Menguji Kesaktian

0
1613

Dengar-dengar dan juga kebetulan saya pernah lihat sebuah acara di salah satu stasiun televisi, katanya, 1 Juni itu hari lahirnya Pancasila (Sakti?). Emang betul? Keterlaluan banget ya saya bertanya seperti itu? Anda boleh mengatakan saya ini orang Indonesia murtad. Saya kadang memang merasa seperti itu. Sebagai orang yang mengaku Indonesia asli, ada banyak keindonesiaan yang tidak saya ketahui, atau lebih tepatnya tidak saya pahami.

Anda setuju bila ada yang bilang Pancasila sakti? Terus di mana kesaktiannya? Coba kita lihat dan teliti sila-sila yang dia miliki satu persatu. Hafal kan lima dasar yang dimiliki Pancasila? Namanya juga Pancasila, pasti silanya ada panca. Ya, panca itu lima, sila artinya dasar. Baiklah, mari kita amati masing-masing sila itu dan kita cocokkan dengan segala sesuatu yang terjadi dengan bangsa yang menjadikannya sebagai falsafah ini. Bila cocok, berarti kita harus mengakui bahwa falsafah yang ada dalam lambang negara kita ini yang, sekali lagi, katanya, lahir di awal Juni, memang benar-benar sakti.

Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah pasti kita percaya dan meyakini tuhan itu esa (satu). Dan itu tidak perlu kita perdebatkan. Sudah jelas dan pasti kok. Bila ada yang punya keyakinan tuhannya lebih dari satu, ya biarin saja nggak usah dipikirin. Itu urusan mereka. Yang perlu kita amati di sini adalah kata Ketuhanan dalam sila itu. Memang anda yakin bangsa ini memiliki tuhan bila, misalnya, seorang pejabat negara datang ke paranormal agar nantinya bisa diangkat menjadi menteri? Bagaimana dengan kasus lama tentang menteri agama yang mengacak-acak Istana Batutulis yang gara-garanya karena mendapat wangsit bahwa ada harta karun terpendam di bawah istana yang dibangun di masa kekuasaan presiden Soekarno itu?

Konsep ketuhanan dalam agama-agama yang ada di negeri ini saya yakin sama. Artinya, agama apapun memiliki something, itu kalau boleh diistilahkan seperti itu, yang menjadi sembahannya. Seperti dalam Islam, Allah merupakan dzat (pihak) yang disembah. Namun perlu diketahui, Allah beda dengan tuhan. Bila Allah itu The One & Only, tuhan bisa macam-macam. Rokokpun bisa menjadi tuhan, seperti yang pernah ditulis penyair Taufik Ismail dalam sebuah sajaknya. Tuhan yang bentuknya beraneka ragam ini akhirnya bisa berujud hantu. Coba anda ucapkan dengan cepat kata tuhan, maka akan kedengaran kata hantunya. Dan bisa jadi saat berhenti, kata terakhir yang anda ucapkan adalah hantu. Itulah yang terjadi. Buat sebagian kita, bahkan yang mengaku beragama, hantulah yang dipertuhan dan, hantu lebih menakutkan dibandingkan tuhan. Inikah kesaktian sila pertama Pancasila bagi bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang berketuhanan?

Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Emang benar, bangsa kita ini manusiawi, adil, dan beradab? Bila ada petugas kelurahan yang memakan raskin (beras untuk orang miskin), apakah itu manusiawi? Saat dana dan sembako bantuan yang harusnya untuk korban bencana tsunami, banjir, dan gempa bumi tetapi kemudian ditilep, di mana rasa kemanusiaannya? Sila itu ternyata tidak sakti lagi. Bangsa kita akan menjadi manusiawi bila menyangkut diri sendiri dan keluarganya, bukan orang lain, meskipun sebangsa dan setanah air. Saya rasa sila kedua itu akan cocok bila berbunyi Kemanusiaan yang suka ngutil dan biadab. Bagaimana, setuju?

Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Anda percaya bangsa kita ini bersatu? Anda setuju bila saya katakan persatuan di negeri ini hanyalah sebuah utopia bila kebijakan yang diterapkan tidak mengarah ke sana atau para pelakunya tidak menjalankannya dengan baik dan benar? Saya yakin anda masih ingat peristiwa biadab Mei 1998, genosida di Sampit, kerusuhan di Poso, kebrutalan di Ambon, dan tawuran yang melibatkan warga di wilayah-wilayah lain. Mana bisa disebut bersatu jika sesama saudara saling perkosa dan bunuh-bunuhan.

Saya tidak menyangkal bila dikatakan hanya melihat hal-hal negatif yang terjadi di tempat tertentu saja yang sifatnya lokal. Saya setuju dengan penilaian anda. Peristiwa tersebut memang hanya berskala lokal, artinya tidak terjadi di seluruh wilayah kekuasaan NKRI. Dan saya juga setuju bahwa peristiwa-peristiwa itu tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menyimpulkan tidak adanya persatuan di Indonesia. Tapi anda akan berpikiran lain, jika anda berada di wilayah konflik itu. Anda akan menganggap persatuan Indonesia hanyalah sila omong kosong seandainya anda atau keluarga anda adalah korban kerusuhan Mei yang traumatis itu.

Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kita ini mempunyai lembaga tinggi negara berupa MPR dan DPR untuk tingkat pusat dan DPRD untuk wilayah daerah yang katanya menjadi kepanjangan kita. Apakah anda merasa mereka mewakili suara anda? Saya kok tidak merasa seperti itu. Yang saya rasakan kok malah justru sakit hati dan merasa dikhianati. Bagaimana tidak? Di saat harga kebutuhan pokok terus membumbung, mereka yang mengaku anggota dewan yang terhormat malah menuntun kenaikan gaji dan tunjangan yang menurut mereka masih wajar (dalam otak mereka). Mereka masih berusaha menyusun rencana kerja yang sebenarnya lebih banyak senang-senangnya daripada kerjanya dengan melakukan studi banding dan program-program lain yang sebenarnya hanya jalan-jalan belaka.

Kepemimpinan yang dijalankan dan ditunjukkan saat ini seperti awan di langit. Secara fisik mereka ada dan terlihat. Namun mereka jauuuhhh… di awang-awang dan tidak membumi. Rakyat tidak merasakan manfaatnya. Justru yang diterima adalah hujan lebat yang kemudian menjadi bencana banjir saat awan itu berubah menjadi mendung hitam. Atau, awan itu menjadi penghalang hangatnya sinar matahari pagi. Ada kalanya rakyat dibawa-bawa hanya sekedar sebagai sarana memperoleh kekuasaan. Begitu kekuasaan teraih, hanya kepentingan pribadi dan kelompoknya saja yang diutamakan. Itukah yang dimaksud dengan kesaktian dari sila keempat dalam Pancasila?

Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berita terbaru yang dilansir media belakangan ini adalah bantuan langsung tunai atau BLT. Program ini dibuat untuk meringankan beban rakyat yang makin berat dengan naiknya bahan bakar minyak. Sesederhana itukah? Apakah itu yang disebut dengan keadilan sosial?

Saya pernah menyinggung bantuan yang sebenarnya ditujukan untuk rakyat miskin itu dalam tulisan Siapa yang Miskin?. Ternyata dalam prakteknya, ada orang-orang yang tidak berhak dan tergolong mampu yang justru menerima bantuan itu. Ironis. Sudah pasti bukan ini yang dimaksud keadilan sosial oleh Pancasila. Bahkan yang namanya adil kadang harus dibeli. Anda bisa saksikan bagaimana sengsaranya seseorang yang mencari keadilan di lembaga hukum yang harus mengeluarkan banyak uang dalam memperjuangkannya.

Tanpa menafikan hal-hal positif, tulisan ini sengaja mengulas tentang kepincangan-kepincangan yang terjadi dalam penerapan dasar dan falsafah negara yang disebut Pancasila. Jika Pancasila itu dianggap sakti, dari segi mana kesaktian itu dilihat. Dalam hati umat manusia yang beragama, ada keyakinan bahwa hidup kita ini dijamin oleh Sang Pencipta. Kita harus percaya itu. Namun, dalam kehidupan bernegara, pemerintahlah yang seharusnya menjamin kelangsungan hidup rakyatnya. Bila pemerintah yang menjadi gantungan hidup rakyat ini justru mengeluarkan kebijakan yang tidak mempedulikan hajat hidup rakyat, terus harus kemana lagi rakyat Indonesia ini mesti bergantung? Jika kita ini disuruh gelantungan di pohon, itu kan sudah hak ekslusifnya nyemot. Masa kita harus berperilaku seperti itu juga? Apa mentang-mentang kita ini dianggap primata yang ada kemiripan dengan mahluk-mahluk yang hobi makan pisang dan menjadi teman setia Tarzan dan Si Buta dari Goa Hantu itu? Sakiiiiittttttt… sakit.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here