Siapapun boleh menciptakan sebutan atau label, Blogger Nasional misalnya. Siapapun juga boleh tidak setuju dengan sebutan yang diciptakan itu. Berimbang kan? Namun bila anda tidak bisa terima keberimbangan tersebut, lebih baik anda makan kepala batu anda itu. Terlalu kasar ya?
Rupanya ketika saya membuat hashtag #TolakBloggerNasional di Twitter, ada sebagian yang merasa terusik. Entah karena tidak suka dengan hashtag itu, atau sekadar ingin tahu alasan dibuatnya hashtag tersebut. Secara sepintas, hashtag itu memang provokatif. Dan saya memang sengaja membuat hashtag yang sudah pasti provokatif itu, bahkan sangat provokatif untuk sebagian orang. Tentu saja saya membuat itu tidak tanpa alasan. Saya memiliki argumen mengapa saya ‘mengkampanyekan’ penolakan terhadap label ‘blogger nasional’. Perihal apakah anda bisa menerima atau tidak, hal itu tidak penting lagi. Sebagaimana yang saya sampaikan di awal paragraf, jika ada yang melabeli seorang blogger dengan label itu, sayalah orang yang akan menolaknya.
Sebelum saya jelaskan mengapa saya tidak setuju dengan sebutan blogger nasional, saya ingin ceritakan asal muasal sebutan itu. Pada awalnya, sejauh yang saya alami, label blogger nasional berasal dari pihak pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Depkominfo. Entah orang pemerintahan itu seorang blogger juga atau bukan, saya lebih suka menyebutnya sebagai pihak pemerintah. Hal itu dimulai ketika seorang sahabat yang dikenal dengan panggilan Mataharitimoer atau MT mendapat undangan dari Depkominfo untuk sebuah acara diskusi. Mereka menyebutnya Focus Group Discussion atau FGD. Diskusi yang diadakan 7 Oktober 2011 di Hotel Royal, Bogor itu diberi judul IMPLEMENTASI CITIZEN JOURNALISM YANG SESUAI KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN JATI DIRI BANGSA. Karena boleh mengajak dua orang lagi, MT kemudian meminta Chandra Iman dan saya untuk menemani. Dikirimlah undangan dari Depkominfo ke saya melalui email oleh MT. Di undangan yang dikirimkan itu tujuan ke si penerima undangan dituliskan nama asli Mataharitimoer kemudian di bawahnya tertulis ‘Aktivis Blogger Nasional’. Mulai saat itulah kemudian saya suka memanggil MT dengan sebutan Aktivis Blogger Nasional yang kemudian dia respon dengan mimik tidak senang. Roman tidak senangnya itu tentu saja tidak serius karena dia tahu bahwa saya hanya bercanda dan sekadar mengolok-oloknya. Untuk cerita tentang diskusi itu, anda bisa baca di tulisan yang berjudul Pemimpi Pengatur Ombak Samudera.
Lalu mengapa saya menolak julukan blogger nasional? Barangkali perlu diklarifikasi dulu bahwa yang saya tolak itu bukan orang atau siapapun yang dianggap atau menganggap dirinya blogger nasional, tetapi julukannya. Klarifikasi yang lain adalah bahwa hashtag #TolakBloggerNasional atau tulisan saya yang berjudul Blogger Elite Blogger Kroco adalah murni aspirasi saya. Jika ada yang merasa memiliki aspirasi yang sama, dan ternyata memang ada bila membaca komentar yang menanggapi tulisan tersebut, masak saya harus larang? Bila MT kemudian jadi kena getahnya, itulah resiko sebagai Ketua Blogor – komunitas blogger Bogor – yang memiliki anggota gila seperti saya ini. Namun bagaimanapun juga, saya harus minta maaf ke beliau. Karena ulah saya, dia yang kena getahnya. Orang Inggris bilang, “Anak polah, bapa kepradah.” Gara-gara ulah si anak, bapaknya jadi ikut repot. Cape dehhh. Tuduhan bahwa tulisan saya di blog atau hashtag #TolakBloggerNasional di Twitter adalah aspirasi dia atau saya dianggap sebagai antek-anteknya MT, hal itu saya anggap wajar saja mengingat kedekatan saya dengan MT atau saya anak buah dia ketuanya. Dan karena itu anda kemudian menyalahkan MT, maka sebenarnya anda salah sasaran.
Selanjutnya saya akan utarakan alasan saya menolak sebutan blogger nasional, dan ini mungkin yang sedang anda cari dan tunggu. Kira-kira menurut anda keren mana blogger nasional dengan blogger internasional atau blogger dunia? Atau pasti akan membuat jiper jika misalnya anda mendengar julukan blogger dunia akhirat. Itu hanya berandai-andai lho. 😉 Bagi saya, julukan blogger nasional adalah pengerdilan bagi blogger itu sendiri. Jika anda mau terima disebut blogger nasional, maaf, saya katakan anda ini blogger cemen. Hanya segitu doang. Kalah dengan anak seorang teman yang masih sekolah di SD yang juga seorang blogger tetapi dia blogger internasional. Sekarang apa coba yang dimaksud dengan blogger nasional? Kriteria apa yang digunakan untuk menyebut seorang blogger sebagai blogger nasional? Apa karena prestasi yang dimiliki? Bila tentang prestasi, mohon baca dulu tulisan berjudul Prestasi Tanpa Isi ini. Apakah karena sering ke luar kota, ke luar pulau, atau bahkan ke luar negeri? Atau karena sering diundang jadi pembicara di mana-mana? Blogger itu jelas berskala internasional atau dunia. Bila siapapun mengaku seorang blogger, entah aktif maupun tidak, itu artinya dia menjadi milik dunia. Blognya jelas bisa dibaca oleh siapapun di belahan bumi manapun terlepas si pembaca bisa mengerti atau tidak dengan bahasa yang digunakan. Bila kemudian julukan blogger nasional diberikan, itu kan artinya sama saja dengan pengerdilan? Tak ubahnya seperti bonsainya orang Jepang atau pengebiriannya para kasim yang ada di harem-harem para raja. Ah, memang penting ya saya mempermasalahkan ini?
Namun semua itu hanya pilihan. Kita bebas kok menentukan untuk disebut blogger apa. Jika anda bangga mendapat julukan blogger nasional, ya, silakan. Tapi yang jelas, saya lebih senang jika hanya disebut seorang blogger. Sudah, itu saja dan tanpa embel-embel apapun.
Atau anda lebih gembira bila menyebut saya blogger gila? 😆
Sumber gambar: di sini
[…] serta serasa menjadi katak dalam tempurung. Seperti yang pernah saya tumpahkan dalam tulisan Tolak Blogger Nasional, Blogger Elite Blogger Kroco, atau Prestasi Tanpa Isi, sikap naif dan euforia bisa menjadi […]
@SlameTux: betul, terus ngeblog. salam kenal juga 😉
saya seorang blogger yang baru, bisa dibilang newbie… saya tidak mempermasalahkan soalnya embel-embel seperti itu, yang penting saya bisa terus ngeblog-ngeblog-dan-ngeblog.
salam kenal ya kakak.
@unggulcenter: nggak masalah
@yoszca: sip! 😉
Wah ide ajaib ini,kapan-kapan bisa kita ramein hashtag #BloggerDuniaAkhirat yukk ,biar jadi Trending Topic 😆
Kalau Blogger Hahahihi kayaknya boleh juga
@harrismaul: suka pakai picis (peci) berarti 😉
kalau saya mah blogger picisan 😀
@Bugi: sip kang. makasih kunjungannya 😉
Blogger Bogor dimana posisinya 😉 memang kalau sudah mantab (pake b) jadi blogger hrs siap go kemana aja ya … go regional, go nasional, go internasional … kamana wae lah he he he.. nice posting 😉
@honeylizious: salam persahablogan mbak, makasih tlah ditengok 😉
twitter memang terkadang kurang bisa menyampaikan secara jelas apa yang kita maksud dengan sebuah hashtag.
Itulah gunanya blog untuk klarifikasi dan fungsi blog yang satu ini tidak akan pernah ada matinya.
salam blogger :))
@Erfano Nalakiano:
wkwkwkwkwk
Tapi mas WKF itu blogger gila wkwkwkwkwk
@MT: temennya blogger gila ya blogger gila juga
@banyumurti: nggak pengen pindah mas? 😉
@echa: dari dulu kan? 😆
@melly: saya juga 😉
@ovan: kalo yg itu nggak usah ditawarin mas. sudah otomatis 😀
@MT: ada yang ketinggalan. dan provokator 😎
ya, intinya sih, cuma ada blogger dan bukan blogger. itu saja. 🙂
gimana klo blogger CROT!
Lebih universal atau malah lebih bias :))
saya setuju komentar depz 🙂
Enakan juga blogger narsis :p
Makanya saya setia dengan predikat “Blogger Kuliner”, tidak mau jadi “Blogger Nasional” 😛
dasar blogger gila! :))
@depz: setuju banget! 😉
@masfajar: halah, kok malah saya yang jadi tertuduh? 🙁
pak Adi mah ngga ada matinya,
sekarang sdh jd Blogger Selebriti/Selebblog.. 🙂
label atau embel2 buat saya ngga (terlalu) penting
yg penting sy ngeblog dan (semoga) bisa menjadi berkat u/ org laen.
thats it