“The absurd man is he who never changes.” Auguste Barthelemy (in 21st Century Dictionary of Quotations)
Alangkah bodohnya kita bila tetap ngotot untuk tidak mau berubah. Di saat semua sudah tidak seperti sebelumnya, kita masih berkutat dengan hal-hal yang sudah basi. Bukan berarti tidak mau berubah itu hal yang nista, tetapi bila perubahan itu jelas-jelas dibutuhkan namun tetap bergeming, saya katakan, bodoh, kepala batu itu namanya. Apakah anda akan tetap diam ketika anda tahu harus bergerak?
Kadang-kadang saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang berkepala batu terhadap perubahan. Orang yang tahu bahwa dengan tetap diam tidak akan menuju ke arah kebaikan namun tetap saja tidak mau berubah. Mesti disebut apa orang seperti ini kalau bukan kepala batu?
Penyebab nyata dari ketidakmauan berubah orang-orang pecinta status quo adalah keengganan mereka meninggalkan comfort zone, zona nyaman. Siapa sih yang mau melepaskan kursi empuk beralaskan selimut bertahtakan batu manikam untuk pindah di bangku reyot penuh bangsat atau kepinding? Siapa yang ingin keluar dari istana megah nan hangat dan masuk gubuk reyot penderitaan yang bolong-bolong? Tidak ada! Tidak ada satupun pecinta status quo yang mau dengan sukarela melakukan itu. Bagi dia, dunia di luar zona nyaman adalah ketidakpastian. Bodoh menurut dia bila ada yang mau keluar dari zona nyaman untuk menyongsong ketidakpastian. Dan inilah satu ciri pecinta status quo, yaitu dia bukan seorang risk taker. Bukan tipe manusia yang berani ambil resiko.
Ketakutan seorang pecinta status quo disebabkan juga oleh persepsi yang salah. Baginya, perubahan adalah sebuah ancaman. Itulah sebabnya dia akan menolak mati-matian ketika datang perubahan. Dia tidak rela jika yang muda akan menggantikan. Nggak akan suka dia bila pendatang baru mengisi kursinya. Nehik!, no way!, bila harus lengser keprabon. Sungguh bulat tekadnya untuk melawan perubahan. Mereka yang membawa perubahan adalah ancaman. Oleh karena itu, harus dilawan. Nyata sudah, yang namanya resistant to change selalu ada. Khususnya di kepala dan dada pecinta status quo.
Hal lain yang membuat para pecinta status quo bertahan adalah ketidakmampuan beradaptasi. Saya lebih sreg menyebutnya ketidakmauan, bukan ketidakmampuan. Yakinlah, siapapun akan mampu bila memiliki keyakinan. Syair lagu milik R. Kelly, I believe I can fly, sangat menginspirasi dan memotivasi. Cobalah dengarkan dan cermati bait per bait lirik lagu itu. Anda akan paham apa yang saya maksud. Tapi sayangnya, anda tidak akan bisa menikmati bila anda termasuk pecinta status quo. Namun kabar gembiranya, meskipun anda pecinta status quo tetapi bila memiliki keyakinan untuk dapat berubah, pasti, anda akan berubah. Untuk itu, yakinlah!
Bila diamati, dan anda boleh tidak setuju dengan saya, pecinta status quo pasti bukan manusia visioner. Dia bisa jadi termasuk si lidah panjang alias penjilat biar tetap bisa bertahan di zona nyamannya. Atau seseorang yang layaknya seekor katak dalam tempurung yang, anehnya, senang memonyetkan manusia dan tergagap-gagap menyaksikan perubahan dunia di luar termpurungnya. Tidak aneh bila kemudian ketika menjadi pemimpin, dia mendapat julukan Si Goblog Memimpin. Karena kebodohannya itu, jangan heran jika dia membuat peraturan yang membahayakan, bahkan bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, sudah pasti dia akan di-persona nongrata-kan lingkungannya. Sayangnya, seorang pecinta status quo acapkali berkepala batu.
Jika kepala batunya manusia pecinta status quo ini hanya berdampak kepada diri sendiri, barangkali tidak menjadi masalah. Namun ketika kebodohannya memiliki efek destruktif bagi kehidupan pihak lain apalagi dengan jumlah yang tidak sedikit, alangkah dzolimnya dia. Celakanya lagi bila dia tidak menyadari bahwa perilakunya itu salah.
Harus bagaimana lagi kita bisa membukakan mata para pecinta status quo agar tahu bahwa tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri?
Sumber gambar: di sini
[…] sesuatu yang tidak cocok atau tidak disukai. Saya pernah menuliskan sebuah artikel berjudul Pecinta Status Quo. Dari judulnya, anda bisa menebak apa kira-kira isi dari tulisan tersebut. Betul, dalam tulisan itu […]
[…] berubah seolah-olah segalanya akan berganti dengan sendirinya seperti yang diharapkan. Inilah tipe pecinta status quo, mereka yang takut dengan […]
[…] yang revolusioner acapkali memang tidak mengenakkan dan membuat tidak nyaman. Apalagi bagi para pecinta status quo, mereka akan alergi dengan segala bentuk perubahan. Orang-orang seperti mereka ini jelas lebih […]
@gerrilyawan: ya, masalahnya ada di tidak mau, bukan tidak mampu
@ok: eh, yang dilirik balas ngelirik tuh 😀
setelah baca ini saya jadi tau klo ada orang dengan status quo di lingkungan saya *ngelirik hihihihi…
ya betul..ketidakmauan beradaptasi. ciri mahluk hidup kan salah satunya mampu beraaptasi dengan lingkungan…tapi yang jadi masalah adalah orang2 pecinta status quo itu tidak sadar kalau dirinya begitu…ya dia merasa..berubah. mungkin ada beda standar dengan yang namanya “perubahan” itu sendiri…
@aming: silakan dibaca mana yang suka 😀
@indobrad: saya kok yakin selalu ada pilihan, masalahnya mau milih atau tidak 😉
@rikisulaeman & utami: seandainya setiap orang memikirkan orang lain dulu baru dirinya sendiri ya
@nobita: ya gitu deh
@Agung P: orang miskin yg tetap miskin sih bukan pecinta status quo tapi lingkaran setan namanya, pengen berubah tetapi tidak merubah apa yang dikerjakan setiap harinya. Tentang mereka yg ada dalam dunia mistis/adat, tulisan ini bukan untuk yg itu mas.
@Miftahgeek: itu namanya plinplan 😉
Tapi banyak juga yang manik ganti status quo ato ikut2an status quo orang kang 😀
Pecinta status quo itu ndak melulu tentang orang yang sudah enak dan mapan mas. Contohnya adalah orang miskin di Indonesia. Kebanyakan dari mereka itu miskin, selalu mengeluh, tapi pemalas. Mereka pengen mengubah nasib tapi cuma dengan cara dikasihani, diberi uang, dsb. Padahal sudah jelas kemiskinan mereka jauh dari zona nyaman seperti yang anda bilang. Mereka bodoh? Iya.
Pun status quo juga dianut oleh orang-orang tua yang mempercayai adat yang cenderung dianggap mistis. Mereka tetap pengen adat itu dijalankan mutlak seperti apa yang diajarkan, karena mereka takut akan ada akibat yang akan muncul kalau adat dan tradisi ndak dijalani dengan murni. Mereka bodoh? Saya ndak berani menjawab iya. Sebab adat dan tradisi mungkin irasional, tapi itu adalah kepercayaan yang turun temurun diyakini sebagian masyarakat.
wahh,, setuju tu pak
pencinta status quo adalah orang yang tak berani ambil resiko.
*pengen ikut nimbrung
🙂
@rikisulaeman: justru itu yg sy tanyakan mas, krn ada orang spt itu di sekitar sy. dia keukeuh bilang spt itu, tanpa mau tahu orang lain. termasuk pecinta status quo-kah? Kalau sy pribadi sdh pasti sgt setuju dg yg namanya perubahan ke arah yg lbh baik. jgn khwtir.
Tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. Betul.
pemikiran yang menarik, bro. tapi bagaimana dengan orang2 yang status quo karena mereka memang gak punya pilihan lain seperti masyarakat kelas bawah? ataukah pilihan selalu ada buat mereka?
*sekedar nambahin rusuh* 😀
@mba utami : gag slamanya kita hrus dimngerti, adaklanya kita yg hrus mngerti orang lain.
n klo prubahan tu banyak positifnya n membawa kbahagian bagi banyak org y why not?
selamat malam,
izin berkunjung,
baca2 dulu akhh…….
@utami: ya diterima aja mbak
kalau ada orang yg punya prinsip: ya beginilah sy, terimalah sy apa adanya, gimana tuh?