Deoporisasi sangatlah penting dilakukan. Program ini tak ada bedanya dengan detoksifikasi. Jika detoksifikasi adalah pembuangan racun dari dalam tubuh, deoporisasi merupakan proses menetralisasi dari rasa enek akibat terlalu banyak makan opor. Hlah, apa pula ini?
Jangan dibawa serius, ya. Deoporisasi tentu saja bukan sesuatu yang ilmiah. Istilah itu saya buat karena terinspirasi rasa enek yang saya alami setiap mudik lebaran. Jika lebaran tetapi tidak mudik, istri juga tetap bikin opor. Namun demikian, rasa enek kemungkinan kecil muncul karena opor yang saya santap hanya yang ada di rumah. Beda dengan saat mudik lebaran. Selain opor di rumah, semua saudara juga membuatnya. Celakanya, setiap datang bertandang ke rumah mereka, tak bisa dihindari saya pasti menyantap opor. Untuk menolak, saya tak punya keberanian. Bisa dibayangkan, betapa eneknya perut ini setelah pulang bersilaturahim dari beberapa saudara. Repotnya lagi, mengkonsumsi opornya bukan hanya pas lebaran tetapi bisa dua atau tiga hari sesudahnya.
Opor yang diolah menggunakan santan ini memang masakan lezat. Semenjak saya kecil hingga sekarang, opor menjadi menu utama dan selalu tersedia di meja makan sebagai pasangan menyantap ketupat atau lontong di hari lebaran. Meskipun lezat, akhirnya jadi enek juga bila dimakan terus-menerus dan selama beberapa hari. Akibatnya, perut ini jadi tak karuan rasanya karena diisi makanan bersantan secara berlebihan. Selain itu, tentunya akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Mau tidak mau, sebuah program yang saya sebut deoporisasi harus dijalankan.
Deoporisasi saya laksanakan dengan pergi mencari makan di luar rumah. Dengan berbekal informasi dari adik bungsu saya yang saat ini sudah kembali tinggal bersama orangtua, saya menuju alun-alun depan Masjid Agung Demak. Alun-alun yang kadang disebut simpang lima padahal sebenarnya simpang enam ini setiap malamnya penuh dengan angkringan pedagang makanan. Santapan yang dijual macam-macam dengan harga relatif murah bila dibandingkan di Bogor atau Jakarta. Menu yang saya sasar adalah nasi goreng mawut, beberapa pembeli menyebutnya nasi ruwet meskipun di kain yang terbentang di depan angkringan jelas-jelas tertulis “nasi mawut”. Ada dua nama yang direkomendasikan adik saya yang nasi gorengnya menurut dia enak: Pak Mien dan Pak Lies.
Angkringan Pak Mienlah yang pertama kali saya temukan ketika saya dan istri sudah mulai mengitari alun-alun. Masih ada bangku kosong untuk kami berdua sedangkan tikar yang disediakan sudah penuh pembeli yang lagi makan maupun sedang menunggu pesanannya.
“Nasi goreng mawut, Mas.”
“Nggih. Tapi radi dangu niku nenggone?”
“Nggih, mboten napa-napa.”
Ternyata meskipun masih ada bangku kosong, pesanan yang belum dibuat oleh Pak Mien masih banyak. Bahkan ketika ada calon pembeli lagi datang dan bertanya masih berapa lagi, Pak Mien menjawab limabelas. Alamak! Kepalang tanggung, karena sudah terlanjur duduk lagi pula penasaran akan dahsyatnya rasa nasi goreng mawut yang direkomendasikan ini, saya memilih bertahan menunggu. Program deoporisasi yang baru saya mulai tidak boleh terhenti hanya gara-gara antri.
Nasi goreng mawut yang saya pesan akhirnya jadi. Tanpa menunggu lama-lama, segera saya nikmati. Rasanya? Hmm… tidak seperti yang saya harapkan. Tapi lumayanlah. Setidaknya bukan makanan bersantan layaknya opor. Porsinya lumayan banyak. Awalnya tidak yakin bakal habis. Siapa sangka, ternyata habis. Lapar juga rupanya saya ini.
Selesai menyantap di angkringan Pak Mien, saya tidak langsung pulang. Pedagang nasi goreng terekomendasi satunya, Pak Lies, saya cari. Rencananya akan beli satu bungkus nasi goreng mawut di tempatnya untuk anak saya di rumah. Setelah ketemu, ternyata Pak Lies hanya menjual nasi goreng babat. Tidak ada nasi goreng mawut. Ya sudah, berarti belum rejeki anak saya. Saya pulang dengan tangan hampa.
Tadi malam deoporisasi sudah saya mulai. Sepiring nasi goreng mawut termasuk menu dalam program tersebut. Pokoknya asal bukan makanan yang dimasak dengan santan kelapa, itu bisa menjadi menu yang direkomendasikan dalam program deoporisasi.
Anda butuh deoporisasi?
Sumber gambar: koleksi pribadi
Catatan:
Di hari kedua ini, saya ucapkan pada Anda yang memperingati, selamat hari raya Idul Fitri 1433 H, mohon maaf lahir dan batin.
@erick: yang terakhir, pasti benar. *kekenyangan* 😆
@MT: cocok! 😉
[…] ditemukan di warung dan rumah makan. Saat keliling alun-alun depan Masjid Agung Demak dalam rangka deoporisasi kemarin, saya tidak melihat ada satu pun angkringan yang menjual. Untungnya ibu mempunyai tukang […]
Deoporisasi yg pas mestinya minum teh bandul
ngasal … eh tapi ada benarnya juga yak :D. melihat cara deoporisasi yg menggunakan makanan lain, saya tak percaya cara ini berhasil, paling banter tambah kenyang (istilah sundanya Kamerkaan) wakakakak hahahahahaha …