Wulan menatap layar ponselnya dengan ekspresi seolah-olah baru saja melihat alien mendarat di halaman rumahnya. Grup WA Tanakita yang sebelumnya bernama Emak-emak Gaul Forever, yang biasanya sepi tiba-tiba ramai seperti pasar Tanah Abang menjelang lebaran. Semua bermula dari pengumumannya yang tanpa dosa: “Teman-teman, Kartika akhirnya mau menikah!”
“Alhamdulillah!” balas Rose dengan cepat, diikuti deretan emotikon hati dari Vanda.
“Akhirnya! Sudah 6 tahun pacaran kan?” sahut Lilac.
“Selamat ya, Wul! Kapan?” tanya Olive.
Wulan tersenyum tipis sambil mengetik balasan. Kalau saja teman-temannya tahu drama yang harus dia hadapi selama enam tahun terakhir gara-gara putri sulungnya yang keras kepala itu memilih pacar seorang pemuda Batak. Bukan karena dia rasis, oh tidak, tentu saja tidak, tapi perbedaan budaya itu nyata adanya, seperti perbedaan antara gudeg dan babi panggang.
“Bulan depan. Tapi…” Wulan menghapus kata ‘tapi’ dan menggantinya dengan, “Kalian harus datang ya!”
Yang tidak dia ceritakan adalah perdebatan sengit yang terjadi di rumahnya hampir setiap hari. Kartika, putri sulungnya yang berusia tiga puluh tahun, memiliki visi pernikahan yang sangat berbeda dengan mamanya. Sangat berbeda. Seperti perbedaan antara wayang kulit dan konser rock.
“Ma, kenapa sih ribet banget? Nikah itu kan cuma sehari. Ngapain buang-buang uang buat acara yang cuma beberapa jam?” protes Kartika sambil mengunyah keripik singkong dengan suara yang lebih keras dari yang diperlukan.
Wulan yang sedang melipat baju di ruang keluarga berhenti sejenak. “Pernikahan itu sakral, Tika. Bukan cuma sehari, tapi untuk selamanya. Upacara itu penting untuk menghormati tradisi keluarga.”
“Tradisi yang mana, Ma? Tradisi Jawa atau tradisi Batak? Soalnya Robert juga punya tradisi keluarga loh.” Kartika menatap mamanya dengan mata yang berkilat-kilat, pertanda badai akan datang.
“Makanya kamu harus menghormati kedua tradisi. Seperti Mama dulu.”
“Mama nikahnya juga sederhana kok. Foto pernikahannya Mama yang di album itu kan cuma upacara siraman terus akad nikah. Simpel.”
Wulan menghela napas panjang. “Itu karena kondisi ekonomi keluarga dulu tidak memungkinkan. Sekarang berbeda. Mama bisa memberikan yang terbaik untuk pernikahanmu.”
“Yang terbaik menurut siapa? Menurut Mama atau menurut aku?” Kartika berdiri dari sofa dan menghadap mamanya. “Kalau Mama pengin upacara pernikahan yang mewah, pernikahan Mama diulang saja biar bisa melangsungkan upacara pernikahan seperti yang Mama inginkan.”
Wulan menatap putrinya dengan tatapan yang bisa membekukan api neraka. “Kamu ini seperti setan yang lepas dari neraka dan harus segera dikembalikan!”
Kartika tersenyum lebar dengan wajah polosnya yang menyebalkan. “Tenang Ma, yang megang kunci neraka masih pergi.”
Dan beginilah kehidupan Wulan selama enam bulan terakhir. Setiap hari seperti menonton sinetron yang tidak pernah tamat, dengan pelintiran alur cerita yang makin tidak masuk akal.
***
Hari Minggu sore, Wulan duduk di teras belakang rumahnya di Cipete yang asri, menikmati teh hangat sambil menatap kebun kecilnya. Suasana damai ini terganggu ketika ponselnya berdering. Rose menelpon.
“Wul, jadi gimana persiapan pernikahannya? Butuh bantuan apa?”
“Jangan ditanya, Ros. Aku sudah pusing tujuh keliling. Kartika maunya pernikahan sederhana, tapi sederhana versi dia itu…” Wulan menghela napas dramatis. “Dia mau pakai gaun pengantin, tapi sambil pakai kacamata hitam. Terus musiknya bukan lagu romantis biasa, tapi lagu rock yang judulnya Welcome to the Jungle!”
Hening sejenak di seberang telepon. “Serius?”
“Serius! Katanya dia mau masuk ke pelaminan seperti rockstar. Bayangkan, Ros! Tamu-tamu yang datang pasti pada kaget. Nenek-nenek bisa pingsan!”
“Wah, unik juga sih…” Rose mencoba diplomatis.
“Unik apanya? Ini pernikahan, bukan konser musik! Belum lagi masalah katering. Dia maunya prasmanan biasa, bukan hidangan tradisional. Katanya ribet makan pakai tangan, tamu-tamu pasti tidak nyaman.”
“Emmm, sebenarnya ada benarnya juga sih, Wul. Zaman sekarang banyak yang tidak terbiasa makan pakai tangan.”
Wulan merasa dukungan dari Rose seperti angin sepoi-sepoi di gurun Sahara. Minimal ada yang memahami posisinya.
“Terus tempatnya juga. Dia maunya di gedung biasa, bukan di rumah atau pendopo. Katanya lebih praktis dan tidak ribet. Praktis! Semuanya harus praktis. Tidak ada rasa tradisi sama sekali.”
“Mungkin dia takut ribet, Wul. Generasi sekarang kan memang beda sama kita dulu.”
“Beda sih beda, tapi jangan sampai melupakan akar budaya. Nanti anak cucu kita tidak tahu tradisi leluhur.”
Setelah menutup telepon dengan Rose, Wulan memutuskan untuk menghubungi Vanda. Mungkin sebagai pemilik bisnis event organizer, Vanda bisa memberikan perspektif yang berbeda.
“Vanda, kamu punya pengalaman mengorganisir berbagai jenis pernikahan kan? Menurutmu, pernikahan yang seperti apa yang tepat untuk anak muda zaman sekarang?”
“Wah, pertanyaan berbobot nih, Wul!” Vanda tertawa. “Sebagai EO, aku sering lihat berbagai kemauan klien. Ada yang mau tradisional banget, ada yang mau modern, ada yang campuran. Yang penting sih, pernikahan itu harus sesuai dengan kepribadian dan keinginan kedua mempelai.”
“Tapi kan ada batasan-batasan tertentu, Van. Tidak bisa sembarangan.”
“Batasan seperti apa maksudmu?”
“Ya, batasan kesopanan, tradisi, nilai-nilai keluarga.”
“Hmm, kalau menurutku sih, selama tidak melanggar norma agama dan tidak merugikan orang lain, harusnya bisa dinegosiasikan. Lagian, ini kan pernikahan Kartika, bukan pernikahan kamu.”
Kalimat terakhir Vanda seperti tamparan halus tapi tepat sasaran. Wulan terdiam sejenak.
“Maksudku,” Vanda melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, “sebagai orangtua, kita memang ingin memberikan yang terbaik. Tapi kadang-kadang yang terbaik versi kita belum tentu yang terbaik versi mereka.”
***
Malam harinya, Wulan berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Di sampingnya, suaminya sedang asyik membaca buku tentang perpajakan, hobi aneh untuk ukuran orang normal, tapi normal untuk seorang konsultan pajak.
“Beb, aku bingung sama Kartika.”
“Memang kenapa lagi?” Suaminya menutup bukunya dan menatap Wulan. “Masih masalah pernikahan?”
“Dia itu keras kepala sekali. Semua maunya serba beda dari yang biasa. Seolah-olah tradisi itu tidak penting.”
“Mungkin memang tidak penting buat dia.”
Wulan langsung bangun dan menatap suami dengan mata melotot. “Tidak penting? Kamu serius?”
“Maksudku, penting atau tidaknya sesuatu itu kan relatif, Wul. Yang penting buat kita belum tentu penting buat dia. Yang penting buat dia belum tentu kita anggap penting.”
“Tapi dia anak kita!”
“Iya, anak kita. Bukan kloningan kita.” Suami Wulan kembali membuka bukunya. “Lagian, daripada mikirin upacara pernikahan yang cuma sehari, lebih baik mikirin pernikahannya yang selamanya. Yang penting kan dia bahagia sama pilihannya.”
Wulan memukul bantal dengan frustasi. Kenapa semua orang sepertinya berpihak pada Kartika?
***
Keesokan harinya, grup Tanakita kembali ramai. Kali ini yang memulai adalah Lilac.
“Wul, aku dengar dari Rose kalau Kartika mau pernikahan yang unik. Cerita dong!”
Sebenarnya Wulan tidak ingin menjadikan masalah keluarganya sebagai bahan obrolan, tapi dia butuh tempat curhat. Dan siapa lagi kalau bukan sahabat-sahabat lama yang sudah mengenal kepribadiannya sejak kuliah dulu?
“Unik itu eufemisme, Lil. Aneh lebih tepat.”
“Aneh gimana?”
Wulan kemudian menceritakan semua keinginan Kartika yang menurutnya tidak lazim. Mulai dari musik rock untuk prosesi pernikahan, gaun pengantin dengan kacamata hitam, hingga menu prasmanan sederhana.
“Wah, keren juga anak kamu!” sahut Olive. “Punya karakter kuat.”
“Keren apanya, Ol? Ini pernikahan, bukan festival musik!”
“Tapi kan itu kepribadian dia. Ingat tidak, dulu kita juga pernah dianggap aneh sama orangtua kita karena kuliah S2? Mamaku dulu bilang, ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga ke dapur.”
Wulan terdiam. Memang benar, dulu mereka berlima dianggap aneh karena memilih melanjutkan pendidikan tinggi di masa ketika sebagian besar perempuan seumuran mereka sudah menikah dan punya anak.
“Itu kan beda, Ol.”
“Bedanya di mana? Sama-sama soal melawan ekspektasi generasi sebelumnya.”
Rose ikut berkomentar: “Menurutku, kalau Kartika memang mau begitu, kenapa tidak dibiarkan? Yang penting kan dia senang di hari bahagianya.”
“Tapi bagaimana pandangan orang nanti?”
“Pandangan orang yang mana? Yang penting kan keluarga inti mendukung.” Vanda ikut nimbrung. “Lagian, zaman sekarang orang sudah lebih terbuka dengan hal-hal yang tidak biasa.”
Wulan merasa frustasi karena tidak ada satu pun dari sahabatnya yang mendukung posisinya. Rasanya seperti menjadi minoritas dalam kelompoknya sendiri.
***
Sabtu sore, Kartika pulang dari aktivitas panjat tebingnya dengan wajah berseri-seri. Rambutnya yang dikepang agak berantakan, bajunya kotor, tapi matanya berbinar-binar.
“Ma, tadi aku dan Robert diskusi soal pernikahan kami.”
Wulan yang sedang menonton televisi langsung mematikan remote. Hatinya bersiap menerima kejutan tidak mengenakkan lagi.
“Robert setuju dengan semua yang aku mau! Dia malah usul kalau kita bisa pakai tema rock wedding. Tamu-tamu juga boleh pakai baju kasual, tidak harus formal. Asyik kan?”
“Kartika, dengarlah. Mama sudah bicara dengan teman-teman Mama…”
“Yang namanya bunga-bunga itu?” Kartika tersenyum nakal. “Mereka pasti pada dukung aku.”
“Tidak! Mereka… eh, tunggu. Darimana kamu tahu mereka mendukungmu?”
“Ya karena mereka generasi yang sama dengan Mama. Pasti mereka dulu juga pernah melawan ekspektasi orangtua mereka. Begitu kan?”
Wulan terdiam. Anaknya ini memang cerdas, tapi cerdas yang menyebalkan.
“Lagian Ma, ini kan pernikahan aku dan Robert. Bukan pernikahan Mama.”
“Tapi kamu anak Mama! Pernikahan anak adalah tanggung jawab orangtua juga.”
“Tanggung jawabnya sampai memastikan aku menikah dengan orang yang tepat dan di hadapan Tuhan. Bukan sampai mengatur lagu apa yang dimainkan saat prosesi.”
Kartika duduk di samping mamanya dan merangkul pundaknya. “Ma, aku sayang sama Mama. Tapi aku juga mau jadi diriku sendiri. Aku tidak bisa hidup sesuai ekspektasi orang lain terus-menerus.”
“Mama cuma mau yang terbaik untukmu.”
“Aku tahu. Tapi yang terbaik versi Mama belum tentu yang terbaik versi aku.”
Wulan menatap putrinya. Di mata Kartika, dia melihat ketetapan hati yang sama seperti yang dia miliki dulu ketika memutuskan untuk kuliah S2 meskipun banyak yang bilang itu tidak perlu untuk perempuan.
***
Malam itu, Wulan tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan percakapannya dengan Kartika dan komentar-komentar sahabatnya di grup Tanakita. Apa dia terlalu keras? Apa dia terlalu kolot?
Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke ruang keluarga. Di meja kopi terdapat album foto lama. Dia membuka halaman pernikahannya dulu. Memang sederhana. Sangat sederhana. Tapi dia bahagia.
Kemudian dia melihat foto-foto masa kecil Kartika. Sejak kecil, anak itu memang berbeda. Sementara teman-teman sebayanya bermain boneka, Kartika lebih suka main mobil-mobilan. Saat remaja, sementara yang lain mendengarkan musik pop, dia sudah mendengarkan rock. Kuliah jurusan teknik sipil, ikut komunitas pencinta alam, dan sekarang bekerja sebagai penyurvei lapangan.
Kartika memang selalu berbeda. Dan perbedaan itu yang membuatnya menjadi sosok yang mandiri dan kuat.
Wulan tersadar. Selama ini dia mencoba membentuk Kartika menjadi versi yang dia inginkan, bukan mendukung Kartika menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
***
Pagi harinya, Wulan memutuskan untuk menelpon Rose.
“Ros, aku mau tanya. Dulu waktu anakmu menikah, kamu ikut campur tidak sama persiapan pernikahannya?”
“Tentu saja ikut, tapi lebih ke arah membantu dan mendukung. Kenapa?”
“Aku merasa kemarin-kemarin terlalu mengontrol pernikahan Kartika. Padahal itu pernikahannya, bukan pernikahan aku.”
“Akhirnya kamu sadar juga!” Rose tertawa. “Memang susah sih, Wul. Sebagai orangtua, kita ingin memberikan yang terbaik. Tapi kadang-kadang kita lupa bahwa yang terbaik itu subjektif.”
“Terus aku harus gimana sekarang?”
“Dukung dia. Bantu dia mewujudkan pernikahan impiannya, bukan pernikahan impianmu.”
Setelah menutup telepon, Wulan mencari Kartika yang sedang sarapan di meja makan.
“Tika, Mama mau bicara.”
Kartika menghentikan acara makan rotinya dan menatap mamanya dengan waspada.
“Mama minta maaf. Selama ini Mama terlalu ikut campur dengan pernikahan kamu dan Robert.”
“Ma?”
“Mama sadar, ini pernikahan kamu. Mama harus mendukung, bukan mengontrol.” Wulan duduk di samping putrinya. “Kalau kamu mau Welcome to the Jungle sebagai musik pengantin, ya sudah. Kalau mau pakai kacamata hitam, ya silakan. Yang penting kamu bahagia.”
Kartika menatap mamanya dengan tidak percaya. “Serius, Ma?”
“Serius. Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Mama boleh ikut membantu persiapannya. Sebagai pendukung, bukan sebagai pengontrol.”
Kartika langsung memeluk mamanya erat-erat. “Makasih, Ma! Mama memang mama terbaik sedunia!”
***
Tiga minggu kemudian, hari pernikahan Kartika akhirnya tiba. Pagi itu mereka berkumpul di sebuah gereja tua di kawasan Menteng yang arsitekturnya masih mempertahankan gaya kolonial. Bangunannya memang sudah berusia hampir seratus tahun, tetapi terawat dengan baik. Jendela-jendela kaca patri yang tinggi membiaskan cahaya matahari pagi menjadi spektrum warna yang indah, menciptakan suasana sakral yang menenangkan.
“Gereja ini pilihan Kartika atau Robert?” tanya Lilac sambil mengagumi interior gereja yang elegan.
“Pilihan mereka berdua. Katanya mereka langsung jatuh cinta dengan suasananya waktu pertama kali datang,” jawab Wulan sambil merapikan selendangnya.
Di barisan depan, duduk keluarga dari kedua belah pihak. Keluarga Robert yang datang dari Medan terlihat antusias, meskipun awalnya sempat bingung dengan konsep pernikahan yang tidak konvensional ini. Begitu juga dengan keluarga besar Wulan yang berasal dari Semin, Gunungkidul.
Pastor yang akan memimpin kebaktian adalah Pastor Andreas, seorang pria paruh baya yang ramah dan memiliki suara yang menenangkan. Dia sudah mengenal Robert sejak kecil karena keluarga Robert adalah jemaat lama di gereja ini.
“Saudara-saudara sekalian, kita berkumpul hari ini untuk menyaksikan ikatan kudus antara Robert dan Kartika…”
Upacara pemberkatan berjalan dengan khidmat. Kartika mengenakan gaun pengantin putih sederhana namun elegan, sementara Robert mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat tampan. Tidak ada drama, tidak ada tangis haru yang berlebihan. Hanya saja wajah Robert terlihat memerah dan ada air menggenang di pelupuk matanya yang segera dia usap sebelum menetes. Beberapa kali Robert menggunakan tangan kirinya untuk mengusap air mata. Sementara di lengan kanannya bergelayut Kartika sambil berjalan di sampingnya penuh senyum bahagia. Semuanya berlangsung natural dan penuh makna.
Ketika mereka mengucapkan janji suci, suara keduanya jelas dan penuh keyakinan. “Aku berjanji akan mencintaimu dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, sampai maut memisahkan kita…”
Wulan merasakan air mata menggenang di matanya. Bukan karena sedih, tapi karena bangga melihat putrinya yang sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang tahu apa yang dia inginkan.
Setelah upacara pemberkatan selesai dan foto-foto keluarga sudah diambil, rombongan pindah ke gedung resepsi yang terletak tidak jauh dari gereja. Gedung yang dipilih Kartika memang tidak mewah, tapi cukup luas untuk menampung tamu yang diundang.
“Ol, dekorasinya bagus ya,” puji Rose sambil melihat sekeliling ruangan yang dihias dengan nuansa putih dan hijau, dengan sentuhan bunga-bunga segar yang tidak berlebihan.
“Vanda yang atur. Dia bilang, simpel tapi elegan,” jawab Olive sambil tersenyum pada Vanda yang sedang memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.
Tamu-tamu mulai berdatangan dan memilih tempat untuk berdiri menunggu kedua pengantin memasuki ruang resepsi. Ada beberapa pasang meja dan kursi yang disediakan untuk keluarga besar kedua pengantin. Suasananya hangat dan akrab, tidak kaku seperti resepsi pernikahan formal pada umumnya.
“Sekarang saatnya momen yang paling ditunggu,” bisik Olive pada Lilac. “Masuknya pengantin dengan musik Welcome to the Jungle.”
Wulan menarik napas dalam-dalam. Ini adalah momen yang sempat membuatnya stres berbulan-bulan. Tapi sekarang, dia justru penasaran bagaimana putrinya akan mewujudkan visinya.
Lampu ruangan menjadi temaram, dan suara MC terdengar: “Hadirin sekalian, mari kita sambut kedua mempelai yang akan memasuki ruang resepsi!”
Kemudian musik mulai mengalun. Bukan versi asli yang keras dan agresif, tapi aransemen instrumental yang lebih soft namun tetap mempertahankan karakter rock-nya. Gitar akustik dan biola berpadu menciptakan melodi yang unik, rock tapi romantis.
Pintu masuk terbuka, dan tampaklah Kartika dan Robert berjalan beriringan dengan percaya diri. Kartika mengenakan gaun pengantin kedua yang lebih simpel dibanding yang tadi, dengan kacamata hitam yang stylish, sementara Robert juga mengenakan kacamata hitam yang senada. Mereka berjalan dengan langkah yang santai tapi penuh karisma, sesekali tersenyum pada tamu-tamu yang memberikan tepuk tangan.
“Astaga, mereka keren banget!” bisik seorang tamu muda di meja sebelah.
“Beda banget sama resepsi pernikahan biasanya, tapi kok malah bagus ya?” sahut yang lain.
Wulan menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Bangga, terharu, dan sedikit terkejut karena ternyata visi Kartika tidak seaneh yang dia bayangkan. Justru terlihat segar dan mengesankan.
Ketika kedua mempelai tiba di pelaminan, mereka melepas kacamata hitamnya dan tersenyum lebar pada semua tamu. Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh memenuhi ruangan.
“Gimana, Ma? Aku kan bilang akan tetap elegan meski beda,” bisik Kartika pada mamanya yang sebelumnya sudah berdiri di panggung pelaminan. Suami Wulan yang juga mendengar bisikan Kartika hanya tersenyum tipis.
“Mama bangga sama kamu, sayang. Ternyata kamu benar. Beda tapi tetap indah.”
“Ma, makasih ya sudah mendukung aku.”
“Makasih juga sudah mengingatkan Mama bahwa ini pernikahanmu, bukan pernikahan Mama.” Wulan menepuk-nepuk punggung putrinya. “Mama bangga sama kamu.”
“Mama tidak menyesal kan dengan semua keputusan aku?”
“Tidak sama sekali. Yang penting kamu bahagia.”
“Oh ya Ma, aku ada kejutan buat Mama.”
“Apa?”
“Nanti akan ada satu lagu khusus buat Mama. Lagu yang Mama suka.”
Dan benar saja, di tengah-tengah resepsi yang berlangsung meriah dengan musik-musik pilihan Kartika, tiba-tiba mengalun lagu “Kusumaning Ati” yang dinyanyikan oleh penyanyi yang disewa khusus.
Wulan hampir menangis mendengarnya. Putrinya yang keras kepala itu ternyata juga memiliki hati yang lembut.
***
Malam harinya, setelah acara selesai dan semua tamu pulang, Wulan duduk bersama keempat sahabatnya di teras rumah.
“Gimana perasaanmu sekarang, Wul?” tanya Rose.
“Lega. Bahagia. Dan… bangga.”
“Bangga sama siapa?”
“Sama Kartika. Dia berhasil mengajarkan mamanya sesuatu yang penting.”
“Apa itu?”
“Bahwa cinta itu bukan soal mengontrol, tapi soal mendukung. Sebagai orangtua, tugas kita bukan membentuk anak menjadi seperti yang kita mau, tapi membantu mereka menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.”
Vanda mengangguk setuju. “Betul. Anak-anak kita punya jalan hidup mereka sendiri. Kita cuma bisa mendampingi, bukan mendikte.”
“Dan ternyata hasilnya lebih indah daripada yang aku bayangkan,” tambah Wulan. “Pernikahan tadi memang berbeda, tapi tetap bermakna. Bahkan lebih bermakna karena benar-benar mencerminkan kepribadian Kartika dan Robert.”
Lilac tersenyum. “Welcome to the Jungle ternyata cocok juga ya jadi lagu latar pernikahan. Versi akustiknya romantis banget.”
“Iya, aku awalnya takut bakal kayak konser rock beneran. Ternyata Kartika sudah memikirkan semuanya dengan matang.”
“Anakmu memang cerdas, Wul. Dan berkarakter kuat. Persis seperti mamanya,” kata Olive sambil menyenggol lengan Wulan.
“Seperti mamanya yang mana? Yang dulu melawan orangtua demi kuliah S2, atau yang kemarin-kemarin melawan anak demi tradisi pernikahan?” Wulan tertawa.
“Keduanya! Yang penting, sekarang kamu sudah berdamai dengan perbedaan.”
Malam itu, Wulan tidur dengan nyenyak untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Dia akhirnya memahami bahwa mencintai anak bukan berarti harus menyamakan mereka dengan diri kita. Mencintai anak berarti membiarkan mereka tumbuh menjadi diri mereka sendiri, dengan semua keunikan dan perbedaannya.
Dan ternyata, ketika kita berhenti mengontrol dan mulai mendukung, hasilnya jauh lebih indah dari yang pernah kita bayangkan.
Welcome to the jungle, tentunya. Jungle atau hutan kehidupan yang penuh dengan perbedaan, tantangan, dan pembelajaran. Dan di hutan itu, yang paling penting bukan seberapa keras kita berteriak untuk didengar, tapi seberapa baik kita mendengarkan suara orang-orang yang kita cintai.
***
Enam bulan kemudian, grup Tanakita kembali ramai. Kali ini yang membuat heboh adalah foto-foto liburan Kartika dan Robert yang sedang melakukan pendakian bulan madu di Nepal.
“Anakmu memang beda banget, Wul!” komentar Rose melihat foto Kartika yang sedang mendaki dengan latar pegunungan yang menakjubkan.
“Alhamdulillah dia bahagia dengan pilihannya,” balas Wulan.
“Dan kamu sudah berdamai dengan semua keunikannya?”
“Sudah dong! Malah sekarang aku bangga punya anak yang berani jadi dirinya sendiri. Lebih baik punya anak yang autentik daripada anak yang cuma jadi fotokopi orangtuanya.”
“Wah, filosofis banget nih si Wulan!”
“Belajar dari pengalaman, teman-teman. Ternyata hutan kehidupan itu indah kalau kita mau menerima semua keanekaragamannya.”
Dan di ujung obrolan, Wulan menambahkan: “Terima kasih, Kartika, karena telah mengajariku bahwa cinta bukan tentang pengendalian, tetapi tentang melepaskan dengan penuh kepercayaan.”
Pesan itu dia kirim bukan hanya ke grup Tanakita, tapi juga langsung ke Kartika yang sedang berada di puncak gunung di belahan dunia lain, menikmati hidup sesuai dengan pilihannya sendiri.
Welcome to the jungle, indeed. Dan jungle itu ternyata tempat yang indah untuk ditinggali.







