Perjalanan menuju Bandung saya tempuh menggunakan kereta Argo Parahyangan Premium dari Stasiun Gambir Jakarta tadi malam. Jadwal pemberangkatan yang seharusnya pukul 18.00 WIB molor 15 menit. Konsekuensinya, tiba di Bandung juga mundur 15 menit. Batal sampai di Stasiun Bandung pukul 21.14 WIB sebagaimana yang tertulis di tiket. Tak apalah. Asal tak terlambat hadir di diskusi buku Berbagi Ruang. Buku yang ulasannya pernah saya tulis di Berbagi Ruang Penangkal Intoleransi dan Radikalisme.
Sampai di Stasiun Bandung, langsung menuju Hotel Guntur untuk menaruh barang lalu keluar lagi cari makan malam. Hotel ini sengaja dipilih karena dekat stasiun. Jadi tinggal jalan kaki dan cuma butuh lima menit untuk mencapainya. Hanya untuk numpang tidur semalam, hotel ini lebih dari cukup. Esoknya sudah keluar hotel dan menuju lokasi diskusi buku.
372 Kopi Dago Pakar yang jadi tempat diskusi buku lumayan jauh dari Bandung kota. Untungnya seorang teman berbaik hati memberi tumpangan di mobilnya ke lokasi sehingga bisa datang lebih awal. Mengabaikan jaraknya yang lumayan nganu itu, tempat diskusi buku tersebut ternyata luar biasa asyik. Di antara pohon-pohon pinus, dibelai semilir angin, buku Berbagi Ruang dibincang dengan santai tapi penuh antusiasme.
Diskusi Buku yang Adem
Diskusi buku ini menjadi nikmat karena diadakan di ruang terbuka yang teduh, di pinggir danau, dan di antara rimbun pinus. Acara diskusi buku dipandu oleh seorang gadis cantik bernama Deska. Hadir dalam acara itu adalah Fasha Rouf sebagai pembedah buku dan penulisnya sendiri Nur Utami SK.
4 Hal Dalam Berbagi Ruang
Dalam diskusi buku itu, Fasha Rouf mengurai buku Berbagi Ruang dengan apik. Empat hal yang dia lihat menjadi pijakan Nur Utami SK meramu tulisannya:
Place dan Space
Place dalam hal ini bermakna hanya tempat secara fisik. Fasha melihat place menjadi batu loncatan bagi Utami untuk perpanjangan dirinya hingga mewujud menjadi space, yang bisa dimaknai sebagai ruang memori, wacana, dan ingatan.
I dan Me
Dalam menuliskan gagasannya, adakalanya Utami memosisikan dirinya sebagai subjek atau tokoh utama. Itu artinya dia sebagai I. Ketika dia menjadi objek atau hanya sebagai pencerita tentang kisah orang lain, saat itulah Utami mendudukkan dirinya menjadi Me. Dia hanya mengamati, melihat dan mendengar, bersimpati atau bahkan berempati, kemudian menuangkannya dalam bentuk sebuah esai.
Ruang Publik dan Ruang Privat
Bagi Utami, seharusnya kita membedakan antara ruang publik dengan ruang privat. Pada praktiknya, ruang privat sering dijajah pihak lain seolah-olah ruang publik. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana interaksi antar akun individu nyatanya diintervensi akun-akun kapital milik perusahaan adalah sebagai contohnya. Contoh lain misalnya saat kita menikmati tontonan di bioskop, seharusnya ruang tersebut diperlakukan sebagai ruang privat. Artinya kita mestinya diam saat menonton karena bila tidak, itu akan mengganggu privasi penonton lain. Seharusnya tidak menyalakan gawai karena cahayanya akan menyilaukan penonton yang ada di belakangnya. Utami juga menyebut ruang suara yang juga seharusnya diperlakukan sebagai ruang privat meskipun ada di ruang publik. Mereka yang nongkrong di kafe mestinya tidak bicara keras-keras sehingga mengganggu pengunjung lain yang ada di dekatnya.
Identitas
Semua orang punya identitas yang berlapis-lapis. Utami memainkan perannya dalam berbagai identitas dalam penulisan esainya. Ada kalanya dia menulis sebagai seorang dosen. Di esai lain dia menjadi seorang teman, ibu rumah tangga, dan lain-lain.
Yang Terjadi di Diskusi Buku
Diskusi buku berlangsung meriah namun santai. Setelah sesi pemaparan dari pembedah dan penulis, dilanjutkan tanya jawab dengan peserta. Karena diadakan di ruang terbuka dan bercampur dengan pengunjung lain yang tidak menjadi peserta diskusi, kadang-kadang ada selingan teriakan dari pramusaji yang mengantarkan pesanan entah minuman atau kudapan. Teriakan “Atas nama … (nama pemesan)” kadang menerobos di antara diskusi.
Beberapa peserta mengajukan pertanyaan atau memberikan tanggapan. Salah satu peserta menyampaikan curhat-nya tentang pola penulisan di buku Berbagi Ruang yang selalu sama. Ini menjemukan buatnya sehingga dia memutuskan berhenti membaca setelah menyelesaikan kumpulan esai di kelompok pertama (beranda) dari empat kelompok yang ada (beranda, ruang tamu, kamar, dapur).
Akhir Diskusi Buku dan Mereka yang Mengusung
Musikalisasi puisi oleh Maja Foundation menjadi penutup yang manis dalam diskusi buku sore itu. Sebelum di tempat yang sekarang, diskusi buku dulu dilakukan di toko buku Toco yang berlokasi di area parkir Kebun Binatang Bandung. Mulai 2018, diskusi buku diselenggarakan di tempat yang sekarang.
Diskusi buku Berbagi Ruang yang asyik ini merupakan kerja bareng Maca Program, Buruan.co, Frasa Media, dan 372 Kopi Dago Pakar.
Sumber gambar: koleksi pribadi