Dulu, dulu sekali, Wan Bilhaq mendirikan Partai Jenggot karena desakan para sahabat dan sahabat-sahabat serta keluarga dari para sahabatnya itu. Selain itu, Wan Bilhaq sendiri memang berniat menampung seluruh orang yang memelihara jenggot dan berkeinginan terjun ke dunia politik.
Saat partai itu sudah berhasil didirikan, berkembang baik, sebuah tragedi menghampiri. Wan Bilhaq merasa satu-satunya tindakan untuk menyelamatkan semua pihak adalah membubarkan partai itu. Dia berharap mampu melakukannya. Tapi keinginannya itu tinggal sebatas harapan. Wan Bilhaq bukan siapa-siapa lagi bagi Partai Jenggot. Dia hanya orang luar, mantan pendiri, yang sekarang tak punya taji. Wan Bilhaq hanya bisa menangis.
KISAH BERDIRINYA PARTAI JENGGOT
Pendirian Partai Jenggot berhasil bukan karena kerja tunggal Wan Bilhaq. Bantuan Batukali sahabatnya yang sedikit banyak paham tentang politik memiliki peran dalam keberhasilan itu. Selain itu, dua sahabat Batukali, yang dipercaya Wan Bilhaq karena mereka sahabat temannya, juga turut memperlancar. Bersama ketiga orang ini, Wan Bilhaq membesarkan dan merawat partai yang dari namanya orang menjadi bertanya apakah anggotanya berjenggot semua.
Di awal berdirinya hingga saat ini, anggota partai memang hampir semua berjenggot meski tidak semua panjang dan lebat. Hanya Batukali dan kedua temannya yang sekarang dagunya licin tanpa jenggot. Ketiga orang ini pada awalnya berjenggot walau tidak setebal dan sepanjang milik Wan Bilhaq. Setelah Partai Jenggot jalan setahun, mereka mencukurnya habis. Saat Wan Bilhaq bertanya alasan membersihkan jenggot itu, Batukali hanya mengatakan ingin ganti suasana. Alasan itu sebenarnya aneh bagi Wan Bilhaq tapi dia lebih memilih tidak memperpanjang pertanyaan. Dia tak mau ribut dengan teman berkongsinya dalam mendirikan partai itu gara-gara jenggot. Setelah itu, Wan Bilhaq tak pernah lagi menyinggung perihal jenggot, termasuk ketika berdatangan anggota partai baru bawaan Batukali dan kedua temannya atau orang lain yang memang ingin bergabung yang sebagian dari mereka tidak berjenggot.
Partai Jenggot sudah waktunya membuka pintu bagi siapa pun yang ingin masuk partai, begitu kata Wan Bilhaq dalam hati. Memang, Partai Jenggot didirikan pada awalnya untuk mewujudkan keinginan berpolitik orang-orang berjenggot. Namun, jenggot bukan menjadi syarat wajib untuk menjadi anggota. Bila Batukali dan kedua temannya menghilangkan jenggot mereka, bahkan dengan alasan yang aneh, itu tidak menyalahi aturan partai.
KETUA BARU
Batukali bukanlah lelaki tampan. Dengan muka bulat, jidat lebar dan nong-nong, serta mata besar dan seolah-olah mau lepas, dia mirip Tejamantri atau Togog dalam kisah pewayangan. Giginya besar-besar dan renggang membuat mulutnya monyong serta tak bisa dikatupkan dengan sempurna. Suaranya berat dan seperti tertekan di leher setiap kali bicara. Batukali berusia lima puluh tiga tahun. Meski berwajah tak menarik, dia mahir bersilat lidah. Di setiap perdebatan dia selalu bisa mengatasi lawan dengan argumen-argumen yang terdengar rumit tetapi masuk akal. Kegemaran dia melahap semua jenis bacaan terlihat bermanfaat dalam urusan ini. Bahkan ada kalanya lawan debatnya mati gaya karena kebingungan atas argumen Batukali.
Hal lain yang istimewa dari Batukali adalah kepandaian dia mengambil hati perempuan. Bukan hanya kaum hawa berparas biasa, justru sebagian besar berwajah jelita. Di belakangnya, banyak orang curiga Batukali menggunakan susuk pemikat yang disisipkan di mulut monyongnya, jampi, atau aji-aji. Namun fakta sebenarnya Batukali tidak menggunakan hal apa pun yang gaib. Kelihaian mengolah kata semata yang menjadikan dia menjadi penakluk kaum hawa. Bagaimanapun juga, banyak orang tetap bersikukuh bahwa pasti ada apa-apanya dengan Batukali.
Banyak teman lelaki Batukali yang diam-diam iri dan tidak mau menerima kenyataan, lebih-lebih mereka yang merasa tampan.
Karena kehebatan mengambil hati itulah, tak heran jika Batukali beristri empat. Itu pun yang dinikahi secara sah. Sudah menjadi rahasia di kalangan teman-temannya, selain keempat istrinya, Batukali memiliki banyak perempuan simpanan, semua muda dan cantik, yang tersebar di berbagai tempat. Karena perilaku Batukali yang gemar memelihara perempuan simpanan ini pula yang menjadikan hubungannya dengan Wan Bilhaq menjadi renggang. Hingga sampai pada suatu titik, Wan Bilhaq mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Jenggot dan memilih keluar dari partai yang dia bidani itu. Dalam muktamar pengurus partai, secara resmi Wan Bilhaq menyatakan mengundurkan diri. Dia berpesan agar Partai Jenggot tetap menjadi partai yang bersih dari anasir negatif dan merakyat.
Berdasarkan aklamasi, Batukali selanjutnya menjadi pemimpin tertinggi Partai Jenggot meski tak berjenggot. Yang mendasari penunjukkan dia menjadi ketua partai adalah posisi dia sebagai salah satu bapak pendiri.
PROGRAM BATUKALI
Sebagai ketua baru Partai Jenggot, Batukali mengambil langkah-langkah strategis yang membuat banyak orang bertanya-tanya apakah dia sedang memimpin partai atau membuka biro jodoh lintas kota. Salah satu kebijakan pertamanya adalah mengganti salam partai yang semula berbunyi “Jenggot untuk Rakyat” menjadi “Jenggot Hati Nurani Bangsa.” Entah bagaimana hubungan antara jenggot dan nurani, tapi Batukali bersikeras bahwa nurani itu tumbuh di dagu, bukan di hati, apalagi di dompet. Ia mengatakan hal ini sambil menunjuk dagunya yang licin seperti permukaan meja kaca baru dilap.
Banyak anggota partai bingung, terutama mereka yang baru saja membeli minyak penumbuh jenggot dengan harga promo. Mereka mengira akan segera jadi bagian dari elit partai hanya dengan menumbuhkan rambut di dagu. Tapi kebijakan Batukali membuat investasi mereka merugi. “Kalau tahu nggak wajib jenggot, saya mending beli minyak buat goreng tempe,” ujar seorang anggota muda yang baru bergabung, sambil meraba dagunya yang mulai gatal karena bulu-bulu halus yang sedang tumbuh tidak mendapat apresiasi.
Batukali juga membentuk sayap baru partai: Divisi Wanita Penyayang Ketua. Sayap ini katanya berfungsi sebagai tim kreatif, padahal isinya adalah gabungan dari istri-istri dan perempuan simpanan Batukali yang dideklarasikan sebagai “penasehat spiritual dan kultural.” Tentu saja hal ini memicu kehebohan internal. Banyak anggota senior—terutama yang sudah tua, berjenggot, dan punya kolesterol—merasa dilecehkan. “Saya sudah jenggotan sejak zaman Suharto, eh malah kalah pengaruh sama perempuan muda yang tahunya cuma TikTok,” kata Marwoto, salah satu anggota senior yang kini lebih sering diparkir di acara-acara yang tidak penting, seperti pembagian bibit kangkung di kelurahan.
Batukali bukanlah tipe pemimpin yang peduli dengan kritik. Baginya, kritik adalah bagian dari demokrasi, dan demokrasi adalah sesuatu yang sebaiknya dikunci di lemari besi dan ditaruh di gudang. “Kalau semua orang boleh ngomong, nanti saya pusing,” katanya sambil menyesap teh manis dari cangkir berlabel “Ketua Seumur Hidup.”
Demi memperluas pengaruh partai, Batukali menggagas kampanye nasional bertajuk “Jenggot Itu Ideologi.” Dalam kampanye ini, semua anggota partai diminta memotret diri mereka bersama jenggot masing-masing—baik jenggot asli, jenggot palsu, bahkan jenggot pinjaman dari teman. Foto-foto itu kemudian diunggah di media sosial dengan tagar #JenggotUntukNegeri. Tentu saja hasilnya bervariasi. Ada yang terlihat gagah, ada yang seperti kambing baru sembuh dari flu, dan ada pula yang justru dikira sedang cosplay jadi maskot anggur kolesom.
Sementara itu, kehidupan pribadi Batukali tetap seperti roller coaster tanpa rem. Empat istrinya tinggal di empat kota berbeda dengan jadwal rotasi yang lebih rumit dari jadwal kampanye pemilu. Setiap istri percaya bahwa merekalah yang paling disayang, meskipun semuanya sudah mulai mencium aroma perselingkuhan yang khas: aroma parfum wanita lain yang nyangkut di peci. Salah satu istrinya yang dikenal dengan panggilan Tante Deblong, bahkan pernah memergoki Batukali sedang video call dengan seorang perempuan berusia dua puluh tahun yang menyapa dengan manja, “Halo Dede Moncong.” Batukali langsung mengaku sedang melakukan konsolidasi kader muda. “Ini demi partai, bukan demi libido,” ujarnya, mencoba mengangkat martabatnya yang tercecer di lantai.
Tak lama setelah menjabat, Batukali mulai mengganti sebagian besar struktur partai. Mereka yang berjenggot terlalu lebat dianggap radikal. Yang terlalu pendek dianggap tidak komitmen. Yang terlalu putih dianggap kelebihan bedak. Batukali menyukai orang-orang licin—baik dari wajah maupun dari rekam jejak. Posisi-posisi penting diberikan kepada mereka yang pandai berkata “Siap, Ketua” dalam lima belas variasi intonasi. Bahkan ada satu anggota baru yang direkrut hanya karena bisa meniru suara Batukali saat pidato. “Kalau saya sakit, dia bisa gantiin orasi,” ujar Batukali dengan bangga.
KISAH RESAH MANTAN KETUA
Wan Bilhaq, di sisi lain, menjalani kehidupan pascapartai dengan getir dan penuh keresahan di hatinya. Ia kembali ke kampung halaman dan membuka warung kecil bernama “Jenggot Mulia.” Di warung itu, Wan Bilhaq menjual kopi, gorengan, dan buku-buku politik yang tidak laku. Ia tetap memelihara jenggotnya dengan telaten, walaupun sekarang lebih banyak yang menyangkut di mangkok soto daripada di hati rakyat. Setiap sore, Wan Bilhaq duduk di depan warung sambil mengamati burung-burung gereja yang beterbangan bebas—sebuah metafora murahan tapi cocok untuk menggambarkan impiannya yang dulu pernah terbang tinggi sebelum akhirnya ditabrak kenyataan.
Pernah suatu hari, seorang jurnalis muda datang mewawancarai Wan Bilhaq. Sang jurnalis bertanya, “Apa yang paling Bapak sesali dari mendirikan Partai Jenggot?”
Wan Bilhaq menghela napas panjang, memandangi langit, lalu berkata pelan, “Saya terlalu percaya pada dagu orang lain.”
MIMPI BATUKALI
Kini Partai Jenggot makin besar. Di televisi, wajah Batukali sering muncul di acara debat politik. Ia berbicara panjang lebar tentang integritas, sambil sesekali menyeka keringat dari dagunya yang bersih. Di akhir setiap pernyataannya, dia selalu berkata, “Kami di Partai Jenggot percaya bahwa jenggot bukan hanya bulu, tapi simbol kejujuran.” Pernyataan itu selalu disambut tepuk tangan—tidak tulus, tapi cukup keras untuk membuat pemirsa rumah mengira ada maknanya.
Ironisnya, makin lama makin banyak anggota partai yang tidak berjenggot. Bahkan dalam muktamar terakhir, hanya 23% peserta yang memiliki jenggot. Sisanya hanya punya ambisi, utang cicilan, dan akun media sosial bodong. Meskipun demikian, mereka tetap meneriakkan slogan partai dengan semangat, seolah-olah jenggot mereka tumbuh di dalam hati, bukan di wajah. Dan Batukali, si ketua tak berjenggot, tetap tersenyum puas. Ia tahu satu hal: politik bukan soal siapa yang punya jenggot paling panjang, tapi siapa yang paling lihai mengguntingnya.
Satu lagi mimpi Batukali yang ingin dia gapai sebelum dilengserkan dari kursi ketua adalah partai yang dipimpinnya membentuk koalisi dengan sebuah komunitas. Baginya, komunitas ini memiliki nama yang menurutnya sevisi dengannya. Entah mengapa dia bisa menyimpulkan seperti itu. Bisa jadi karena sama-sama mengandung kata “Jenggot”. Yang menjadi ganjalan Batukali bukan hanya ketuanya tetapi seluruh anggota komunitas. Meskipun berasal dari kalangan rakyat biasa, tidak tinggi pendidikannya, serta sebagian berkemampuan ekonomi lemah kadang lemah banget, hati nurani mereka tidak mudah dibeli. Bukan hanya sekali Batukali mencoba menguangkan hati nurani baik ketua maupun anggotanya tetapi selalu gagal. Di mata Batukali, komunitas yang diketuai Duloh ini sungguh istimewa.
“So fabulous!” Kata Batukali. “Komunitas Serabi Jenggot harus aku taklukkan,” lanjutnya penuh tekad.







