Aturan di Gunung

10
2182

Karena tuntutan pekerjaan, kemarin saya harus mendaki Gunung Pongkor di Nanggung, wilayah Bogor bagian barat. Di gunung itu terdapat pertambangan emas yang dikelola perusahaan milik negara PT Antam. Dalam perusahaan tersebut saya bertemu dengan orang-orang tertib aturan yang mengesankan sekaligus menjengkelkan.

Untuk mencapai pertambangan itu ternyata saya membutuhkan waktu 2,5 jam. Setengah jam lebih lama dari perkiraan saya. Itu saja dengan motor. Apalagi naik kendaraan umum, bisa lebih lama lagi. Dengan mengendarai sepeda motor, saya bisa memilih jalan menghindari macet. Ada beberapa titik kemacetan di jalan menuju Pongkor. Pertigaan Cibanteng, Cikampak, Cibatok, Cemplang, dan Pasar Leuwiliang sudah dikenal sebagai titik kemacetan. Jika anda pertama kali lewat daerah itu dan tidak pandai-pandai menyiasatinya, dijamin anda bisa stres. Saya yang berangkat jam 8.30 sampai lokasi jam 11.00 WIB. Itu juga tidak pakai istirahat.

Sampai di pintu gerbang perusahaan, tiba-tiba muncul kebimbangan. Berhenti untuk melapor atau langsung saja. Saya berharap ketika saya memelankan kendaraan, ada petugas yang menyetop. Ternyata tidak. Berarti saya boleh melapor kepada resepsionis di ruang lobi, begitu pikir saya. Saya kembali mempercepat laju motor saya. Di sebelah kanan ada tulisan ”kendaraan roda dua parkir di sini”. Saya tidak masuk ke tempat parkir itu karena saya ingat setahun yang lalu saat saya ke perusahaan itu, saya bisa memarkirkan motor saya di depan bangungan dekat gedung lain di mana resepsionis berada. Setelah saya masuk komplek perkantorannya dan muter-muter, ternyata tidak ada satupun kendaraan roda dua yang diparkir di sekitar situ termasuk tempat dulu saya pernah parkir. Biar tidak dianggap melanggar aturan, saya keluar dari lingkungan perkantoran itu menuju tempat parkir motor yang tadi saya lewati. Lumayan juga jaraknya dari tempat parkir itu ke resepsionis. Aturan tetap aturan, saya rela jalan meskipun terik matahari mulai terasa menyengat.

Begitu masuk ke lobi, saya lihat di belakang meja resepsionis ada seorang petugas, bapak-bapak, tidak ramah dan tidak wangi. Biasanya resepsionis itu kan cantik, ramah dan wangi? Berarti yang ini tidak biasa. Dengan sangat ramah saya menyapa, ”Selamat pagi pak. Mau ketemu pak Jarot.”

”Sudah ada janji?”

”Sudah.”

”Ada pass dari depan?” Maksudnya di pintu gerbang depan yang petugas keamanannya tidak menghentikan saya.

”Tidak aaaada paaaak? Saya pikir bisa langsung melapor ke sini.”

”Memang tidak distop?”

”Tidak pak. Saya dibiarkan lewat. Saya kira boleh langsung ke sini.”

”Tidak bisa dong. Harus ada ijin dari depan dulu. Kan sudah ada tulisannya ’Tamu Harap Lapor’? ” Itu yang bikin saya salut. Aturan perusahaan tambang ini ternyata dijalankan sampai ke level resepsionis. Namun setelah itu, kalimat yang dikeluarkan sungguh menjengkelkan dan sudah pasti bukan bagian dari juklak sebagai resepsionis.

”Maaf kalau begitu pak. Baiklah saya akan kembali ke depan untuk melapor.” Sambil balik kanan dan berjalan menuju asal saya datang. Saya mengambil motor yang saya parkir dan kembali ke pos penjagaan yang jaraknya nanggung, jauh banget nggak dekat juga tidak.

”Anda kan tamu? Tahu sopan santun bla bla bla…” Saya tidak begitu jelas apa kelanjutannya yang dia omongkan.

Setelah melapor dan dapat surat pass serta telah memarkirkan motor untuk kedua kalinya, saya kembali olah raga jalan siang dari tempat parkir ke lobi. Ternyata meja resepsionis kosong. Tidak ada satu orangpun petugas. Resepsionis bapak-bapak yang tadi melayani saya telah raib. Saya salut dengan resepsionis yang mentaati peraturan perusahaan ini. Saatnya jam istirahat, ya istirahat. Kebetulan saat itu jam menunjukkan pukul 11.30 lebih. Sudah masuk waktu istirahat di perusahaan itu. Informasi yang saya dapat, jam istirahat dari 11.30 s/d 13.00 WIB. Pertanyaan yang kemudian muncul: ”Apakah tidak ada resepsionis pengganti yang bertugas saat jam istirahat?” Saya merasa ditelantarkan. Dan itu menjengkelkan.

Akhirnya saya masuk ke kantor tanpa ada tandatangan dari petugas resepsionis setelah ada yang menjemput saya dari dalam kantor. Saya tidak berani masuk bila tidak dijemput seperti itu. Bukannya manja, ini peraturan. Peraturan tetap peraturan meskipun ada di gunung.

Selesai dengan orang yang ada di bagian itu, saya diantar seorang bapak ke bagian lain yang lokasi kantornya ada di bawah. Untuk ke situ, saya diantar dengan kendaraan. Begitulah tipikal kantor perusahaan pertambangan yang ada di lokasi penambangan, tempatnya bisa misah-misah. Ada dua bagian yang saya datangi, Bagian Gudang dan Bagian Kelistrikan (kalau nggak salah).

Di Bagian Gudang, saya disambut dengan ramah. Tidak banyak yang perlu saya ceritakan di sini. Perusahaan yang mengutamakan pelayanan sudah selayaknya begitu. Dari bagian itu saya jalan menuju bangunan yang menjadi kantor Bagian Kelistrikan. Cukup dengan berjalanan kaki karena letaknya berseberangan. Di bagian yang kedua inilah saya kembali bertemu dengan karyawan yang sadar peraturan. Seorang bapak yang berpakaian lapangan (saya menyebutnya ’werpek’) tiba-tiba masuk ke ruangan dan menegur saya.

”Mengapa tidak pakai topi pengaman?”

Saya terbengong-bengong tidak bisa menjawab. Bingung harus menjawab apa.

”Mengapa tidak pakai safety boots juga?

Mata saya berkedip-kedip, bingung. Saya ini tamu di perusahaan ini tapi kenapa dimarahi seperti ini? Bapak yang mengantarkan saya juga tidak ngomong apa-apa. Saya pikir itu lebih baik. Daripada beralasan untuk hal yang jelas melanggar aturan. Wilayah itu memang area wajib memakai helm dan sepatu pengaman. Peringatan itu tertulis cukup besar dengan cat warna merah terpampang jelas di pinggir jalan menuju area tersebut.

”Anda bisa saya kasih warning!” Bapak itu kembali ngomong. Kali ini berupa ancaman. Saya dikasih warning? Saya salut ketemu pekerja yang stick to the rule seperti ini. Sayangnya, hal itu juga menjengkelkan. Masak seorang tamu perusahaan diomelin seperti itu?

Kebingungan saya atas bapak yang taat aturan itu akhirnya mendapat titik terang. Petugas yang mengantarkan saya cerita saat sudah berada di mobil. Rupanya malam sebelumnya, si bapak berbaju lapangan yang ngomelin saya itu habis adu mulut dengan bapak yang mengantarkan saya itu. Saya jadi tumbal rupanya. Melihat saya dan juga pangantar saya tidak memakai topi dan sepatu pengaman, kesempatan bagi dia untuk ’balas dendam’.  Saya yakin, PT Antam tidak mungkin memiliki peraturan perusahaan yang isinya menyuruh karyawannya menjadikan tamu perusahaan kambing hitam atau tumbal balas dendam.

Saya sudah kembali ke atas, ke kantor di mana pertama kali saya datang. Ada satu lagi karyawan perusahaan yang harus saya temui. Sayangnya dia tidak mau diganggu karena lagi makan siang. Sekali lagi, sesuai aturan perusahaan, jam 11.30 s/d 13.00 WIB waktunya istirahat. Saya sholat dzuhur dulu. Selesai sholat, saya coba akan menemuinya lagi. Ternyata dia belum mau diganggu karena masih merokok setelah makan siang. Jika saya harus menunggu sampai jam istirahat selesai, itu berarti setelah jam satu sementara saya masih ada pekerjaan lain yang harus saya lakukan. Terpaksa saya batalkan bertemu dengan orang ketiga di perusahaan itu yang mentaati peraturan. Saya tidak tahu apakah tidak mau menemui tamu perusahaan selama jam istirahat juga tersebut dalam peraturan perusahaan.

Kejengkelan karena bertemu dengan orang-orang yang taat peraturan di Gunung Pongkor untungnya terobati. Obatnya adalah ketemu orang yang taat peraturan juga. Petugas Customer Service dari XL Center yang ada di tengah kota itu menjadi obat yang sangat manjur. Obat itu berujud gadis cantik yang ramah dan wangi yang menjalankan peraturan perusahaan dengan keramahtamahannya dalam melayani pelanggan.

Sumber gambar: koleksi pribadi

10 COMMENTS

  1. Miss Yuli pasti nggak pilih kedua-duanya saat kunjungan ketempat PKL oman, pasti dia pilih “Heran”. Untuk oman sendiri gmana ya… hehe bingung jawabnya.

  2. Kepancing juga tuk meninggalkan coment.
    Pas keluarnya tulisan ini Oman sudah baca, dipahami dan coba puter-puter otak, tetep bingung makanya nggak ninggalin coment.
    Oman coba baca lagi dan ini kali ke-2 dan bener bingung, kok bisa nggak bingung gitu Bapak WKF, “Bingung nggak Pak?”
    Bukan bingung sama tulisannya, tapi heran aja dengan peraturan yang justru tampak aneh aja.

  3. wah…. benar-benar penyambutan yang ‘ramah’. itu parah juga pak. kalau ada diantara karyawan clash. itu berpengaruh terhadap tamu yang datang..bisa dikatakan judul’a ‘sentimen antar karyawan, dibebankan ke tamu’ ckckck….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here