa bagian dari pagar besi bagian atas yang dijadikan pegangan berlubang dan berkarat. Dinding batu yang mengapit mulut gua dipenuhi perdu dan lumut.
Daeng melihat mulut gua yang di bagian dalamnya tampak gelap. Sebuah rencana sudah tersusun di kepalanya. Apa yang nanti dia kerjakan di dalam gua pasti akan sensasional. Bukan hanya itu. Dia yakin, apa yang dia lakukan pasti mendatangkan pujian dari anggota rombongan. Yang terpenting dan memang ini tujuan utamanya, salah satu atau bila perlu ketiga gadis Jakarta yang dia incar, akan bertekuk lutut di hadapannya. Pasti!
Berarti daeng patimura ki tanggaku wakakaka
@Profijo: Gek-gek malah awakmu sing nyamar, Om? 😀
wahahahaaaa…. Pattimura itu nyong ambon…
paling menarik soal…
((((pantat))))
@mt Waduh… 😀