Untuk merayakan kebebasan, malam ini (3/9) saya menikmati santapan di rumah makan Padang Harapan Badut. Setelah sebulan penuh berkutat dengan proyek terjemahan. Sebenarnya sih istri yang punya proyek. Saya hanya membantu, namun benar-benar bikin exhausted. Meskipun terbebas untuk sementara, tapi lumayan juga. Bisa bernafas lega dan tidak merasa dikejar-kejar deadline. Kebetulan juga malam ini istri lagi males masak.
Anda pasti bingung mendengar rumah makan Padang namanya Harapan Badut. Saya hanya mengikuti apa yang diucapkan Reyhan, anak saya yang kedua. Rumah makan tersebut tidak jauh dari komplek perumahan saya. Cukup naik angkot sekali dan hanya perlu waktu dua menit untuk sampai. Seperti biasanya masakan Padang, rasa pedas merupakan ciri khasnya. Dan memang itulah yang membuat nafsu makan bertambah. Saya beserta dua anak dan istri tercinta menyantap hidangan yang ada. Karena tiba-tiba menjadi lapar, dua nasi putih tambahan saya sikat satu setengahnya. Yang setengah dimakan Izal dan istri saya.
Setelah puas makan, kami keluar dari rumah makan yang di bagian luarnya tertulis “Harapan Bundo”. Hlo? Kok? Ya, memang itulah namanya. Kenapa kok jadi Harapan Badut, tanya sendiri pada Reyhan.