“Selama saya masih makan singkong, malu rasanya untuk beli ac.” Itu yang saya katakan ketika petugas keamanan di kampung saya menawarkan mesin pendingin itu.
Tentu saja saya hanya bercanda. Saya tetap akan makan singkong meskipun seluruh ruangan di rumah saya dipasangi ac. Jika saya menolak, masalahnya bukan karena singkong. Ya betul tebakan anda, karena saya tidak punya uanglah sehingga tidak membeli ac. Bila kemampuan saya masih tidak jauh dari singkong, itu kan artinya daya beli saya masih rendah. Dengan demikian, bagaimana mungkin saya bisa beli ac? Orang jika habis makan saja dessert saya singkong goreng, sementara orang lain makanan penutupnya ice cream, buah-buahan, dan puding.
Oleh sebagian masyarakat kita, singkong itu kan dianggap simbol kemiskinan. Untuk orang-orang kaya, baik yang dari lahirnya sudah kaya atau termasuk okb (orang kaya baru), atau orang yang sok kaya, malu rasanya makan makanan kampung itu. Mereka takut disebut miskin. Mereka nggak rela dikatakan kampungan. Makanya mereka berusaha menghindar jauh-jauh dari roti sumbu yang menjadi makanan favorit komunitas kere tersebut. Padahal kalau anda tahu, singkong juga ada di daftar menu restoran Thailand yang dianggap bukan untuk rakyat biasa.
Di antara orang kaya itu kan ada yang suka menunjukkan statusnya. Salah satunya dengan cara makan di rumah makan mahal. Buat orang Indonesia, restoran Thailand termasuk mahal. Untuk bisa makan di tempat itu perlu uang banyak. Nah, salah satu makanan penutup yang disuguhkan di restoran itu adalah makanan yang terbuat dari singkong. Sayang saya lupa namanya. Saya pengen tahu apakah orang-orang kaya ini mau menyantapnya. Atau karena ada di restoran mahal maka dianggap bukan makanan kampungan meskipun bahan bakunya dari singkong?
Hal lain yang mengherankan, mereka yang kaya, kelakuannya justru lebih miskin dari orang miskin. Setiap ada bantuan, tiba-tiba saja mereka menjadi miskin. Rupanya urat malu mereka sudah putus dan sudah tidak memiliki nurani lagi. Masih ingat program Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT)? Trenyuh rasanya melihat mereka yang benar-benar miskin berjuang untuk mendapatkan haknya. Di antaranya tidak sedikit yang pingsan saat antri, bahkan sampai ada yang meninggal. Sementara itu ada kelompok tengil yang datang menggunakan motor atau menunjukkan kemewahan saat mengambil bantuan yang seharusnya menjadi milik orang miskin. Yang menyakitkan lagi, uang yang diterima itu ada yang digunakan untuk foya-foya.
Memang nurani ini tidak selalu ada di hati orang-orang mampu. Minggu kemarin ada bidan desa yang datang ke rumah. Dia datang untuk mendata keluarga miskin yang memiliki balita. Dari obrolan yang dilakukan terucap cerita yang bila memang benar, sungguh memprihatinkan dan memalukan. Kata dia, di wilayah tempat presiden tinggal, di dalam daftar keluarga miskin terdapat keluarganya presiden. Bagaimana ini? Mencolok banget cara menjilat petugas yang mendata bila keluarga itu memang benar-benar tidak tahu. Namun jika keluarga presiden itu tahu daftar tersebut tetapi diam saja, betul-betul keluarga yang tidak punya nurani. Entah apa yang ada dalam benak mereka.
Validitas informasi dari bidan desa itu tentu saja perlu dipertanyakan. Apakah dia tahu sendiri atau dengar dari temannya yang tahu dari temannya yang dengar dari temannya yang lain dan begitu seterusnya. Namun bukan itu yang penting. Benar tidaknya berita itu, kita bisa cocokkan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Mungkin, dan mudah-mudahan saja, kasus keluarga presiden itu tidak benar. Bisa saja penyebaran berita itu merupakan provokasi dari lawan politik presiden yang sekarang untuk mem-blow up isu negative menjelang pemilihan presiden baru nanti.
Kadang mengherankan dan tidak bisa dimengerti dengan orang-orang miskin yang muncul dari kelompok orang-orang kaya. Barangkali orang-orang seperti ini bisa kita sebut sebagai penyakit sosial. Anggap saja mereka itu penyakit yang nempel di tubuh masyarakat yang perlu disembuhkan. Kita tidak salah juga bila menyebutnya sebagai sampah masyarakat. Sampah ini berbeda dengan sampah masyarakat umumnya yang biasanya berasal dari golongan miskin. Namun, namanya sampah tetap sampah, harus dibersihkan.
Belum lama, ada juga informasi tentang raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dulu pernah melibatkan orang-orang kaya (pejabat) yang miskin nurani. Dibandingkan dulu, raskin sekarang masih mending. Bukan kualitas berasnya, tetapi penanganannya. Saat ini distribusi raskin bisa dikatakan sudah benar-benar kena sasaran. Raskin itu disalurkan melalui pengurus rt untuk diteruskan ke kaum dhuafa. Di kampung saya, hal itu sudah berjalan. Mudah-mudahan di kampung yang lain juga sama dengan di tempat saya.
Mengenai riwayat raskin sebelumnya, betul-betul memprihatinkan. Biasa, muncul orang-orang yang bermental kere. Pernah saat itu, ada berita di media kepala desa dan aparatnya yang diserahi tanggung jawab malah menimbun raskin di dalam sumur kering di belakang rumahnya. Malahan belum lama ini muncul lagi berita di layar kaca tindakan memalukan yang dilakukan aparat desa. Mereka tertangkap telah menjual raskin. Dan berita lain, ada ibu-ibu yang mengambil raskin tetapi di pergelangan tangannya berendeng gelang emas. Miskinkah dia? Misalnya ditanya, tidak heran bila alasan mereka mengutil haknya orang miskin itu adalah karena kekurangan. Sebenarnya yang kurang itu bukan hartanya tetapi hati nuraninyalah yang miskin. Memang banyak kan yang seperti itu?
Saya pernah punya pengalaman menarik untuk dijadikan pelajaran. Sudah beberapa tahun ini saya mendapat tugas dari tempat kerja untuk mendatangi rumah beberapa keluarga. Tujuannya adalah untuk mensurvei apakah mereka benar-benar dhuafa sebagaimana dinyatakan dalam surat keterangan dari kepala desa yang mereka serahkan. Salah satu dari keluarga itu ternyata kondisinya membuat saya jadi heran. Kok tidak malu menyerahkan surat keterangan tidak mampu untuk keadaannya yang bisa dikatakan bukan hanya cukup tetapi, kaya. Rumahnya besar, dua lantai, ruangan-ruangan yang terlihat oleh saya semua berkeramik, televisi besar, kulkas, sofa dan perabot lainnya ada. Pemiliknya sendiri bukan pengangguran. Dia kerja di deplu Jakarta, meskipun menurut pengakuannya sebagai pegawai biasa. Ketika saya minta untuk datang melakukan interview, dengan arogan dia menjawab, “Oh tidak bisa. Saya harus berangkat kerja.” Saat itu juga di lembar penilaian yang saya bawa saya tulis: DROP, alias tidak masuk kualifikasi. Saya tersinggung dengan sikapnya yang arogan dan tak tahu malu.
Bila anda termasuk orang kaya yang kebetulan membaca ini, jadilah orang yang bukan hanya kaya harta tetapi juga hati. Biarkan mereka yang miskin memperoleh dan menikmati haknya. Dengan berbuat demikian, anda sudah membantu.