Waktunya berburu kopi di Ponorogo. Jangan bayangkan saya akan memburu kopi premium. Bagi masyarakat umum, semua kopi premium. Istilah single origin atau specialty atau apa pun penamaan untuk kopi dan di dunia perkopian, saya melihatnya lebih sebagai upaya di sisi pemasaran. Dalam kehidupan nyata di masyarakat umum, kopi ya kopi.
Ini merupakan hari terakhir perjalanan #jalurkopi di Ponorogo. Banyak kisah yang bisa saya tuliskan. Bukan hanya kopi, juga beragam hal yang menjadi satu kesatuan dalam kehidupan. Tinggal di desa semacam Desa Joresan, Mlarak, Ponorogo begitu mengesankan. Saya merasa lebih dekat dan menyatu dengan alam di mana saya berada. Kemarin siang misalnya, di depan rumah yang dijadikan markas teman-teman Blogger Reyog ada pohon kelapa hijau yang tak terlalu tinggi dengan buahnya yang lebat bergelantungan. Di udara siang yang panas, air dan daging kelapa muda begitu menyegarkan untuk dinikmati. Selanjutnya, buah pepaya matang yang pohonnya tumbuh di dekat pohon kelapa melengkapi kesegaran siang itu. Daging buah pepayanya begitu manis. Semanis kehidupan di Desa Joresan ini.
Malamnya teman-teman membawa saya ke sebuah masjid tua di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Dari silsilah yang terpampang di salah satu dinding masjid, tokoh yang dimakamkan di lingkungan masjid itu ternyata masih ada turunan dari Nabi Muhammad. Itu yang saya baca. Tujuan datang ke masjid Tegalsari tadinya selain wisata rohani, juga mau menikmati kopi di lingkungan masjid. Kata teman-teman di situ banyak pedagang kopi yang menggelar dagangannya di sekitar masjid setiap malamnya. Sayangnya karena sampai di tempat itu baru pukul 19.00 WIB sementara keramaian baru dimulai pukul 21.00 WIB, para penjual belum mulai beraktivitas. Yang ada baru pedagang bakso yang tidak kami butuhkan. Perjalanan dilanjutkan. Saya dibawa ke pedagang cendol atau penduduk setempat menyebutnya dawet. Karena tempatnya di Desa Jabung maka cendol tersebut disebut Dawet Jabung. Dawet ini sangat terkenal seantero Ponorogo rupanya, dan saya beruntung diajak ke tempat aslinya, tempat asal minuman menyegarkan itu. Warung-warung penjual dawet ini bisa ditemukan di perempatan Desa Jabung dan sekitarnya. Dilihat sekilas, Dawet Jabung diracik dari ketan hitam, ketan putih, biji mutiara merah (sagu), gula merah, dan ditambah es batu. Meski malam, es dawet ini tetap segar dinikmati dalam cuaca wilayah Ponorogo yang hangat. Selain menikmati Dawet Jabung, sekalian kami memesan makan malam di warung yang ada di sebelah penjual dawet. Tanpa ada rasa bosan, kami makan nasi pecel. Lagi!
Selesai menikmati kuliner di perempatan Desa Jabung, perjalanan diteruskan. Giliran berburu kopi dimulai. Kami akan menyesap kopi di sebuah tempat yang berada di Jl. Suromenggolo atau biasa disebut jalan baru. Di sepanjang jalan ini bertebaran tempat ngopi lesehan. Warung kopi di dekat pertigaan Stadion Batorokatong Ponorogo kemudian yang dipilih. Trotoar yang membentang di sepanjang jalan itu digelari tikar dan alas lain yang difungsikan untuk lesehan. Di situlah segelas kopi Ponorogo saya seruput. Sambil ngobrol ngalor-ngidul, kopi itu saya nikmati sesap demi sesap. Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu. Pukul 23.00 WIB kami kembali ke markas di Desa Joresan.
Di markas, perbincangan di tempat ngopi dilanjutkan kembali. Sebagian sambil main catur, ada juga yang main kartu. Saya sendiri memilih bergoler sambil menikmati obrolan teman-teman di galur waktu Twitter dan sekali-sekali menimpali omongan teman-teman yang ada di sekeliling saya. Malam itu rupanya ada kejutan di markas. Sebuah pesta kecil yang mereka sebut mayoran sedang dipersiapkan. Dua lembar daun pisang utuh dibentangkan di lantai. Di atasnya dituang nasi, kemudian sayur ayam manis pedas, semacam semur tapi pedas jahe dan merica ditaruh di atas nasi. Kerupuk berbentuk kotak berwarna coklat, entah kerupuk apa namanya, ditambahkan untuk menemani sayur ayam. Kami kemudian mengelilingi daun pisang yang di atasnya sudah siap nasi plus lauk untuk disantap. Sambil sekali-sekali bercanda, kami makan bersama nasi putih dengan lauk sayur ayam dan kerupuk yang tersaji di atas daun pisang yang digelar di lantai. Sebuah kejutan menyenangkan dan mengenyangkan.
Selesai pesta, sekitar pukul satu pagi, kami kembali ke aktivitas masing-masing. Yang main kartu balik lagi memainkan kartunya, yang main catur juga kembali ke permainannya. Saya menikmati segelas kopi yang dicampur jahe. Perut yang sudah hangat oleh merica dan jahe di dalam sayur ayam ditambahi rasa hangat lagi dari jahe yang terdapat di dalam kopi. Saya kembali berbaring dan melanjutkan obrolan di Twitter yang terputus oleh mayoran. Dengan perut dan tenggorokan hangat, lambat laun mata ini jadi berat. Entah pukul berapa saya mulai terlelap. Saat melek, di luar sudah terang. Pagi menjelang di Desa Joresan, Mlarak, Ponorogo. Sinar matahari pagi menerobos celah-celah genting dan kaca jendela serta kaca pintu yang kordennya tidak menghalangi dengan sempurna.
Sumber gambar: koleksi pribadi
Menawi wonten kirang langkungipun nyuwun pangapunten sak kathah2ipun 😀
@Njowotenan: aku kudu njawab piye ki?
Nuwun om wkf sudah dolan ponorogo. Kapan kapan dolan maleh 🙂
Marahi pengen!
@profijo: nek pengen, budhal. 🙂