Kompas bilang cerpen Pesta Rambutan yang aku kirim 12/1/05 ini gaya bahasanya masih terlalu dewasa untuk anak-anak sehingga dikembalikan lagi 7/3/05. Nggak papa, dia yang punya koran kok.
Hari ini liburan sekolah dimulai. Aku jadi ingat lagi janji ayah. “Izal, kalau Izal libur nanti kita main ke rumah Opung yuk,” begitu kata ayah waktu itu.
Jam 5 pagi aku sudah bangun. Tanpa harus dibangunkan ibu. Biar bisa berangkat pagi maka aku segera mandi. Airnya dingin, tetapi tidak aku rasakan. Reyhan, adikku, juga ikut bangun. Mendengar suara gaduh, teriakanku ketika minta sabun mandi yang baru ke ibu. Sabun yang ada di kamar mandi tinggal sedikit. Kalau buat mandi sudah tidak keluar busanya. Aku paling suka main busa sebelum mandi.
“Ibuuuuu……. Minta sabun mandi baru. Yang ini sudah tinggal dikit nih,” pintaku pada ibu.
“Ya, sebentar,” jawab ibu.
Nggak lama kemudian, ibu mengetuk pintu kamar mandi. Sabun mandi baru ibu sodorkan ketika pintu kubuka.
Melihat aku mandi, Reyhan minta mandi juga.
“Reyhan mau mandi juga sekarang ah,” katanya. “Ibu, Reyhan mau mandi dong. Kayak mas,” sambil mengusap-usap matanya yang masih ada beleknya.
Setelah aku dan adikku Reyhan berpakaian rapi, ibu menyiapkan sarapan. Kata ibu, biar cepat, aku sama Reyhan disuruh makan duluan. Ketika kami makan ayah masuk ke kamar mandi. Sementara itu ibu memberesi tas yang nanti akan dibawa. Dari ruang makan terdengar suara ayah yang menyanyi sambil mandi. Suara gemericik air diselingi alunan lagu yang dinyanyikan ayah. Ibu kemudian mengambil handuk dan siap di dekat kamar mandi. Menunggu ayah selesai mandi. Rupanya ibu hanya sebentar saja menyiapkan bekal yang akan dibawa nanti.
Jam di ruang tamu menunjukkan pukul 6:30. Aku, Reyhan, ayah dan ibu sudah rapi. Kami siap berangkat.
“Semua sudah siap?” ayah bertanya kepada kami.
“Okay yah!” serempak aku dan Reyhan menjawab dengan semangat.
“Ibu, sudah tidak ada yang ketinggalan?” gantian ayah bertanya ke ibu.
“Beres. Rasanya nggak ada yang ketinggalan,” jawab ibu sambil memasukkan baju gantinya Reyhan ke dalam tas.
Aku tinggal di desa Cibadak. Nggak tahu kenapa namanya seperti itu. Mungkin dulu ada badak yang suka mandi di sungai dekat rumahku. Kalau mau ke jalan raya yang dilewati angkot harus jalan kaki dulu atau naik ojek. Dari desa tempat aku tinggal sampai ke kota Bogor jaraknya 15 km. Untungnya ayah tahu keinginanku. Kami semua naik ojek ke jalan raya. Begitu sampai, sudah terlihat angkot yang menuju Bogor. Rupanya supirnya sudah melihat sebelum kami sampai, sehingga dia berhenti dan menunggu dengan sabar.
Perjalanan dengan angkot ke Bogor terasa lama. Padahal sebenarnya cuma sebentar. Itu karena aku ingin cepat-cepat sampai. Setelah tiba di Bogor, kami ganti naik kereta api. Kereta yang kami tumpangi ini namanya KRL. Kata ayah singkatan dari Kereta Rel Listrik. Suara kereta ini berisik sekali. Walaupun begitu, aku senang naik KRL. Bentuknya panjang kayak ular. Ketika lewat belokan aku bisa melihat gerbong bagian depan dari gerbongku. Lewat jendela gerbongku, pohon-pohon kelihatan berlarian ke arah belakang kereta. Aneh rasanya. Tapi aku suka. Meskipun bikin pusing kepala.
Dari kejauhan stasiun kereta Depok Baru sudah kelihatan atapnya. Ada empat stasiun yang dilewati sebelum keretaku sampai stasiun ini. Rumah Opung masih jauh. Untuk sampai disana, harus naik angkot sekali lagi dari terminal dekat stasiun.
Opungku tinggal di desa Cipayung. Opung itu bahasa Batak. Artinya kakek atau nenek. Aku punya Opung karena bulik Asih, adiknya ayah, yang tinggal di Semarang menikah dengan om Bayu. Om Bayu ini orang Batak. Opung yang ada di Cipayung ini ayahnya om Bayu yang tinggal di Semarang. Jadi meskipun ayah dan ibuku orang Jawa, tapi aku punya Opung Batak.
Angkot yang aku tumpangi berjalan ngebut. Kadang-kadang agak pelan karena jalan berlubang atau ada orang nyeberang. Tanpa terasa angkot sudah berhenti di depan rumah Opung. Dari jalan, rumah Opung tidak kelihatan. Tempat tinggal Opung ada di belakang pepohonan yang rimbun. Yang menjadi kejutan menyenangkan, pohon rambutan Opung sedang berbuah lebat. Rasanya sudah nggak sabar untuk segera memanjatnya.
Ternyata Opung sudah menunggu di depan pintu ketika kami datang. Sebelum berangkat, tadi ayah sempat menelpon Opung dulu. Aku mencium tangan Opung laki-laki kemudian Opung perempuan. Reyhan menirukan apa yang aku lakukan. Begitu juga ayah dan ibu. Setelah duduk di ruang tamu sebentar, aku mendekati Opung laki-laki.
“Opung, boleh nggak Izal manjat pohon rambutan?” tanyaku. “Izal akan hati-hati kok.”
“Iya boleh,” kata Opung, “tapi bener ya, hati-hati.”
Aku dan Reyhan lari ke luar menuju pohon rambutan. Saking senangnya sampai lupa mengucapkan terima kasih. Kebetulan pohonnya tidak terlalu tinggi. Kami langsung memanjat sambil mataku jelalatan mencari rambutan yang berwarna merah. Saat rambutan sudah ada di tangan, dengan tak sabar aku kupas. Daging rambutan yang putih berair itu segera masuk ke mulut. Aku makan buah rambutan di atas pohon. Persis seperti seekor monyet. Rasanya manis sekali dan banyak airnya. Sudah tidak terhitung berapa butir yang aku makan. Ketika menunduk, aku lihat kulit rambutan bertebaran dimana-mana. Rupanya sudah banyak rambutan yang aku makan. Pantesan perutku terasa penuh. Hal yang sama juga dialami Reyhan. Dia malah sudah tidak makan dari tadi. Tapi Reyhan masih nongkrong di sebelahku, di atas dahan lain.
Tak terasa hari sudah siang. Ayah dari bawah pohon meminta kami berdua supaya turun.
“Ayo, Izal, Reyhan, turun. Sudah saatnya kita pamit pulang.” Ayah berkata sambil meraih rambutan merah yang menggelantung di dekatnya.
“Sebentar ayah. Izal mau ngambil buat bekal pulang nanti,” kataku.
“Tapi jangan lama-lama ya.”
Setelah seluruh kantong baju dan celanaku penuh rambutan, aku turun. Reyhan sudah turun sejak tadi. Rupanya dia sudah bosan ada di atas pohon. Kami semua berpamitan sama Opung berdua dan mengucapkan terima kasih. Puas rasanya menikmati rambutan hari ini. Sebuah pesta rambutan yang tak terlupakan.
Cibadak DP, 10 Januari 2005
Haha saya ketawa baca kata2 ‘mereka yang punya koran kok’ ,ngemeng ngemeng ini cerpen seperti bukan fiksi ya?
@Yos Zuacca: mungkin itu yang jadi alasan cerpen ini belum bisa diterima