25 Oktober 2006 (Rabu): Kejutan yang Gagal
Saya sekeluarga tidak mudik. Sebagai gantinya, saya, istri, dan anak-anak pergi ke desa asal bapaknya istri, Sadawangi. Sebuah desa yang masuk wilayah kabupaten Majalengka tetapi lokasinya lebih dekat ke Sumedang. Pernah ke tempat tersebut? Kalau belum, mainlah ke sana sekali tempo. Daerah yang asri dan sejuk dengan jalan yang berkelok naik turun untuk mencapainya merupakan sebuah pengalaman yang tak percuma.
Perjalanan dimulai dari rumah jam 8.50 wib ke terminal Baranangsiang. Di terminal kemudian naik bis jurusan Sumedang dengan ongkos 40 ribu per orang. Karena kursi yang kami duduki ada tiga meskipun orangnya empat, maka total ongkos yang harus dibayar adalah 120 ribu rupiah. Sampai di terminal Ciakar Sumedang sudah jam 19.45 wib. Dari situ nyambung angkot ke Wado dengan membayar 25 ribu untuk tiga orang. Anak saya yang kedua tidak dihitung. Angkot Wado yang berangkat dari Ciakar jam 20.19 tiba di Wado jam 21.46. Angkutan umum yang menuju desa Sadawangi paling akhir adalah jam 5 sore. Dengan demikian, terdamparlah kami di Wado. Tukang ojeg yang menawarkan jasa dengan tarif 30 ribu menuju Sadawangi saya tolak. Alasannya adalah pertama, kasihan anak-anak kalau harus berangin-angin di malam hari yang udaranya sudah pasti lebih dingin dari Bogor. Kedua, saya tidak bawa jaket sedangkan semua kaos dan baju ganti yang saya bawa berlengan pendek. Istri saya kemudian mengontak mamang Tajudin, atau suka dipanggil Babeh, yang ada di Sadawangi untuk menjemput. Saat mobil jemputan datang, selain sopir di dalamnya ada Babeh dan bapak mertua. Jam 22.30 kami baru sampai di desa Sadawangi, kecamatan Lemah Sugih. Meskipun Wado Sadawangi hanya berjarak 15 km, karena jalannya yang berkelok-kelok dan turun naik serta sebagian ada yang rusak maka perlu waktu sekitar 45 menit untuk mencapai Sadawangi.
Terakhir ke Sadawangi adalah ketika Reyhan, anak kedua saya, berusia satu tahun, sekitar lima tahun yang lalu. Makanya ketika secara tiba-tiba nongol, para kerabat antusias sekali menyambut kedatangan kami. Maklum sudah bertahun-tahun tidak ketemu. Dan kunjungan ini juga tanpa sepengetahuan bapak mertua. Awalnya saat saya memutuskan untuk ke Sadawangi adalah karena mendengar kabar kalau bapak mertua akan ke desa tersebut pada hari lebaran kedua. Untuk menjadikan sebuah kejutan bagi bapak mertua, saya sengaja tidak memberi tahu kalau akan datang ke Sadawangi pada hari yang sama. Harapannya adalah saya sampai duluan ketika bapak mertua datang, sehingga bisa menyambut beliau ketika tiba.
Saya sekeluarga berangkat dari Bogor, sedangkan bapak mertua dari Salatiga. Karena Bogor lebih dekat ke Sadawangi dibandingkan Salatiga, bisa dipastikan saya sampai duluan. Ternyata perkiraan tersebut meleset. Saya yang berangkat dari rumah jam 8.50 pagi, sampai di Sadawangi jam 10.30 malam. Bayangkan, Bogor – Sadawangi yang sama-sama di Jawa Barat ditempuh hampir empat belas jam. Sedangkan bapak mertua yang berangkat dari Salatiga jam 6.30 pagi, jam 4 sore sudah sampai di Sadawangi. Kenapa saya bisa begitu terlambat gara-garanya bukan karena jalan yang macet tetapi terutama karena supir bisnya yang begitu lelet kaya keong. Meskipun bis yang saya tumpangi tidak lewat Puncak tapi lewat Sukabumi, kalau supirnya tidak lelet gitu pasti sampainya bisa lebih cepet. Anehnya sopir tersebut tidak berani ngebut walaupun jalan di depannya kosong sama sekali, namun akan memacu kendaraannya bila banyak mobil atau masuk jalan tol. Masak Bogor – Bandung yang normal ditempuh dalam empat jam menjadi tujuh jam. Gile benerrrrrr… Sebagian penumpang pada emosi. Ada penumpang yang teriak “Injek pir, injek….” Saat tiba di Bandung, penumpang yang turun nyeletuk kalau Bogor Bandung tujuh jam adalah rekor. Yang tadinya ingin memberi kejutan jadi gagal. Tadinya saya berharap bisa menyambut bapak mertua ketika beliau sampai di Sadawangi, justru beliau yang menyambut saya.
Saya sekeluarga memang memutuskan tidak pulang kampung. Namun ternyata, lamanya perjalanan ke Sadawangi malahan lebih dari mudik ke tempat asal saya, Demak, maupun Salatiga tempat orang tua istri.