27 Oktober 2006 (Jum’at): Ngariung Sebelah Saung di Cikawung
Malam Jum’at saya, istri, dan aak Jaja (anak tertua dari wak Endus) asik ngobrol sampai jam setengah satu malam di ruang tamu. Segala hal diperbincangkan. Ngalor ngidul. Salah satunya adalah tentang rencana besuk pagi untuk sarapan di sawahnya wak Endus yang ada di dukuh Cikawung.
Paginya, sekitar jam 7.48, saya sekeluarga, bapak mertua, aak Jaja beserta istri dan kedua dari tiga anaknya, wak Endus dan istri juga anak perempuan terkecilnya, teteh Arin, rame-rame berangkat ke Cikawung. Persawahan milik wak Endus di Cikawung letaknya ada di cekungan sebuah bukit. Meskipun sawah di sekelilingnya kering, karena ada mata air di bagian paling bawah, sawah wak Endus bisa ditanami padi dan ada balong di sebelahnya. Kontras sekali. Sawah menghijau dikelilingi oleh lahan kerontang.
Sesampai di lokasi, tikar pandan digelar di sebelah saung di atas tumpukan jerami kering yang empuk untuk tempat sarapan nanti. Wak Endus segera menjaring ikan. Izal dan Reyhan nggak mau kalah. Mereka masuk ke dalam balong membantu wak Endus mencari ikan dengan heboh yang sebenarnya lebih banyak ngrecoki daripada membantu. Mereka berteriak-teriak berbasah-basahan di tengah balong. Njebur di tengah balong sambil mencari ikan adalah barang mewah buat mereka. Hiburan alami yang jarang sekali bisa mereka nikmati. Saya dan istri hanya melihat dari pinggir balong, menikmati kegembiraan yang sedang dialami kedua anak saya tersebut.
Semua sibuk. Aak Jaja menyiapkan api untuk membakar ikan. Wak Endus perempuan membuat sambal untuk ikan bakar nanti. Saya menunggu di depannya menyaksikan beliau membuat sambal tersebut yang terdiri dari garam, kacang tanah goreng, cabe, jahe, dan kecap. Pedasnya jangan ditanya. Bapak mertua entah pergi kemana. Saat kembali di tanganya ada seikat mentimun muda. Selain mentimun ada petai cina, entah siapa yang ngambil, yang nantinya dijadikan lalapan. Pepaya yang sudah menguning di dekat saung dipetik kemudian dikupas sebagai dessert (pencuci mulut). Nasinya nasi merah yang sudah dibawa dari rumah.
Setelah semua siap, kami duduk berhadap-hadapan di atas tikar pandan yang di tengahnya ditaruh daun pisang. Di atas daun pisang kemudian disiapkan nasi merah, ikan bakar yang sudah berbalur sambal kecap pedas, mentimun, petai cina, dan ungkep ayam tidak pedas yang dibawa dari rumah untuk anak-anak. Semua menikmati piknik keluarga di tengah sawah. Ngariung (berkumpul) di sebelah saung wak Endus sambil mengobrol dan menikmati sarapan yang lezat. Lezat bukan karena makanannya, tapi karena suasana keakraban yang terjalin. Saya yakin piknik ini bukan hanya menjadi kenangan yang mendalam bagi keluarga saya, tetapi juga seluruh kerabat yang ada saat itu.
Makan pagi telah selesai, tapi kami tetap tinggal untuk sesaat. Menyambung obrolan yang telah berlangsung saat sarapan. Ketika jam menunjukkan pukul 10, kami kemudian pulang untuk siap-siap melaksanakan sholat Jum’at.
Tararengyu (thank you nya orang Sunda) wak Endus.
28 Oktober 2006 (Sabtu): Kembali ke Dunia Nyata
Terasa singkat kesenangan yang saya dan keluarga nikmati di Sadawangi. Tiba-tiba saja saya harus mengakhiri kegembiraan berkumpul dengan keluarga di Sadawangi. Kewajiban ngajar di Astri Triguna di hari Senin dan istri yang harus berangkat kuliah untuk S2 nya di hari yang juga sama mengharuskan kami untuk pulang ke Bogor.
Jam 6.55 wib kami diantar menggunakan mobil sedannya Dede anaknya mang Herman ke Wado. Kemudian kami sambung dengan angkutan umum menuju terminal Ciakar, Sumedang. Inginnya dari Ciakar nanti naik bis jurusan terminal Kampung Rambutan kemudian turun di Ciawi. Rupanya bis yang kami naiki tidak lewat Puncak melainkan Jonggol, sehingga tidak bisa turun sesuai keinginan. Apa boleh buat, terpaksa kami turun di Kampung Rambutan yang selanjutnya disambung dengan bis jurusan Bogor. Nggak masalah. Malahan, meskipun memutar lewat Jonggol, karena lancar dan sopirnya tidak lelet, saya sekeluarga bisa nyampai rumah sebelum magrib. Ongkosnya sendiri jatuhnya lebih murah. Kalau waktu berangkat saya harus membayar 40 ribu per tiket untuk Bogor Sumedang, sekarang hanya 26 ribu per tiket untuk Sumedang Jakarta. Sedangkan Jakarta Bogor hanya 7 ribu.
Dalam perjalanan pulang hanya ada sedikit gangguan yaitu Izal pengen eek, padahal saat itu bis baru masuk Cianjur. Untungnya nggak lama kemudian bisnya belok ke restoran untuk istirahat di Ciranjang. Segera saya ajak Izal turun dan pergi ke kamar kecil. Nggak lama kemudian ternyata Reyhan juga nyusul bersama ibunya untuk buang air besar juga. Mumpung ada kesempatan saya suruh mereka membuang segala hajat yang ada.
Meskipun menemui sopir yang lelet saat berangkat, harus membayar tiket Bogor Sumedang yang kelewat mahal meskipun kondektur mengatakan bahwa dia hanya menaikkan tarif lima ribu, bingung ketika Izal ingin eek saat dalam perjalanan pulang, saya sekeluarga rasa-rasanya seperti dalam oase kenikmatan dan kegembiraan selama tinggal di desa Sadawangi. Pesona alam Sadawangi membuat saya dan istri bertekad untuk datang lagi bahkan sebelum lebaran tahun depan. Mudah-mudahan rencana tersebut bisa terwujud, amin. Sekarang, saya harus kembali ke dunia nyata. Saya dan keluarga harus pulang ke rumah kami di Bogor. Sampai ketemu lagi Sadawangi.