Pesta bola dunia di Jerman sudah kelar. Efeknya masih terasa buat saya sampai sekarang. Mata saya masih terasa berat, ngantuk, akibat semaleman begadang lihat final Italia lawan Perancis.
Skor terakhir 5-3. Hasil dari adu pinalti. Setelah sebelumnya memperoleh skor sama 1-1, bahkan setelah perpanjangan waktu dua kali 15 menit. Italia memang juara, dan Perancis pecundangnya. Tapi bukan murni menang bertanding menggiring bola di lapangan hijau. Buat saya, siapapun pemenangnya, nggak ngaruh. Saya tidak punya jagoan. Sebenarnya saya nonton juga gara-gara ketularan anak pertama saya yang begitu antusias menyambut pesta empat tahunan ini.
Ketika baru mulai saya nggak peduli. Malahan heran ketika melihat si Izal, anak pertama saya yang baru kelas 5 SD, tidak mau tidur. Dia pengen nonton bola yang jam 11 malam. Padahal biasanya jam delapan sudah tidur. Saya dan istri nggak tega juga melarang dia, apalagi kebetulan sekolahnya lagi libur. Lama-lama, jadi tertarik juga saya. Setelah dua minggu berjalan, justru saya yang selalu mengikuti setiap pertandingan. Sedangkan Izalnya sendiri lebih sering tidur di depan TV, meskipun awalnya niat mau nonton.
Terakhir saya mengikuti world cup adalah saat main di Meksiko. Entah tahun berapa. Mungkin 1986. Setelah itu, nggak pernah mengikuti. Malas rasanya. Apalagi mainnya selalu malem, jam dua.
Yang menyenangkan dari tontonan olah raga ini adalah adanya contoh-contoh yang bagus untuk ditiru. Kerja sama, sportifitas, kepatuhan terhadap wasit maupun peraturan, beda jauh dengan yang terjadi di negara ini. Justru saya ikut berkaca-kaca ketika melihat mereka menangis karena timnya kalah. Bergembira saat mereka berlarian setelah membuat gol di gawang lawan, berpelukan dengan teman tim. Dan hal lain, ternyata, menurut hasil penelitian terbaru dari Mental Health Foundation piala dunia membuat kaum pria menjadi makin mesra.
Tontonan yang sangat menghibur sebagian besar penduduk dunia ini sudah selesai. Acara yang sama akan digelar empat tahun lagi, 2010 di Afrika Selatan.
Indonesia kapan ya?