Asyik itu ketika kita yang berada di masa sekarang bisa jalan-jalan di masa prasejarah. Hal itu terjadi pada Minggu, 10 Juni 2012 ketika saya bersama para sahabat melakukan tapak tilas ke Kampung Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Kami yang tergabung dalam Komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya menyusuri jejak Tarumanegara, dipandu seorang arkeolog dan dosen Universitas Indonesia, Dr. Hasan Djafar.
Sebagaimana kesepakatan yang sudah dicapai dalam grup di Facebook milik komunitas ini, tapak tilas akan dimulai pukul 9.00 WIB. Tempat berkumpulnya sekaligus tempat memarkir mobil maupun motor di dekat Prasasti Kebon Kopi I. Dari tempat itulah kegitan tapak tilas menyusuri peninggalan masa Kerajaan Tarumanegara diawali.
Prasasti Kebon Kopi I yang dijumpai sekarang merupakan in situ, artinya di tempat itulah prasasti tersebut dulu ditemukan. Dinamakan Prasasti Kebon Kopi I karena tempat prasasti itu ditemukan dulunya merupakan area kebon kopi. Prasasti ini dikenal juga dengan nama Prasasti Tapak Gajah. Jonathan Rigg (Inggris) adalah penemunya, ketika dia sedang membuka hutan di sekitar Kampung Muara untuk perkebunan kopi di pertengahan abad ke-19. Di atas prasasti batu ini terdapat sepasang tapak gajah yang mengapit tulisan Pallawa berpola metrum anustubh dalam bahasa Sansekerta. Tulisan tersebut berbunyi “jayavis halsya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam” yang berarti di sini tampak sepasang kaki gajah yang seperti airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dan bijaksana.
Sebenarnya sudah banyak ahli yang mencoba mengkaji tulisan di prasasti tersebut. Nama yang bisa disebut, Brumun (1868), Veth (1878, 1896), H. Kern (1884, 1885, 1910), dan Verbeek (1891). Dari banyak ahli yang telah mencoba, hanya Vogel (1925) yang upayanya diterima banyak pihak.
Di bawah atap bangunan berbentuk cungkup yang melindungi Prasasti Kebon Kopi I, Dr. Hasan Djafar yang mendampingi peserta tapak tilas menjelaskan perihal prasasti tersebut. Begitu juga dengan tulisannya, tapak gajah di atas prasasti bukanlah asli tapak gajah tapi merupakan pahatan yang dibuat menggunakan pahat besi yang pada masa itu memang sudah ada. Tapak tersebut adalah tapak gajah tunggangan Raja Purnawarman yang mirip Airawata. Dalam mitologi Hindu, Airawata merupakan tunggangan dewa perang dan penguasa petir, Batara Indra. Ini bisa ditafsirkan bahwa Raja Purnawarman yang penguasa Taruma memuja Dewa Indra sebagai dewa perang.
Ada tujuh prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang tersebar di Kampung Muara dan sekitarnya. Wilayah tersebut berada di antara pertemuan tiga sungai yaitu Cisadane, Ciaruteun, dan Cianten. Dari tujuh prasasti itu sayangnya ada satu prasasti yang hilang di tahun 1940-an yaitu Prasasti Kebon Kopi II. Sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Bisa jadi batu bersejarah itu sudah berada di tangan kolektor atau museum di luar negeri, Museum Volkenkunde (Leiden, Belanda) misalnya, yang juga memiliki koleksi arca peninggalan Kerajaan Singosari yang diambil dari Candi Singosari, Malang, Jawa Timur. Kami hanya bisa melihat foto prasasti yang hilang itu dari dokumen yang dibawa Dr. Hasan.
Ada salah satu peserta tapak tilas yang menanyakan apakah ada hubungan antara Sungai Citarum dan Tarumanegara mengingat ada kemiripan ejaan di dalam kedua nama itu. Dijelaskan oleh Dr. Hasan bahwa sangat mungkin ada karena terdapat sebuah pohon bernama Tarum, yang digunakan untuk pewarna biru. Kemungkinan nama-nama tersebut diambil dari nama pohon itu. Mendengar keterangan itu, saya jadi tertarik dan ingin melihat langsung pohon yang bernama Tarum. Anda pernah melihatnya?
Dari Prasasti Kebon Kopi I, rombongan berangkat menuju ke lokasi berikutnya berjarak sekitar 100 meter yang dikenal dengan sebutan Prasasti Batu Dakon. Di dalam bangunan yang melindungi prasasti tersebut terdapat lima buah batu: tiga menhir (tiang batu/tugu batu) dan dua batu dakon/congklak. Meskipun di plang depan cungkup tertulis Prasasti Kebon Kopi II namun prasastinya sendiri sudah raib sebagaimana saya sampaikan di atas. Sedangkan lima prasasti yang ada sekarang adalah hasil penggalian tim dari Puslitarkenas tahun 1980-an yang merupakan peninggalan tradisi megalitikum. Hasil penggalian ini menjadi bukti adanya tempat pemujaan bagi penduduk setempat yang berkembang jauh sebelum hadirnya pengaruh Hindu.
Sebagaimana yang diterangkan Dr. Hasan, menhir diperkirakan memiliki fungsi sebagai lambang kekuasaan atau ketokohan. Satu menhir mewakili satu tokoh. Ketika penguasa atau tokoh itu sudah tidak ada maka tugu batu itu menjadi tempat pemujaan atas ketokohan mereka. Sedangkan batu dakon diperkirakan berfungsi sebagai tempat saji atau sistem kalender/penanggalan seperti sistem penanggalan yang dijumpai di masyarakat Badui, Banten yang dikenal dengan nama kolenjer. Ada juga prasasti batu yang disebut dolmen tetapi prasasti yang ini tidak ditemukan di lokasi Prasasti Batu Dakon. Dolmen yang bentuknya besar pipih mempunya fungsi sebagai tempat penobatan. Selain itu, dolmen juga berfungsi sebagai kuburan. Beberapa dolmen yang ditemukan di bawahnya terdapat kuburan.
Tapak tilas dilanjutkan ke prasasti yang terdapat di pinggir Sungai Cisadane. Lokasinya ada di atas bukit yang lumayan tinggi. Yang melegakan adalah tersedianya undak-undakan yang anak tangganya berjumlah sekitar 20. Terlihat masih baru, dan pasti cukup membantu untuk mencapai lokasi prasasti yang ada di atas. Kami yang sudah tak sabar melihat prasasti yang tersembuyi di atas bukit segera menapakkan kaki di atas anak tangga itu, satu, satu. Perlahan tapi pasti. Namun apa yang kami temukan di lokasi prasasti yang ada di ketinggian itu begitu mengejutkan. Mata kami melotot. Mulut melongo. Kami saling tanya dan terheran-heran dengan apa yang terdapat di depan kami. Dr. Hasan Djafar yang menjadi narasumber dan merupakan pakar arkeologi juga tidak mengerti dengan kenyataan yang kami temukan. Mengapa lokasi benda bersejarah di atas bukit bisa berubah seperti itu?
(Bersambung)
Foto: koleksi pribadi
[…] Akan menjadi panjang deretan pertanyaan tentang kopi tersebut bila diteruskan. Kopi memang memiliki sejarah panjang. Semenjak jaman Belanda, tanaman ini sudah dibudidayakan di negeri ini. Sebagai bukti, ada Prasasti Kebon Kopi I dan II di wilayah Kampung Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Dinamakan demikian karena saat ditemukan prasasti yang merupakan peninggalan Kerajaan Tarumanegara tersebut berada di area perkebunan kopi. Prasasti Kebon Kopi I disebut juga Prasasti Tapak Gajah […]
Udah tau ini mah lanjutannya Pak. ^_^
sewaktu SD dgn brjalan kaki pun bisa sampai k lokasi trsbut. 🙂
[…] saya khususnya tentang Bogor semakin bertambah. Acara tapak tilas yang terakhir saya ikuti adalah menyusuri jejak peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang diadakan pada 10 Juni 2012. Jika Anda berminat, silakan bergabung di grup Facebook yang […]
[…] Di antara mereka yang hadir, ada beberapa teman yang beberapa hari sebelumnya jalan bareng di acara tapak tilas menyusuri peninggalan Kerajaan Tarumanegara di Kampung Muarayang diadakan Komunitas Napak Tilas […]