Saya tidak dilahirkan dan dibesarkan di Bogor, tapi sudah 20 tahun tinggal di kota ini. Itulah sebabnya ketika di Facebook saya temukan ada undangan acara sarasehan tentang Bogor dan peninggalannya, tanpa berpikir dua kali saya memutuskan untuk menghadiri acara tersebut. Karena itulah, pada 16 Juni 2012 dari siang sampai sore saya berada di antara peserta, lesehan di lapangan dinaungi tenda dikelilingi pepohonan yang meneduhkan.
Acara bertajuk Sarasehan Bogor Heritage: Nyukcruk Galur Karuhun 1, Menapaki Jejak Pendahulu Bogor yang diadakan di Sekolah Alam Tanah Baru Bogor berlangsung dengan lancar dan meriah. Jadwal acara yang seharusnya dimulai pukul 13.00 WIB molor satu jam. Meski tak suka, saya harus menerima sekaligus tak kaget dengan kejadian seperti itu. Acara baru selesai kurang lebih pada pukul 17.30 WIB dan ditutup dengan foto bersama. Di antara mereka yang hadir, ada beberapa teman yang beberapa hari sebelumnya jalan bareng di acara tapak tilas menyusuri peninggalan Kerajaan Tarumanegara di Kampung Muarayang diadakan Komunitas Napak Tilas Bogor.
Ada empat narasumber yang diundang dalam acara sarasehan budaya tersebut. Mereka adalah Eman Sulaeman, Adenan Taufik, Inotci Hajatullah, dan Dayan Duma Layuk Allo. Keempatnya merupakan orang-orang yang menguasai pengetahuan di bidangnya masing-masing. Mereka ahli dalam hal sejarah Bogor, budaya Sunda, prasasti-prasasti, dan bangunan bersejarah atau suka disebut dengan istilah Bahasa Inggris, heritage.
Bogor yang sudah 20-an saya tempati ini ternyata memiliki sejarah panjang yang sangat menarik. Banyak sisi-sisi sejarah Kota Hujan saya dapat dalam acara ini. Bogor rupanya menjadi pusat budaya dan keberadaan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang beribukota di Pakuan dengan rajanya Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Lokasi persisnya dari kerajaan itu memang tidak teridentifikasi. Para ahli sejarah memperkirakan bentuk bangunan dan tempat berdirinya Kerajaan Pakuan Pajajaran berdasarkan laporan VOC, naskah-naskah kuno, prasasti, dan temuan di lapangan.
Secara sekilas, apa yang dituturkan oleh para narasumber sangat menarik. Saya katakan sekilas karena dari keempat narasumber hanya satu yang menggunakan Bahasa Indonesia. Yang tiga, alamak, malu rasanya jika mengaku sudah tinggal di Bogor 20 tahun tetapi tak mengerti Bahasa Sunda. Tapi itulah kenyataannya. Mau gimana lagi? Jadi, yang bisa saya lakukan hanya memohon maaf jika saya tidak bisa menyampaikan secara lengkap dan komprehensif apa yang dipaparkan dalam acara yang merupakan rangkaian kegiatan memperingati HUT Bogor ke-530 kemarin.
Dari tiga pembicara yang menggunakan Bahasa Sunda dan sekali-sekali disisipi Bahasa Indonesia, saya bisa menangkap kira-kira apa yang mereka omongkan meskipun saya sendiri tak yakin. Jika Anda kebetulan hadir dan menemukan apa yang saya tulis ini ternyata salah atau kurang tepat, silakan dikoreksi.
Eman Sulaeman tampil sebagai narasumber pertama. Detail isi dari yang dia sampaikan seperti apa, jangan ditanya. Secara garis besarnya, dia memaparkan tradisi pantun dalam budaya Sunda. Giliran kedua, Adenan Taufik mendongeng tentang silsilah kerajaan Siliwangi. Nah, untuk narasumber yang satu ini saya betul-betul hanya bengong. Lebih banyak tidak ngertinya karena dia menyampaikannya hampir 95% dalam Bahasa Sunda. Hanya kata-kata tertentu yang tidak asing bagi kedua telinga saya yaitu Siliwangi, katanya, mungkin berasal dari silih asah silih asuh. Inotji Hajatullah dalam ulasannya mencoba menjawab pertanyaan tentang letak Keraton Pakuan Pajajaran dan bagaimana bentuk serta rupanya. Dasarnya adalah laporan yang dibuat VOC, naskah kuno, prasasti, dan kunjungan ke lapangan. Pembicara keempatlah yaitu Dayan Duma Layuk Allo yang paling bisa dimengerti uraiannya karena dia menggunakan Bahasa Indonesia. Bisa jadi karena dia bukan orang Bogor jika dilihat dari namanya. Tapi ini menguntungkan saya karena yang dia sampaikan jadi gamblang. Ternyata banyak bangunan di Bogor yang termasuk kategori heritage dibiarkan terlantar begitu saja atau dihancurkan dan diganti dengan bangunan-bangunan modern. Salah satu contohnya adalah gardu listrik peninggalan Belanda, atau bendungan Katulampa. Dayan yang merupakan Pelaksana Petisi Raden Saleh 2005 memamparkan bagaimana sebuah heritage semestinya diperlakukan dan bagaimana pemerintah Bogor seharusnya menangani bangunan bersejarah tersebut.
Apa yang disampaikan dalam sarasehan memang tidak banyak yang bisa saya mengerti. Bukan itu yang terpenting. Meski tidak begitu paham apa yang disampaikan tiga dari empat narasumber, saya senang karena dari siang sampai sore dapat berkumpul dan berinteraksi dengan orang-orang yang mencintai budaya dan tradisi serta kota mereka. Itu lebih bermakna bagi saya.
@DDLA: salam kembali. Ya, semoga bermanfaat. 🙂
salam Bung Kam Fung.
terimakasih reportase tentang sarasehan 16 juni lalu.
semoga ada manfaat dari provokasi sederhana saya bagi pusaka heritage yang merupakan titipan catatan masa untuk generasi y.a.d.
sampai jumpa.
dayan d. layuk allo