emokrasi. Buat saya, demokrasi bukan hanya sebatas arti untuk dipahami. Bukan juga istilah yang hanya ada di awang-awang keinginan dan harapan. Akan tetapi, saya harus bisa mewujudkan demokrasi dalam bentuk tindakan yang sebenarnya. Paling tidak, meskipun belum bisa sempurna, saya telah mencoba melaksanakannya.
Karena alasan terkait demokrasi itulah, beberapa waktu yang lalu, saya meminta teman-teman yang kebetulan juga menjadi partner diskusi dalam ruang kuliah Pengantar Manajemen untuk membuat sepucuk surat buat saya. Di mata, hati, dan pikiran saya, mahasiswa saya adalah teman-teman muda saya yang bisa saya jadikan partner dalam demokrasi. Mungkin anda ingin tahu kenapa saya meminta mereka (termasuk Anda?) melakukan tugas itu. Jika Anda menganggap saya narsis, itu salah satu resiko yang sudah saya perhitungkan sebelumnya yang pasti akan muncul. Saya punya multi tujuan untuk penugasan itu, selain mengejawantahkan demokrasi. Yang perlu saya sebutkan di sini barangkali cukuplah dua.
Pertama, saya sedang berusaha mengkonkritkan benda abstrak yang bernama demokrasi. Sebagaimana makna demokrasi, yang namanya kegiatan yang melibatkan banyak orang (belajar di kelas) sudah seharusnya mengakomodir apa yang ada dalam kepala dan hati dari semua pihak yang terlibat. Tidak gampang memang. Setidaknya, meskipun tidak semua, sebagian besar dari mereka cukuplah. Anda sendiri tentunya akan merasa bergairah kalau yang Anda lakukan memang yang Anda senangi. Kita akan semangat jika target yang kita tuju memang yang kita tetapkan. Dalam tujuan yang pertama ini, saya hanya menginginkan apa yang dilakukan di dalam ruang kuliah merupakan hasil dari campuran keinginan semua atau sebagian besar orang yang terlibat.
Kedua, saya mengajak teman-teman di mata kuliah Pengantar Manajemen ini berlatih menggunakan conceptual skill dalam bentuk sederhana dan mudah. Ketrampilan ini, yang pada dasarnya ada dalam diri semua orang, merupakan salah satu keahlian manajerial yang diwajibkan bagi seorang pemimpin. Saya yakin, suatu saat, Anda pasti berperan sebagai seorang pemimpin. Tidak peduli Anda ini jantan atau betina… eh, laki atau perempuan. Dengan membuat surat, itu merupakan bentuk latihan sederhana dan mudah dalam mengkonkritkan yang abstrak di kepala ke dalam bentuk tulisan. Jika Anda ingin meminimalkan kesalahpahaman dan apa yang Anda inginkan lama diingat serta konsisten, jangan disampaikan secara lisan, tulislah. Sudah, cukup itu saja. Tujuan saya yang lain? Silahkan tebak-tebak sendiri.
Sebagaimana yang pernah saya bilang di ruang kuliah, saya akan jawab semua surat yang saya terima. Ini janji, dan saya harus menepatinya. Barangkali apa yang saya tuliskan di sini tidak menjawab semua pertanyaan dan keingintahuan Anda. Tetapi setidaknya, dan mudah-mudahan, Anda bisa lebih mengerti akan teman kelompok belajar Pengantar Manajemen di kelas Anda ini dari tulisannya yang juga sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam surat Anda. Dengan demikian, kita masih bisa tetap nyambung. Pepatah ‘men sana in corpore sano’ dari Uswati di kelas 1 B yang artinya diplesetkan menjadi ‘saya di sana, dia di sono’ (maksudnya nggak nyambung) bisa coba dihindari.
Dulu, maksudnya sebelum angkatan 11, saya sempat mencurigai jam kuliah sebagai penyebab ngantuk. Saya pikir, karena kuliah setelah makan siang (jam ketiga dan keempat) mereka menjadi ngantuk. Tetapi ketika jam kuliah itu saya ubah pagi, menjadi jam pertama dan kedua, masalah ngantuk di kelas tetap muncul. Dengan demikian, kecurigaan saya tidak benar.
Bagi saya, ngantuk itu hukum alam, manusiawi. Itu hak setiap manusia normal. Jika Anda tidak punya rasa ngantuk, hati-hati, bukan bantal yang Anda butuhkan, tapi seorang dokter. Saya akan merasa menzalimi kalau saya melarang orang lain ngantuk. Jangan berharap Anda bisa menyuruh saya melarang siapapun untuk ngantuk. Jika Anda ngantuk, apapun penyebabnya, itu hak Anda, termasuk di dalam kelas. Yang bisa saya lakukan ketika menemui orang ngantuk adalah dengan menyuruhnya cuci muka (atau barangkali minum kopi?). Bagaimana jika ngantuk lagi? Ya cuci muka lagi. Gitu aja kok repot.
Meskipun ngantuk itu manusiawi, yang perlu Anda perhitungkan adalah risikonya. Kalau di jalan tol, risikonya bisa kehilangan nyawa. Namun ketika ngantuk di dalam kelas, bukan nyawa yang jadi taruhannya, tetapi bisa jadi masa depan hidup Anda. Maksudnya? Begini. Jika kita dalam kondisi ngantuk, apa yang diajarkan di dalam kelas tentu saja tidak bisa diserap sepenuhnya. Konsentrasi kita otomatis akan tidak fokus. Mata yang dipakai untuk melihat juga bisa tidak fokus. Akibatnya, materi yang diberikan tidak dapat dikuasai sepenuhnya. Dengan tidak sempurnanya menguasai materi, risiko akhir terdekat yang kemungkinan diterima adalah nilai yang minimal atau IP yang tidak bisa dibanggakan ke soulmate eh orang lain, ortu khususnya. Di BEC, Anda bisa kena DO. Resiko jauhnya, kita bisa memiliki madesu alias masa depan kita jadi suram. Begimana bisa jadi orang sukses jika pengetahuan saja minim. Jadi, silahkan saja ngantuk, tapi sekali lagi, perlu dihitung-hitung lagi resikonya.
Nah, ngantuk yang tadinya saya curigai ada hubungannya dengan jam kuliah, ternyata salah. Kecurigaan saya sekarang beralih pada OHP (over head projector). Angkatan sebelumnya yang punya keluhan mengantuk saat kuliah juga karena diajar menggunakan proyektor. Bisa jadi, sinar yang dipancarkan akan membuat mata jadi cepat lelah dan menyebabkan mata menjadi berat dan akhirnya ngantuk. Sinar itu juga seperti meninabobokan orang-orang yang ada di dalam ruangan. Selain itu, bila kelas hanya mendengarkan tanpa banyak bertanya, maka sudah pasti kebosanan akan segera muncul. Meskipun kesempatan bertanya sebenarnya sering ditawarkan, sayangnya, tidak semua orang tergerak untuk bertanya. Penyebabnya barangkali karena takut, malas, tidak tertarik, atau bingung tidak tahu mesti tanya apa. Dengan hanya sebagai pendengar dan pengajar terus menerangkan karena tidak ada partisipasi dari kelas maka suasana kelas lambat laun akan jadi monoton. Akibatnya? Sedah bisa Anda tebak, menjadi bosan kemudian ujung-ujungnya, mengantuk.
Hal ini sebetulnya sebuah perkara dilematis bagi saya. Di satu sisi, dengan menggunakan proyektor, ada keuntungan yang bisa saya peroleh. Di antaranya adalah perhatian jadi lebih fokus karena tidak perlu mencatat; praktis, saya tidak perlu berulang-ulang menulis materi yang sama di papan tulis; efektif dan efisien karena waktu yang ada bisa digunakan untuk diskusi dan tanya-jawab, bukan membuat catatan. Namun demikian, di sisi lain, penggunaan proyektor ternyata ada efek negatifnya. Kebosanan, monoton, dan ngantuk adalah dampak yang tidak boleh diabaikan. Apabila kemudian ada usulan supaya diselingi dengan game untuk mengatasinya, saya setuju dengan ide itu. Namun itu hanya solusi temporal. Yang paling manjur sebenarnya adalah partisipasi aktif dari masing-masing anggota kelas. Setuju? Toyiiibbb….
Kalau anda mau tahu, sebenarnya saya pengin punya suara seperti Freddie Mercury, itu tuh vokalisnya kelompok rock band Queen. Dia, katanya, punya suara yang memiliki tingkatan tujuh oktaf. Dengan suara beroktaf tujuh, ngomong pelan sudah cukup jelas terdengar. Saat beberapa surat yang saya terima mengatakan suara saya terlalu merdu untuk mengatakan terlalu pelan, saya mau nggak mau harus mau mengakui. Saya sadar suara saya memang bukan suaranya si Freddie yang tujuh oktaf. Mau operasi ganti suara sapi, entar malah melenguh. Gimana coba?
Pernah dengar lagunya Raihan yang judulnya Senyum? Meskipun saya beberapa kali dengar lagu itu, ternyata di mata orang lain, kadang saya terlihat mahal senyum. Kenapa ya? Jujur saja, saya sendiri nggak ingin memberi kesan sebagai orang yang sombong. Makanya saya selalu berusaha untuk sering-sering tersenyum. Kadang-kadang saya berpikir kenapa ya kok tidak ada obat yang bikin orang itu selalu tersenyum begitu ketemu dengan orang lain, jadi semacam sensor otomatis. Pemicunya bisa saja kontak mata misalnya. Begitu mata saling bertatapan, terus jadi tersenyum tanpa disadari.
Tapi repot juga ya kalo siapapun diajak senyum? Nggak apa-apa juga sih kalaupun seperti itu, tapi kan jadi gimana gitu. Bisa-bisa entar dikatain SKSD, sok kenal sok dekat. Lebih parah lagi dikatain gila. Berat juga risikonya. Walaupun begitu, percayalah, saya susah senyum bukan karena arogan tapi kayaknya saya harus lebih banyak latihan di muka cermin setiap bangun tidur untuk belajar tersenyum. Senyum ramah tentu saja, bukan sinis.
Hal lain, sebenarnya saya malu dengan munculnya banyak eh nggak banyak ding sanjungan yang ditulis dalam surat-surat yang saya terima. Saya tidak mempermasalahkan sanjungan itu benar-benar come out from the bottom of heart atau sekadar fake and lip service alias palsu dan sekadar basa-basi serta buat nyeneng-nyenengin doang. Pujian yang diberikan macam-macam. Namun yang cukup melegakan dan ini saya anggap hal positif yang perlu dipertahankan dan terus ditingkatkan adalah adanya sebagian orang yang menyatakan cara saya menyusun dan menyampaikan materi cukup atraktif, mudah diingat, dan mudah diterima. Selain itu, ada yang mendukung dengan digunakannya proyektor. Alasannya, mereka jadi jarang menulis, cukup duduk dan memperhatikan. Bisa jadi ada dua kemungkinan penyebabnya.
Pertama, karena dia malas nulis. Dasar pemalas! 😉 Yang kedua karena tulisannya jelek dan menjijikkan sehingga malu jika terlihat temannya (kayaknya ngaco ya yang ini?). Ada juga surat yang membuat saya geli. Si penulis ngotot agar saya tidak boleh mengubah cara-cara saya mengajar selama ini. Dia merasa sudah enjoy dengan cara saya. Jika diganti dia ngancam akan ngaduk-aduk sepiteng (septic tank) – becanda ding, bukan beneran.
Memang tidak gampang, malah tidak mungkin, bisa menyenangkan atawa memuaskan semua orang. Kalau menggunakan bahasa pedagang telur bebek, dalam sekeranjang telur selalu ada yang retak. Dalam setiap kelas, pasti ada yang puas dan tidak puas. Yang penting barangkali, okelah ada telur yang pecah tetapi sebagian besar yang lain masih utuh dan bagus. Jika saya tidak bisa memuaskan seluruh mahasiswa, itulah keterbatasan saya. Setidaknya, dan saya terus berusaha, bagaimana mayoritas bisa puas, tidak ngantuk, tidak bosan, tidak merasa monoton terhadap apa yang sedang saya coba sampaikan. Dengan demikian, apa yang disampaikan di dalam kelas, bisa semakin banyak yang dipahami, diingat dan diserap meskipun mata kuliah Pengantar Manajemen banyak hafalannya.
Pengantar Manajemen memang banyak teorinya dan otomatis banyak hafalannya. Karena itu, tidak heran jika ada yang mengeluh, terutama yang lemah ingatan (bukan ayan lho). Karena saking banyaknya yang perlu dihafalkan sehingga banyak juga yang lupa. Jadi ada benarnya pepatah yang ditulis Ali anak kelas 1 E, “Banyak menghafal banyak lupa, sedikit menghafal sedikit lupa, tidak menghafal tidak ada yang lupa.” Tetapi, perlu hati-hati juga, apabila menganut pepatah itu kemudian tidak mau banyak menghafal agar tidak banyak yang lupa, bisa-bisa kita malah takut untuk belajar. Mungkin yang lebih baik kita ikuti pepatah, “Semakin banyak yang kita pelajari semakin banyak yang kita dapat.” Dengan membaca kita memperoleh 10% pengetahuan dari buku yang kita baca, maka 10% itu akan bertambah menjadi besar nilainya apabila semakin banyak buku yang kita baca. Percaya tidak?
Akhir Tulisan Demokrasi
Nah, sampai di sini saja. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi jawaban bagi yang ingin dijawab dan menjadi bahan renungan buat yang ingin merenung. Semoga pula niat saya mempraktikkan demokrasi bisa dirasakan. Jika anda puas, itu yang saya harap. Bila tidak puas, carilah angkot yang lewat. Jaka Sembung gerah, gak nyambung ah! See you mannnn…
Sumber gambar: di sini