Dilematis. Saat itu dia hanya pegang uang Rp 25. Hari merayap menuju malam. Waktu tidur telah tiba. Pilihan untuknya hanya dua, beli makanan atau obat nyamuk. Tetapi itu menjadi dilema baginya. Lalu, apa yang dipermasalahkan?
Barangkali buat kita hal tersebut merupakan pilihan gampang. Tapi sebaliknya menjadi suatu dilema bagi Idang Rasjidi pada waktu itu. Bagaikan buah simalakama. Dimakan, ibu mati; tak dimakan, bapak yang mati. Jika uang itu untuk beli obat nyamuk maka perutnya akan keroncongan semalaman. Namun kisah indahnya adalah dia bisa tidur nyenyak tanpa diganggu nyamuk. Pilihan kedua, bila uang satu-satunya yang dia miliki itu dipergunakan untuk membeli makanan, dia akan tidur dalam keadaan perut kenyang. Resiko yang harus dia tanggung, badannya akan habis dikeroyok nyamuk semalam suntuk.
Sampai sebegitunya pilihan obat nyamuk dan makanan menjadi dilema bagi Idang Rasjidi. Pada saat kejadian, namanya belum dikenal kalayak. Dia belum melegenda di belantara jazz seperti sekarang ini. Dilema dalam kehidupan kerasnya di Pekanbaru saat itu masih melekat kuat di dinding ingatannya sampai sekarang. Berada dalam dilema semacam itu bukan hal aneh lagi baginya. Perjalanan hidup yang dia jalani tidaklah seperti melewati jalan tol mulus tanpa hambatan, bisa dengan bersantai-santai sambil mendengarkan musik. Dia harus berjuang melawan kerasnya persaingan dalam kehidupan, hingga akhirnya orang mengenal Idang Rasjidi yang sekarang. Sesosok petualang tangguh baik di kehidupan bermusik maupun kehidupan sehari-harinya.
Sudah dua kali saya mendengarkan Idang Rasjidi menuturkan kisah dilematis tentang makanan dan obat nyamuk. Dua kali pula saya seolah merasakan perjuangan hidupnya yang dia gambarkan itu. Begitu menganggumkan cara dia menyampaikan serasa saya sendiri seperti bersamanya dalam labirin kehidupannya. Itulah salah satu kepandaian yang dimiliki Idang Rasjidi. Apapun yang dia ceritakan, semua menjadi begitu hidup.
Bagi Idang Rasjidi, hidup adalah belajar. Apapun yang terjadi dalam kehidupan, itulah pelajaran yang sedang dihadapi. Layaknya berada dalam dunia sekolah, ketika nilainya baik kita akan naik kelas. Saat nilai pelajaran jelek, kita gagal naik kelas. Bila kita mampu melewati berbagai batu ujian termasuk juga dilema kehidupan, itu artinya kita naik kelas dan berhasil duduk di bangku sekolah kehidupan yang tingkatannya lebih tinggi. Naik kelas atau tinggal kelas, hidup terus berjalan dan harus dijalani. Seorang konduktor orkestra dan opera Austria yang telah 35 tahun memimpin Berlin Philharmonic, Herbert von Karajan (5 April 1908-16 Juli 1989), adalah salah satu guru Idang Rasjidi dalam hal belajar di sekolah kehidupan. Kata-kata bijak yang pernah dilontarkan sang konduktor ini sangat menginspirasinya. Idang Rasjidi masih sangat ingat ucapan, ‘I will learn until I cannot see, until I cannot learn no more’ dari Karajan. Hanya dari sebaris kata sakti itu, semangat belajar Idang Rasjidi terus membara sampai detik ini.
Kehidupan memang harus dijalani. Orang pemberani bukanlah mereka yang berani mati tetapi siapapun yang berani hidup, dia yang tak gentar mengarungi gelombang samudera kehidupan. Itulah manusia pemberani sejati. Dia tahu dengan pasti bahwa ada banyak perbedaan antara hidup dan kehidupan, there are far differences between life and living. Dan dia mengerti bagaimana cara menyiasatinya.
Sumber gambar: di sini
@Khrisna Pabichara: Pelit.
Apik.
@la omah: saya juga
Saya juga suka endingnya pak, 😀
@sastro: kenalan dulu sama jazznya kalau begiut 😉
wah blm knal jazz jadinya blm knl idang juga.
Cuma suka critanya aja
@feat everyone: saya juga suka 🙂
suka endingnya 🙂
nice post
@ontohod: makasih pujiannya 😉
luar biasa, dapet pelajaran baru lagi dari maestro… pemaparan yang ciamik khas WKF.