Ngobrol Itu Terapi

0
119

Selalu menyenangkan bila bertemu adik ipar yang satu ini. Meskipun berbeda suku, banyak hal yang nyambung. Banyak kesamaan dalam memandang dan menyikapi hidup. Meskipun demikian, saya tidak bisa sering-sering bertemu karena tempat tinggal kami berjauhan.

Namun setiap kali berhasil berkumpul, perbincangan selalu mengalir dengan lancar seperti air kran yang bocor, tidak bisa dihentikan dan kadang bikin banjir. Yang paling menarik, kami berdua memiliki kegemaran yang sama dalam hal-hal yang dianggap kebanyakan orang sebagai buang-buang waktu. Padahal, menurut kami, justru inilah yang membuat hidup terasa lebih berbobot ketimbang sibuk ngurusi drama tetangga atau status media sosial orang lain.

HOBI YANG DIANGGAP KUNO

Di era di mana orang lebih suka menonton video TikTok berdurasi 15 detik ketimbang membaca paragraf yang terdiri dari 3 kalimat, kami berdua masih setia dengan buku. Bukan karena ingin terlihat intelektual atau sok pintar, melainkan karena memang sudah ketagihan sejak kecil. Seperti perokok yang susah berhenti, kami susah lepas dari buku.

Adik ipar saya, yang kebetulan adalah suami dari adik perempuan saya, memang tidak punya perpustakaan pribadi seperti saya yang koleksinya sudah menjulang seperti menara Pisa dan sama condongnya juga karena disusun sembarangan. Tapi dia tetap suka membaca. Bedanya, dia lebih selektif dan praktis dalam memilih bacaan. Sementara saya sering impulsif membeli buku yang ujung-ujungnya menumpuk tanpa dibaca, dia lebih bijak memanfaatkan setiap rupiah dalam membeli buku.

Ada kalanya muncul anggapan, entah dari keluarga sendiri atau orang lain, bahwa membaca buku itu buang-buang waktu. Seolah membaca buku adalah aktivitas yang hanya boleh dilakukan oleh orang yang hidupnya tidak ada kerjaan lain.

Padahal, justru dari buku-buku itulah kami belajar bahwa kebanyakan drama hidup yang dialami orang sebenarnya sudah pernah ditulis oleh penulis-penulis zaman dahulu. Tidak ada yang baru di bawah matahari, kata pengkhotbah. Jadi, alih-alih panik menghadapi masalah, kami lebih suka membaca bagaimana tokoh-tokoh dalam novel menyelesaikan konflik mereka. Lebih efisien dan tidak bikin darah tinggi.

Diskusi buku antara kami bisa berlangsung berjam-jam. Mulai dari membahas karakter yang menyebalkan dalam novel tertentu, sampai mengkritik pelintiran cerita yang dipaksakan. Kami sepakat bahwa kebanyakan buku best seller zaman sekarang kualitasnya seperti makanan cepat saji, enak sesaat tapi tidak bernutrisi. Tapi ya sudahlah, selera orang beda-beda. Yang penting kami masih bisa menikmati bacaan yang lebih berbobot, meskipun dianggap kolot oleh generasi yang perhatiannya hanya bertahan 3 detik.

TERAPI MURAH

Selain membaca, kami berdua juga gemar menulis. Bukan karena bermimpi jadi penulis terkenal atau berharap kaya dari royalti buku, melainkan karena menulis adalah cara kami memuntahkan segala keluh kesah tanpa perlu membayar tarif konsultasi psikolog yang selangit.

Adik ipar saya tidak menulis puisi seperti yang mungkin dibayangkan orang, tapi dia sering membuat catatan tentang berbagai kejadian dalam hidupnya. Kebiasaan ini dia warisi dari almarhum papanya yang ternyata juga rajin mencatat berbagai peristiwa penting maupun sepele. “Papa dulu selalu bilang, ingatan manusia itu terbatas, tapi tulisan bisa abadi,” katanya. Saya berharap suatu saat adik ipar saya ini menunjukkan buku catatan lama papanya yang masih tersimpan rapi.

Saya sendiri lebih variatif dalam menulis. Dulu, semasa remaja, saya rajin menulis di buku harian, lengkap dengan kunci gembok kecil karena takut dibaca orang lain. Sekarang, platform sudah berubah. Media sosial dan blog menjadi tempat saya menuangkan berbagai pemikiran, mulai dari yang serius sampai yang receh. Kadang nulis esai panjang tentang fenomena sosial, kadang cuma status singkat yang isinya keluhan tentang macet atau cuaca.

Yang mengasyikkan, kami sering saling bertukar cerita tentang apa yang kami tulis. Dia bercerita tentang berbagai kejadian unik yang dia catat, sementara saya berbagi konten blog atau status media sosial yang mendapat respons menarik. Kritik dan saran dari dia selalu jujur tapi tidak menyakitkan, seperti dokter yang menyuntik dengan lembut.

Ada perbedaan menarik dalam gaya menulis kami. Catatan-catatan dia cenderung faktual dan kronologis, seperti wartawan yang meliput kehidupan sendiri. Sementara tulisan saya lebih ekspresif dan kadang dramatis, karena memang ditujukan untuk dibaca orang lain. Tapi pada dasarnya, kami sama-sama menggunakan tulisan sebagai cara untuk memproses pengalaman hidup.

Menulis juga membuat kami bisa mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap berbagai hal tanpa perlu beradu argumen di media sosial. Daripada capek debat dengan orang yang otaknya sudah tertutup rapat seperti toples kerupuk, lebih baik tuangkan dalam tulisan. Biar yang baca yang menilai sendiri, setuju atau tidak.

Ironisnya, meskipun hobi menulis, kami berdua tidak pernah berniat menjadi penulis profesional. Bukan karena tidak percaya diri, tapi karena tahu betul bahwa dunia penerbitan Indonesia masih suka yang laku dijual ketimbang yang berkualitas. Untuk apa memaksakan diri menulis sesuai selera pasar kalau ujung-ujungnya jiwa kita yang tersiksa?

SENI YANG TERLUPAKAN

Kesamaan lain yang cukup mengejutkan adalah kegemaran kami terhadap pekerjaan kayu dan pertukangan. Di zaman serba digital ini, kemampuan membuat sesuatu dengan tangan sendiri rasanya seperti tenaga super yang langka. Kami berdua merasa ada kepuasan tersendiri ketika bisa menciptakan sesuatu yang berguna dari bahan-bahan sederhana.

Kegemaran ini mungkin sudah mengalir dalam darah. Adik ipar saya jago bikin berbagai macam furnitur dan perkakas dari kayu. Rak buku, meja kecil, kursi, bahkan lemari sederhana, semuanya dibuat sendiri dengan peralatan seadanya. Tidak mewah memang, tapi fungsional dan awet. “Daripada beli perkakas mahal yang ujung-ujungnya rusak juga dalam beberapa tahun,” katanya sambil menunjukkan karyanya yang sudah berumur tahunan tapi masih kokoh.

Saya sendiri juga menyukai pekerjaan kayu, meskipun tidak seahli dia. Lebih sering membuat barang-barang kecil seperti kotak penyimpanan, tempat alat tulis, atau rak sederhana. Ada sesuatu yang menenangkan dari proses memotong, mengamplas, dan menyusun potongan-potongan kayu menjadi bentuk yang diinginkan. Seperti meditasi, tapi hasilnya bisa dipakai.

Selain pekerjaan kayu, dia dan saya juga suka oprek-oprek elektronik dan perbaikan rumah. Lampu mati, keran bocor, stop kontak rusak, semua saya coba betulkan sendiri dulu sebelum panggil tukang. Bukan pelit, tapi ada rasa puas tersendiri ketika berhasil memperbaiki sesuatu dengan tangan sendiri. Seperti memenangkan pertarungan melawan energi alam semesta.

Kami sering bertukar tips dan trik dalam mengerjakan berbagai proyek. Dia lebih ahli dalam hal finishing dan detil halus, sementara saya lebih berani bereksperimen dengan desain yang tidak biasa.

Di era konsumerisme ini, orang sudah terbiasa membeli segalanya dalam keadaan jadi. Tidak ada lagi kepuasan menciptakan sesuatu dari nol atau memperpanjang umur barang yang rusak. Semua serba instan, serba gampang, tapi juga serba tidak bermakna. Kami merasa beruntung masih memiliki kegemaran yang kuno ini, karena membuat kami lebih menghargai proses dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi masalah.

URUSAN ORANG LAIN BUKAN URUSAN SAYA

Kesamaan yang paling berharga antara kami adalah sikap tidak peduli dengan urusan orang lain. Bukan berarti tidak punya empati atau tidak mau membantu ketika diminta, tapi lebih kepada tidak ikut campur dalam drama-drama yang tidak perlu. Dalam bahasa Jawa, kami berdua punya prinsip “ora usah nggagas sing ora ana gunane”, tidak perlu pusing dengan hal-hal yang tidak berguna.

Di grup WhatsApp keluarga, ini tidak pernah terjadi tapi jika ada, misalnya ada yang forward berita hoaks, gosip artis, atau keluhan tentang tetangga, kami berdua pasti cuma jadi penonton. Tidak ikut komentar, tidak ikut menyebarkan, tidak ikut terpancing emosi. Bukan karena tidak tahu atau tidak peduli, tapi karena sadar bahwa ikut nimbrung dalam obrolan seperti itu hanya akan menghabiskan energi tanpa memberikan manfaat apa-apa.

“Lihat saja orang-orang yang suka ikut campur urusan orang lain,” kata adik ipar suatu kali. “Hidupnya selalu penuh drama dan stres. Masalah sendiri belum selesai, eh malah nyari masalah baru.” Saya setuju banget. Hidup sudah cukup rumit dengan masalah kita sendiri, untuk apa ditambah lagi dengan masalah orang lain yang belum tentu mau kita bantu selesaikan?

Sikap ini kadang membuat kami dianggap cuek atau tidak peduli lingkungan. Padahal, kami peduli, tapi dengan cara yang berbeda. Alih-alih ikut nimbrung gosip tentang tetangga yang bercerai, lebih baik diam-diam bantu anak-anak mereka yang mungkin terdampak. Alih-alih ikut nyinyir tentang kebijakan pemerintah di media sosial, lebih baik fokus pada hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki lingkungan sekitar.

Kami sadar bahwa ada batas-batas yang perlu dijaga dalam berinteraksi dengan orang lain. Tidak semua orang mau dibantu, tidak semua masalah perlu dikomentari, dan tidak semua drama perlu ditonton. Kadang, kebaikan terbesar yang bisa kita lakukan adalah membiarkan orang lain menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa intervensi yang tidak diminta.

NEGERI HANTU

Ketika berada di Yogyakarta, saya sengaja menghubungi seorang sahabat yang sutradara. Tahunan kami tidak berjumpa. Di sebuah tempat ngopi yang tenang dan lapang bernama Antologi Collaboractive Space kami bertemu. Sambil menikmati kopi, obrolan seperti yang biasa dilakukan di teras rumah saya yang dijuluki #KandangKambing dulu terjadi lagi. 

Topik obrolan beragam, mulai dari A sampai Z. Salah satunya perihal film di negeri ini yang jadi ranah kepakarannya. Betapa memprihatinkannya rakyat ini dicekoki film beracun yang mendangkalkan nalar tetapi mereka mandah saja. Film hantu-hantuan yang pernah saya sebut sebagai upaya pembodohan penontonnya di tulisan berjudul Linimassa 2 dan Suster Ngesot tak luput dari obrolan malam itu. Pilihan antara upaya untuk membuat dapur tetap ngebul atau membuat film idealis yang tidak laku, memaksa kita memaklumi mereka membuat film yang sejatinya adalah sarana pembodohan massal. Bagi saya pribadi, dalam kasus ini, alasan demi dapur ngebul adalah sebentuk topeng kerakusan dan keegoisan. Juga, saya tidak mau memakluminya.

Saat obrolan dengan sahabat saya yang sutradara ini saya sampaikan ke adik ipar saya di lain waktu, dia mengakuri. Dia juga tidak suka dengan film yang membebalkan ini sekaligus juga tidak berdaya mencegah kaum bebal berbondong-bondong ke bioskop untuk melestarikan kebebalannya. Bioskop yang menawarkan banyak pilihan film hantu baru setiap saat memang menggiurkan bagi mereka. Ibarat tukang makan datang ke warung yang setiap saat menyajikan menu baru. Ironisnya, meskipun tahu bahwa yang disuguhkan beracun, tetap saja ditelan.

BERKAH

Kesamaan-kesamaan ini membuat setiap pertemuan dengan adik ipar terasa menyegarkan. Di tengah dunia yang semakin riuh dengan berbagai opini dan drama, bertemu dengan seseorang yang memiliki frekuensi yang sama rasanya seperti menemukan oasis di tengah padang pasir. Tidak perlu berpura-pura atau menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain.

Kami bisa berbincang tentang buku tanpa khawatir dianggap sok pintar. Bisa saling berbagi tulisan tanpa takut dikritik habis-habisan. Bisa pamer hasil karya tangan tanpa dianggap pamer. Dan yang paling penting, bisa diam-diam mengamati drama orang lain tanpa merasa bersalah karena tidak ikut nimbrung.

Dalam era di mana semua orang berlomba-lomba menjadi yang paling vokal, paling kekinian, dan paling tahu segalanya, kami memilih untuk menjadi penonton yang bijak. Tidak semua pertunjukan perlu ditonton, tidak semua suara perlu didengar, dan tidak semua opini perlu ditanggapi. Kadang, ketenangan hidup justru didapat dari kemampuan memilih kapan harus peduli dan kapan harus cuek.

Meskipun tempat tinggal kami berjauhan, kesamaan prinsip hidup membuat jarak tidak terasa sebagai penghalang. Setiap kali berhasil bertemu, kami selalu punya banyak hal untuk dibicarakan. Dan setiap kali berpisah, kami selalu menantikan pertemuan berikutnya dengan perasaan yang sama, senang karena masih ada orang yang memahami cara pandang kita terhadap hidup ini.

Pada akhirnya, memiliki seseorang yang memahami keunikan kita adalah berkah yang tidak ternilai. Tidak peduli seberapa aneh hobi kita di mata orang lain, yang penting ada yang mengerti dan menghargai. Dan kalau kebetulan orang itu adalah adik ipar, itu adalah bonus tersendiri karena tidak perlu repot-repot mencari teman baru. Satu lagi, tidak harus dengan adik ipar, ngobrol dengan kambing pun bisa jadi terapi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here