Pak Harto meninggal hari Minggu (27/1), jam 13.10 wib. Berarti kepergiannya sudah 18 hari. Namun, masih saja ada yang mengucapkan bela sungkawa, sampai hari ini (13/2).
Anda sedih dengan kepergian pak Harto? Jika anda lawannya, mungkin anda akan mengadakan syukuran. Nyukurin meninggalnya lawan yang anda benci itu. Sebaliknya, barangkali airmata anda akan terkuras sampai kering bila anda termasuk anggota FBPH, fan berat pak harto.
Proses pemakaman yang menyedot perhatian bangsa Indonesia maupun, mungkin, dunia menjadikan babe kita ini berada dalam posisi VVIP, very very important person. Manusia kelas satu yang sangat diutamakan. Bila melihat beritanya, yang hiduppun yang notabene juga pengikut setianya sampai dikalahkan oleh yang sudah mati. Tentu saja bukan si mati yang mengalahkan secara langsung. Anda tahu maksud saya.
Bisa dibilang, saya termasuk rakyat jelata Indonesia yang pernah mengalami masa kepemimpinannya pak Harto. Sehingga saya bisa membandingkan, sebagai rakyat tentu saja, hasil kepemimpinan dia dengan presiden-presiden lainnya. Sudah pasti ada positif negatifnya. Sebagai contoh misalnya, dan saya rasa orang-orang segenerasi saya juga merasakan, dulu harga-harga sembako tidak fluktuatif. Yang namanya sembilan bahan pokok, harganya stabil, terjangkau, dan gampang ditemui. Itu hal positif yang pernah dirasakan dari jaman pemerintahan babe Harto. Tidak seperti sekarang. Mau makan tempe susah. Ingin beli minyak tanah bingung nyarinya. Minyak goreng tiba-tiba menghilang di pasaran. Apa-apa menjadi susah. Pokoknya susah deh!
Negatifnya? Tidak ada oposan dalam arti yang sebenarnya. Ada saja alasan untuk menindak mereka yang tidak senada dengannya. Yang paling gampang dan sering dituduhkan terhadap lawannya adalah, subversi. Makanya saat itu sering ada orang yang tugasnya mengawasi yang ditaruh di tempat-tempat pertemuan yang, dirasa, bakal membahayakan kedudukan penguasa. Saya nggak tahu apakah mereka itu dikirim atas instruksi langsung dari pak Harto atau suruhan orang-orang yang mencari muka, sedangkan pak Harto nya sendiri tidak tahu menahu.
Pernah saat itu saya ikut pengajian yang diadakan setiap Minggu pagi di masjidnya H. Masagung di Kwitang yang ada di dalam dan menjadi satu dengan toko buku Gunung Agung. Kegiatan pengajian mingguan itu kadang-kadang suka saya ikuti kalau saya tidak punya acara. Kebetulan tempat kost saya yang ada di Jl. Abdul Rahman Saleh dekat dengan masjid itu. Saya cukup berjalan kaki untuk mendatanginya. Nah, suatu saat yang jadi pembicara adalah Sri Bintang Pamungkas. Pembicara yang diundang untuk mengisi pengajian di masjid itu memang banyak yang bukan orang sembarangan. Saat Sri Bintang berbicara, tiba-tiba ada orang di barisan belakang yang berdiri dan meminta dia menghentikan ceramahnya. Sri Bintang sambil menunjuk-nunjukkan telunjuknya langsung menjawab bahwa dia akan menemui orang itu setelah ceramahnya selesai. Kami yang ada di dalam tempat itu hanya terbengong-bengong, tidak memahami apa yang sedang terjadi. Rupanya orang yang mencoba menghentikan omongan Sri Bintang itu seorang intel. Sara rasa alasan dia melakukan itu karena yang diomongkan Sri Bintang memang agak sensitif untuk para penguasa. Meskipun yang disampaikan itu fakta dengan disertai data dan bukti pendukung, tapi hal itu dianggap bisa merusak kepercayaan para peserta pengajian terhadap penguasa.
Saya nggak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan Sri Bintang. Apakah dia langsung dibawa ke Kodim atau kantor polisi untuk diinterogasi, atau dilepaskan begitu saja. Mungkin saja dia dituduh melakukan tindakan subversif. Pada saat itu kata ‘subversi’ merupakan jimat ampuh yang bisa menjadikan alasan penangkapan seseorang atau bahkan menghilangkan nyawa orang, yang tidak salah sekalipun. Makanya, orang takut bila mendapat cap sebagai pelaku subversi di jidatnya. Bila tuduhan itu sampai di dirinya, matilah dia. Jangan tanya perihal hukum. Meskipun negara ini digembar-gemborkan sebagai negara hukum, yang terjadi lebih sering memberi kesan bahwa Indonesia ini negara yang suka menghukum. Jika penguasa suka, loloslah kita. Namun jangan harap bisa hidup tenang bila penguasanya was-was atau khawatir apalagi benci dengan kita.
Kata orang, itulah politik. Orang juga bilang, politik itu kotor. Jika mau jadi politikus, ya harus mau jadi orang kotor. Apakah memang seperti itu? Apakah memang harus menjadi kotor untuk bisa nyemplung di dunia politik? Yang kita saksikan dan dicontohkan oleh para politisi kita memang mendukung fenomena itu. Sudah barang tentu susah untuk tidak disebut politisi kotor jika yang dikerjakan adalah mengkadali orang lain, meliciki orang lain, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya.
Saya mendukung politisi yang tidak mengobral janji. Tapi yang sering terjadi, mereka kaya dengan janji-janji ketika ada yang diinginkan. Begitu jabatan sudah diperoleh, janji-janjinya yang dulu ternyata hanya pepesan kentut (maaf, emang kentut bisa dipepes?). Saya salut dengan politisi yang peduli dengan rakyat. Namun, berapa banyak politisi yang benar-benar ada di barisan rakyat? Apakah anda percaya dengan mereka yang mengkampanyekan dirinya ada untuk membela wong cilik (rakyat), atau mereka mengatasnamakan hati nurani rakyat? Tanya pada rumput yang bergoyang!
Sudah sering kita dikecewakan dengan kelakuan penguasa yang merupakan anaknya politik. Buat saya, kelakuan mereka akhirnya jadi tidak jelas. Mereka itu lebih condong di pihak rakyat atau kelompok sendiri? Susah untuk setuju jika mereka pro rakyat bila yang dilakukan justru menyakiti rakyat. Memang mereka punya penjelasan atas apa yang mereka kerjakan. Tanya saja kepada penguasa mengapa mereka menggusur rakyatnya sendiri. Penertiban, penduduk liar, tidak memiliki ijin, melanggar peruntukan lahan, apa lagi?, selalu ada saja yang dijadikan alasan untuk melegitimasi perbuatannya. Terdengar sinis ya tulisan saya ini? Tapi memang itu kan yang terjadi?
Kemudian, kenapa saya memberi judul seperti di atas? Apakah saya musuhan sama pak Harto? Nggak, saya nggak punya maksud apa-apa kok. Saya juga bukan musuh pak Harto atau dia musuh saya. Lagian saya ini siapa sih, kok belagu amat? Jika anda punya musuh kemudian musuh anda koit, seperti almarhum pak Harto, barangkali itulah yang akan anda ucapkan: bye-bye my enemy.