Pernah ketemu orang yang menjengkelkan? Kalau pernah, pasti anda bisa bercerita bagaimana rasanya. Marah, gondok, sebel, macam-macam. Tapi mungkin kita selayaknya berterima kasih terhadap orang-orang seperti ini. Berkat dia, kita bisa mempunyai contoh yang baik bahwa orang dengan sifat dan sikap yang menjengkelkan seperti itu dapat membuat orang lain empet. Artinya, kita diberi pelajaran untuk tidak berbuat seperti apa yang dia lakukan karena kita tahu akibatnya. Kita ngerti apa yang dirasakan orang lain karena kita pernah merasakannya.
Orang menjengkelkan ini bisa datang dari mana saja. Tidak terkait dengan jenjang pendidikan, status sosial, agama, jenis kelamin, maupun suku. Bukan jaminan orang yang berpendidikan baik tidak akan berperilaku menjengkelkan. Pun, mereka yang berasal dari suku yang terkenal ramah bisa saja menjadi orang yang menyebalkan berbeda dengan orang lain sesuku pada umumnya. Setali tiga uang, agama yang mengajarkan kebaikan budi pekerti kadang-kadang belum bisa menjadikan pemeluknya seperti yang tertuang dalam ajarannya.
Berkumpul dan bermasyarakat memang memerlukan ketrampilan. Selain itu, juga merupakan sebuah seni. Kita tidak bisa berperilaku dalam masyarakat sebagaimana yang kita maui apabila ingin diterima oleh lingkungan. Masing-masing manusia diciptakan unik. Setiap orang tidak bisa diperlakukan sama seperti sekumpulan ayam dalam sebuah peternakan ayam potong. Harus ada perilaku berbeda untuk orang yang berbeda. Diperlukan suatu ketrampilan khusus untuk bisa hidup dan berkumpul dalam masyarakat agar bisa diterima dengan baik. Orang-orang Padang yang merupakan salah satu suku perantau memiliki pepatah yang selalu ditekankan kepada anak-anak mereka yang pergi keluar daerahnya, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Mereka memiliki pepatah ’tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua’. Pepatah tersebut memiliki makna yang sangat dalam yang mengajarkan orang-orang Padang menyiasati kehidupan bermasyarakat agar bisa diterima lingkungannya. Ada satu lagi pepatah yang diberikan sebagai bekal, ’lai jan dimakan, indak baru dimakan’. Sebuah ajaran yang mengajak berhemat, karena pepatah tersebut mengajarkan supaya menyimpan apa yang sudah dimiliki dan akan menggunakannya ketika sudah tidak ada yang lain. Kalau anda orang Padang, pasti tahu betul kedua pepatah tersebut.
Saya rasa, semua suku di manapun berada pasti memiliki nilai-nilai kehidupan bermasyarakat yang bernilai tinggi, sebagaimana panduan yang dimiliki oleh suku Padang di atas. Meskipun demikian, tetap saja muncul orang-orang yang menjadi duri dalam daging bermasyarakat. Orang-orang yang sulit. Bukan karena masyarakatnya yang tidak mau menerima, melainkan karena memang perilaku mereka sendiri yang menjadikan lingkungan menolaknya. Mereka memang kelompok orang-orang yang menjengkelkan.
Saya pernah ketemu dengan manusia dari jenis yang mampu membuat orang lain jadi jengkel, tidak penting dia itu pria atau wanita, agamanya apa, kaya atau miskin, sarjana atau bukan, yang jelas banyak orang yang tidak menyukainya. Kalau menuruti keinginan, barangkali bisa terjadi keributan atas perbuatan yang dia lakukan. Mungkin bukan cuma saya, orang lain pun akan merasakan hal yang sama sebagaimana yang saya rasakan. Karena masih menghargai dia sebagai manusia saja yang menjadikan saya tidak mengambil tindakan lebih jauh, mempermalukannya di muka umum misalnya. Saya hanya berharap mudah-mudahan dia tahu bahwa perbuatannya itu membuat orang lain jengkel. Kalau di Jawa (Tengah), orang-orang yang menjengkelkan seperti ini disebut dengan orang-orang yang nggatheli.