Ada kalanya orang yang bukan siapa-siapanya kita menjadi bagian kisah mengesankan dari kehidupan kita. Seperti nenek yang satu ini. Dia bukan keluarga, juga bukan saudara, tetapi keberadaannya telah menghiasi perjalanan cinta saya dan istri.
Ketika ditanya orang lain tentang usia, dia menjawab 185 tahun. Namun dia bilang 85 tahun saat saya yang tanya. Entah mengapa dia memberikan jawaban yang berbeda seperti itu. Dalam usianya yang begitu sepuh, yang membuat saya kagum adalah kemampuan pendengarannya yang masih sangat prima. Apa yang ditanyakan orang lain dia bisa menjawabnya dengan baik dan benar. Obrolan yang dilakukan dengannya bisa berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan apapun. Itu artinya dia dapat mendengar dengan jelas apa yang disampaikan lawan bicaranya.
Saya memanggilnya De Waroh. De yang bermakna “besar” adalah salah satu jenis sapaan yang digunakan di kampung saya untuk orang seumuran atau lebih tua dari orangtua kita. Sapaan tersebut dipakai sebagai bentuk penghormatan. De Waroh ini merupakan saksi hidup bagi perjalanan cinta saya dan istri semenjak kami berdua belum menikah hingga sekarang memiliki dua anak remaja. Dia tahu persis perjalanan keluarga saya.
Dulu ketika saya masih “PDKT” terhadap calon istri saya, dia selalu menyapa dan mengajak berbicara dengannya setiap kali calon istri saya itu datang. De Waroh memang terkenal banyak bicara. Di mata saya, dia bukan hanya sekedar banyak bicara tetapi juga orang yang ramah. Hal itu terus berlangsung hingga sekarang, meski tubuhnya sudah begitu renta.
De Waroh tinggal berseberangan dengan saya meskipun rumahnya tidak persis berhadap-hadapan. Di rumah itu dulu dia tinggal bersama suami dan kelima anaknya. Di depannya terdapat pohon jambu air yang saya sering ikut mencicipi saat sedang berbuah. Dia dan salah satu anak perempuannya membuka warung es, rujak dan pecel yang saya juga sering jajan untuk menikmati pecel kesukaan saya. Seiring berjalannya waktu, satu persatu anaknya tumbuh dewasa dan mulai menikah. Mereka kemudian pindah ke rumah mereka masing-masing. Salah satu dari kelima anaknya yang merupakan teman sepermainan saya meninggal saat berlayar di tengah lautan dan jenasahnya hilang ditelan gelombang. Hingga pada akhirnya, De Waroh tinggal hanya berdua bersama suaminya.
Beberapa tahun kemudian, suami De Waroh meninggal dunia. Dia kemudian menikmati hidupnya sendirian. Rumah yang dulu dia tinggali bersama suami dan anak-anaknya sekarang dia tempati sendiri. Rumahnya tidak banyak berubah. Bentuknya masih seperti ketika saya anak-anak. Sementara itu, rumah di sekitarnya sudah banyak berubah hingga saya sendiri merasa asing. Setiap melihat rumah De Waroh, pikiran saya selalu melayang ke masa kecil saat jalan di depan rumah masih berupa batu dan tanah, belum diaspal seperti sekarang. Setiap bertemu dia, tidak jarang bayangan anak perempuannya yang cantik yang dulu menjadi daya tarik setiap pembeli untuk datang ke warungnya melayang jelas di pelupuk mata. Penyebabnya adalah karena nama anak perempuannya yang cantik itu hanya beda huruf depannya saja yaitu Saroh. Saya termasuk salah satu yang mengagumi kecantikan Saroh ini. Kekaguman seorang anak-anak kepada wanita dewasa.
Sekarang, kekaguman saya itu telah tergantikan dengan hadirnya wanita cantik, jauh lebih cantik dari Saroh anak De Waroh. Bagi wanita rupawan yang sekarang menjadi pendamping hidup saya ini, De Waroh adalah wanita luar biasa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan kehidupan cintanya. Selain itu, bagi saya, De Waroh merupakan bagian dari kehidupan masa kanak-kanak hingga dewasa saya.
Sumber gambar: koleksi pribadi