Setelah lama menanti, keinginan saya akhirnya terwujud pada Minggu 5 April 2015 kemarin. Saya bertemu keluarga Van Motman, pemilik perkebunan seluas sepertiga wilayah Bogor pada masa Herman Willem Daendels. Kami bertemu di Kampung Pilar, Desa Sibanteng, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. Sebuah peristiwa luar biasa bagi saya.
Pada hari Minggu itu, saya berkesempatan jalan bareng bersama teman-teman dari Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya (KNTPB). Setelah dua atau tiga kali saya tidak ikut kegiatan KNTPB karena kesibukan, kali ini saya bisa kembali ramai-ramai mengunjungi tempat bersejarah di Bogor Barat. Ada empat tempat yang disambangi yang tiga di antaranya baru pertama kali saya datangi. Dan inilah salah satu manfaat yang saya peroleh dengan bergabung menjadi anggota KNTPB. Bila Anda suka berpetualang sekaligus senang sejarah, komunitas ini merupakan wadah yang tepat untuk menyalurkan hobi Anda itu.
Sebagaimana disepakati, waktu berkumpul adalah 7.00 WIB di depan mal BTW setelah Plaza Jembatan Merah Bogor bila dari arah stasiun. Dan seperti yang sudah-sudah, waktu berangkatnya molor. Pukul 7.55 WIB rombongan baru berangkat dengan menggunakan satu bus kecil. Jumlah peserta yang ikut tapak tilas berjumlah 27 orang, empat di antaranya adalah anak-anak. Ada empat lokasi yang akan dituju. Semuanya berada di wilayah Bogor Barat.
Situs Makam Raja-raja Islam (Garisul)
Tujuan pertama adalah lokasi yang terjauh yaitu situs makam raja-raja Islam (Garisul) di wilayah Jasinga, yang merupakan kompleks makam Islam abad ke-19 M. Kami sampai di tempat ini pukul 10.15 WIB. Dua jam lebih waktu yang dibutuhkan untuk jarak sekitar 32 km dari arah Bogor. Ini terjadi disebabkan kondisi jalan yang macet karena akhir pekan. Biasanya hanya butuh waktu paling lama satu jam.
Untuk sampai ke kompleks pemakaman, kita perlu berjalan kaki sejauh 500 meter dari jalan raya. Lokasinya dekat Sungai Cidurian. Sebelum sampai di lokasi, kita akan menyusuri tepi sungai tersebut. Situs ini berada di Desa Kalongsawah. Bila melihat bentuk nisannya yang terbuat dari batu cadas, situs Garisul ini dipengaruhi oleh gaya Banten Lama. Bentuk dari nisan ternyata memiliki makna. Nisan yang berbentuk gada adalah untuk laki-laki, yang pipih untuk perempuan. Garisul sendiri merupakan bahasa Sunda yang berarti tanah yang tidak rata. Saat kami sampai di situ, hanya ada satu orang yang merupakan juru kunci makam. Berbeda sekali bila bulan Maulud, kompleks makam ini ramai pengunjung di bulan itu. Bahkan bisa jadi kita tak akan bisa masuk ke dalam kompleks makam yang bercungkup.
Moseleum Van Motman
Pukul 11.40 WIB rombongan meninggalkan Garisul menuju lokasi kedua yaitu Situs Moseleum Van Motman. Sebelum sampai ke situs tersebut, bus parkir dulu di sebuah masjid pinggir jalan milik PT. Perkebunan Nusantara VIII. Kami istirahat, salat, dan makan siang. Pukul 13.15 WIB perjalanan dilanjutkan. Ternyata hanya butuh waktu 19 menit untuk sampai di ujung jalan menuju moseleum. Dari jalan raya, jalan kaki sekitar enam menit, rombongan sudah sampai di lokasi.
Banyak kisah menarik di balik moseleum Van Motman. Peninggalan sejarah berupa bangunan yang merupakan replika Gereja Santo Petrus yang ada di Roma, Italia ini akan indah seandainya dirawat dengan baik. Sayangnya, konon, tahun 1970-an terjadi penjarahan besar-besar di moseleum ini. Semua barang: kaca, besi, marmer, bahkan empat mayat keluarga Van Motman yang disimpan di moseleum itu juga raib. Meskipun demikian, saya tetap bersyukur bisa bertemu dengan keluarga Van Motman ini walau hanya berujud bangunan moseleum dan beberapa nisan yang berbentuk seperti tugu. Tak apa hanya bertemu sisa kejayaan keluarga Van Motman. Itu sudah cukup buat saya. Saya dan rombongan meninggalkan situs moseleum Van Motman pukul 14.15. Setelah sesi foto-foto tentunya.
Waduk Gunung Bubut
Tempat ketiga yang dikunjungi adalah tandon air peninggalan Belanda di wilayah Karacak. Kami sampai di lokasi pukul 15.05 WIB. Tandon air ini merupakan sub unit PLTA Kracak dan adalah penampung air dari dua sungai yang dibendung yaitu Sungai Cianten dan Sungai Cikuluwung. Dengan pipa berdiameter 2 meter, air yang dibendung tersebut kemudian dialirkan ke bawah untuk menghidupkan turbin PLTA yang memasok listrik wilayah Jakarta dan Bogor. Penampungan air yang oleh masyarakat lebih dikenal sebagai Waduk Gunung Bubut ini mulai dioperasikan pada tahun 1926. Pembangunannya sendiri diperkirakan dimulai pada 1920. Bila Anda berminat ke sana, waduk ini berlokasi di Kampung Karacak, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang. Hanya saja, jangan kaget bila nafas Anda jadi engap alias ngos-ngosan. Ada 196 anak tangga, menurut hasil hitungan saya, yang harus dilalui sebelum sampai di bibir waduk.
Museum Pasir Angin
Kami berada di lokasi Waduk Gunung Bubut selama 45 menit. Pukul 15.50 perjalanan dilanjutkan ke tujuan keempat atau terakhir yaitu Museum Pasir Angin. Saya sempat hitung lama waktu yang dibutuhkan dari waduk sampai pertigaan Karacak, yaitu sekitar 50 menit. Ini dikarenakan menggunakan bus, yang sering berhenti karena berpapasan dengan mobil lain. Saya yakin, bila naik motor, waktunya bisa lebih cepat.
Saat sudah sampai di pertigaan Karacak (jalur Bogor-Leuwiliang/Jasinga) pukul 16.40 WIB, hanya butuh waktu lima menit bagi bus untuk sampai di tepi jalan di mana bus diparkir. Selanjutnya kami berjalan kaki menuju museum. Jarak dari jalan raya ke museum sekitar 200 meter. Di museum, rombongan mengamati benda-benda bersejarah misalnya beliung persegi yang disimpan di etalase kaca sambil mendengarkan penjelasan dari Kang Hendra selaku Ketua KNTPB sekaligus pemandu rombongan. Hanya sebentar kami berada di museum karena hari sudah sore. Pukul 17.20, setelah foto bersama di depan museum, kami kembali ke bus untuk pulang ke Bogor.
Sumber gambar: koleksi pribadi
saat ini saya berada di rumah salah satu keluarga vantmotman…
saya pernah ke moseleum van motman ini …
kalau masih ada mumi-nya … wah pasti ajib banget …. bakalan banyak turis yang datang kesini
pengen ikut gak pernah kesampean ;(
@mt: nanti juga sampe. 😉