Kalau anda merasa tulisan ini terlalu panjang, ya nggak usah dibaca aja. Lihat-lihat aja gambarnya. Tapi anda akan rugi kalau tidak membacanya. Swear!
Akhirnya… saya mendapatkan ijin dari Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango untuk melakukan pendakian Gede Pangrango pada tanggal 13 & 14 April 2007. Permohonan ijin tersebut saya masukkan sebulan sebelumnya. Setelah ijin keluar, kesibukan mempersiapkan segala sesuatunya dimulai. Beberapa kali saya dan anggota tim pendaki lainnya bertemu di BEC. Jumlah peserta yang terdaftar dalam surat ijin yang dikeluarkan sebanyak 26 orang. Mereka merupakan gabungan dari anak-anak BEC angkatan 1, 8, 9 dan 10.
Jum’at, 13 April 2007
Sesuai kesepakatan, Jum’at pagi kami berkumpul di BEC. Hari itu pendakian dimulai. Dari 26 orang yang terdaftar, ternyata yang berangkat 19 orang. Mereka adalah Idan, Indra, Roni, Titi, Amira, Hudri, Adi, Danang, Ardi, Viena, Ayap, Ipul, Didik, Ujang, Ical, Encu, Imeh, Fitri, dan Rahmat. Setelah berdoa kami jalan ke arah Swalayan Naga untuk naik angkot jurusan Baranangsiang. Waktu pemberangkatan yang rencananya jam tujuh molor 45 menit. Siapa yang bisa naik angkot duluan dipersilahkan. Kami janji ketemuan di depan Pizza Hut.
Dari depan restoran siap saji tersebut transportasi akan disambung dengan angkot Colt yang suka dijuluki dengan angset (angkutan setan) karena kendaraan tersebut suka ngebut seperti pedal yang ada di bawah kaki sopir itu gas semua, tidak ada remnya. Tawar-menawarpun terjadi. Akhirnya disepakati masing-masing penumpang membayar Rp.12.000 untuk diantar sampai desa Gunung Putri. Desa dimana kami akan memulai pendakian. Berhubung jumlah orangnya 19 maka mobil yang disewa dua buah. Setiap mobil diisi 10 dan 9 orang plus barang. Jam 08.30 dua angset kami berangkat menuju arah Puncak. Karena hari kerja perjalanan di daerah Puncak lancar-lancar saja tanpa mengalami kemacetan sebagaimana yang terjadi kalau hari Sabtu dan Minggu. Oleh karenanya, jam 09.35 angset kami sudah sampai di pertigaan restoran Ayam Bakar Cianjur. Dari pertigaan tersebut kami belok kanan menuju desa Gunung Putri yang hanya memerlukan waktu dua puluh menit sehingga jam 09.55 kami sudah tiba di tempat. Pada waktu di jalan tadi, saya lihat ada angkot warna kuning dengan jurusan Cipanas–Pasir Kampung. Pasir Kampung adalah desa sebelum Gunung Putri. Kalau ingin sampai ke Gunung Putri, ada angkot yang dari pasar Cipanas dengan jurusan Cipanas–Gunung Putri dengan tarif empat ribu.
Rupanya angset yang saya tumpangi nyampe duluan. Kata si sopir mobil yang satunya tadi beli bensin dulu sebelum masuk tol. Saya pikir kami yang belakangan, ternyata malah ada di depan, jauh lagi. Begitu turun, uang untuk angset dikumpulin dan saya yang kebagian membayarkannya. Ternyata ada salah pengertian. Kesepakatan masing-masing penumpang membayar 12 ribu berlaku antara saya dengan sopir dari mobil satunya. Sedangkan sopir dari angset yang saya naiki ini dijanjiin oleh calo yang memang ada sebelum berangkat tadi dengan ongkos penuh, yaitu 15 penumpang x 12 ribu = 180 ribu. Tentu saja saya nggak mau. Saya bilang ke sopir tersebut bahwa saya tidak bohong. Kalau nggak percaya, saya minta untuk menunggu mobil yang satunya datang. Dia bilang kalau rugi banget, mana mesti mbayar calo 40 ribu. Saya nggak mau tahu. Saya katakan bahwa kami ini anak-anak sekolah yang uangnya pas-pasan. Sebenarnya sih kasihan juga. Tapi mau gimana lagi. Emang brengsek calo sialan tuh. Hanya modal suara dan tattoo sekujur badan, dia dapat uang dengan cara menakut-nakuti para sopir yang kerja keras mempertaruhkan nyawa di jalan raya. Sopir saya akhirnya setuju menunggu mobil satunya. Tapi nggak beberapa lama, dia memanggil saya dan mengatakan biar sajalah dapat uang segitu meskipun rugi banget. Pak sopir, saya doakan mudah-mudahan rejekinya lancar. Kalau anda orang jujur, pasti dimudahkan jalan rejekinya.
Selesai menyerahkan uang tersebut, saya kembali bergabung dengan teman-teman yang pada nongkrong di warung bubur ‘Katineung’ sambil nungguin rombongan satunya. Saya nikmati segelas teh pahit yang disuguhkan tukang warung dan mengambil dua bungkus roti nggopean sekedar untuk ngganjel perut. Saya belum begitu lapar banget. Kalau melihat lokasinya warung ini pasti jadi tempat singgah para pendaki, baik yang mau naik maupun yang baru turun. Selain warung ini di seberangnya juga ada warung nasi ‘Nona Mini’. Saya dan beberapa teman lainnya sempat beli nasi bungkus untuk makan siang nanti. Saya sendiri sebenarnya sudah bekel nasi. Gara-gara Viena bilang kalau suara penjualnya lucu, kecil kayak anak-anak, saya jadi tertarik. Itung-itung ngasih rejeki juga buat si nona mini ini. Selain kecil suaranya, orangnya juga mini. Makanya nggak heran kalau nama warungnya seperti itu. Bisa dipastikan nama tersebut diambil dari postur tubuhnya. Namun demikian, meskipun badannya mini suaranya kecil, orangnya putih dan cantik.
Rombongan kedua sudah datang. Segera mereka bergabung dengan kelompok saya. Pembayaran ke sopir tidak ada masalah. Memang dia yang tadi sudah sepakat sama saya. Apakah sopir yang pertama tadi tidak dikasih tahu tentang kesepakatan saya dengan dia, saya tidak tahu. Mudah-mudahan saja sopir yang pertama tadi jujur. Bukan memanfaatkan keadaan sehingga kami jadi belas kasihan kemudian memberikan uang tambahan.
Setelah beres semua, sudah ke toilet mesjid terdekat buat buang air, nggajal perut, beli nasi bungkus, mengecek barang bawaan, kami putuskan untuk berangkat. Walaupun demikian, hampir saja jaket saya ketinggalan. Kami rencana akan sholat lohor saja di jalan. Kalau nunggu Jum’atan dulu, kayaknya terlalu lama dan mungkin akan kemalaman di jalan. Jam 10.40 kami mulai meninggalkan desa Gunung Putri. Meninggalkan warung bubur dimana saya juga beli apel dan manggis untuk bekel di jalan. Meninggalkan nona mini yang cantik, entah siapa namanya.
Sepuluh menit jalan, kami sampai di pos jaga Gunung Putri. Semua pendaki yang akan menuju Gunung Gede maupun Pangrango harus lapor dulu di pos ini. Saya segera mengeluarkan surat ijin yang ada di backpack, melaporkan kalau ada tujuh orang yang tidak jadi ikut dengan mencoret nama orang-orang tersebut. Sambil menunggu selesainya proses administrasi ini, saya sempatkan tanya-tanya kepada petugas yang jaga. Kata dia, turis bule bisa naik tanpa harus ijin dahulu jauh-jauh hari. Ijin bisa langsung diperoleh saat mau mendaki ataupun sehari sebelumnya. Biaya administrasinya memang beda. Kalau nggak salah sekitar Rp.20.500. Memang ada ijin khusus, atau perkecualian, bagi turis asing.
Selesai proses pelaporan, kami melanjutkan perjalanan. Kami melewati kebun wortel dan lobak. Kemudian menyeberangi sungai yang merupakan sumber air terakhir. Bila anda menuju puncak melewati jalur Gunung Putri, maka sebaiknya anda mengambil air di sungai ini karena sumber air berikutnya baru ada di alun-alun Suryakencana. Pukul 12.15 kami sampai di Shelter 1 (Informasi Centre) yang berada pada ketinggian 1850 mdpl. Di pos ini kami beristirahat, sholat lohor dan makan siang selama 45 menit. Pos istirahat ini merupakan bangunan kayu yang sudah pada rusak yang dulunya bekas kantor Taman Nasional Gede Pangrango bila dilihat dari tulisan yang ada di atas bekas pintu gerbang dari tembok yang sebagian masih berdiri. Di dekat gapura tersebut, tulisan yang ada di patok/tonggak adalah HM 11. Nggak tahu apa artinya HM. Kalau nggak salah hektometer. Hekto artinya kelipatan seratus. Kalau begitu, HM 11 berarti sama dengan 1100 meter atau 1,1 km. Sedangkan patok HM 00 nya sendiri berada di depan warung kecil pinggir jalan di tengah kebun sayur sebelum sungai. Tadinya saya pikir warung tersebut adalah pos istirahat. Warung itu kayaknya hanya buka di hari Sabtu dan Minggu. Sebab, ketika saya lewat hari Jum’at tempat tersebut tutup dan buka saat saya lewat hari Sabtu ketika turun dari puncak.
Jam 13.00 perjalanan diteruskan kembali. Badan saya sudah kembali segar setelah perut diisi nasi bungkus dari mbak nona mini dan istirahat sejenak. Jalan setapak yang tadinya berupa batu kali yang disusun rapi berganti dengan tanah coklat yang kadang tertutup lumut atau dedaunan. Akar-akar pohon kadang nongol menghalangi jalan. Kalau tidak waspada, kaki ini bisa kesangkut. Kabut mulai turun, datang dan pergi. Matahari sudah tidak pernah nongol lagi. Sulitnya medan yang dilalui dan menanjak terus membuat saya harus sering beristirahat.
Jam 14.50 kami sampai di Shelter 3 (Buntut Lutung) yang memiliki ketinggian 2280 mdpl. Shelter 2 kami lewatin saja. Kami sempatkan mengambil foto di pos ini. Awan di langit makin banyak sehingga gambar yang dihasilkan agak gelap meskipun masih kelihatan. Kesempatan ini juga digunakan untuk menarik napas. Ternyata naik gunung itu bikin ngos-ngosan. Hla iya la yao. Cape deeh…
Perjalanan dilanjutkan. Badan mulai terasa penat, kaki leklok, dan punggung makin bongkok saja rasanya. Carrier yang dibawa Indra rupanya salah konstruksi, tidak ergonomis, sehingga menekan pundak kanan kiri. Akibatnya, mesti banyak istirahat. Danang yang biasanya jadi tukang panggul saat itu nyerah. Nggak kuat, minta ganti, punggungnya lecet katanya. Saya sendiri giliran membawa carrier tersebut saat mau sampai di alun-alun. Memang benar, berat banget dan membuat sakit di pundak.
Langit makin gelap. Nggak lama kemudian turunlah hujan. Yang bawa jas hujan maupun ponco segera mengeluarkannya. Sepanjang jalan kami kehujanan. Jalan yang dalam keadaan kering saja susah dilewati, sekarang jadi basah dan licin kehujanan. Bisa dibayangkan betapa sulitnya. Air hujan mengalir deras di sela-sela kaki kami. Beban yang ada di punggung jadi semakin berat karena basah. Rain cover yang saya pasang di ransel saya ternyata tidak dapat berfungsi seperti yang diharapkan. Segala barang yang ada di dalam ransel basah semua, kecuali yang dibungkus lagi dengan plastik. Cahaya semakin meredup. Jalan yang ada di depan semakin kabur karena cahaya yang sudah mulai temaram ditambah dengan air hujan yang terus-menenus. Kami semakin kepayahan. Anggota tim yang sudah jalan duluan sebagian diminta untuk kembali lagi menolong membawakan beban dari anggota tim yang tertinggal di belakang.
Hari sudah gelap dan hujan masih deras ketika kami sampai di pinggir alun-alun Suryakencana. Saat itu sekitar jam 18.00. Saya tawarkan kepada anggota tim yang lain untuk terus melanjutkan perjalanan menyeberangi alun-alun sampai di bawah jalur menuju puncak Gede atau, berhenti di sini dan mendirikan tenda. Karena kedinginan dan kecapaian, mereka memilih yang kedua. Saya pribadi ingin jalan terus melewati alun-alun dan baru mendirikan tenda di bawah jalur menuju puncak. Melihat kondisi mereka, saya jadi kasihan juga. Okelah, bisa jadi itu merupakan keputusan terbaik. Kalaupun dipaksakan, mungkin malah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tenda segera dibongkar. Di bawah guyuran air hujan dan gelapnya malam, sebagian memegangi flysheet sebagian lagi memasang tenda di bawahnya. Yang cewek dan beberapa cowok yang tidak memasang tenda membuat bansus. Kami semua bekerja hanya diterangi dengan beberapa lampu senter.
Tiga tenda akhirnya berhasil didirikan meskipun seadanya. Walaupun lantai tenda basah, setidaknya kami bisa berteduh di bawahnya. Kami semua kedinginan. Semua orang, terutama Danang dan Rahmat, makin parah menggigilnya. Tampang mereka sudah mulai menghijau. Saya hanya khawatir mereka terkena hypothermia. Cara pencegahan yang bisa dilakukan untuk menghindari serangan ini adalah dengan segera mengganti baju yang basah dengan yang kering. Tetapi tidak ada baju ganti yang kering. Semua basah oleh air hujan meskipun sudah dibungkus dengan plastik sebelum dimasukkan ke dalam backpack maupun carrier. Segera saya ambil peples dan minta supaya diisi dengan air panas. Yang saya maksud dengan air panas adalah air putih panas, tapi yang dimasukkan bansus. Meskipun tidak sesuai dengan yang saya inginkan, setidaknya ada barang hangat yang bisa mengurangi dingin. Peples tersebut segera saya serahkan kepada Danang, Rahmat, dan Ical yang gemetaran di dalam tenda. Ketiganya jongkok membentuk segitiga hanya mengenakan cancut yang basah juga. Saya suruh mereka memegang peples tersebut bergantian untuk mengurangi dingin.
Setelah selesai menangani para calon yang nyaris jadi korban hypothermia, saya dan Ujang kemudian mendirikan satu tenda lagi yang dibawanya. Tangan ini sudah beku. Sakit rasanya. Baru dingin sekelas gunung Gede saja sudah terasa nyeri, tidak terbayang gimana rasanya kalau kena ‘frostbite’ sebagaimana biasa terjadi di pegunungan bersalju. Dengan perjuangan menahan dingin di sekujur tubuh, terutama tangan dan kaki, saya dan Ujang pelan-pelan mendirikan tenda. Masih untung tenda yang dipasang jenisnya doom, termasuk tiga tenda yang dipasang sebelumnya, sehingga cukup simpel. Begitu tenda terpasang, kompor segera dinyalakan untuk membuat kopi baru kemudian merebus mie instan yang sudah disiapkan buat makan malam. Dengan mengalirnya kopi panas ke perut, badan mulai terasa hangat. Kaos kaki cadangan satu-satunya segera saya pakai untuk menghangatkan kaki. Saya ngomong kepada yang lain supaya berhati-hati jangan sampai kopi atau minuman lain tumpah di dalam tenda. Baru selesai ngomong, eh hla kok kopi saya tumpah. Sialnya lagi mengenai kedua kaos kaki yang rencananya buat tidur nanti. Terpaksa saya lepas kaos kaki basah tersebut dengan ngomel-ngomel. Apa boleh buat, itu salah saya sendiri. Tidur dengan kaos kaki kering sekarang tinggal impian. Meskipun demikian, saya tidak ingin kejadian tersebut mengurangi saya menikmati makan malam yang sudah siap. Bersama Ujang, Hudri, Didik, dan Ayap, saya menikmati mie instan yang selesai dimasak dan nasi bekal dari rumah yang saya bagi untuk berlima. Sambil ngobrol ngalor-ngidul, semua makanan yang ada di depan habis semua diembat kami berlima. Nasi, mie instan, nugget tempe, semua tidak ada bekasnya. Jam 20.55 acara makan malam di tenda saya selesai.
Di Shelter 6 (Alun-alun) yang berada di pinggir alun-alun Suryakencana yang memiliki ketinggian 2750 mdpl, akhirnya menjadi tempat kami berkemah. Tidak ada kayu kering yang bisa dipakai untuk membuat api unggun. Udara malam yang dingin saya lawan dengan menyalakan dua lampu badai. Selain itu, saya merebus air yang kemudian saya masukkan ke dalam botol kaca bekas suplemen vitamin C. Botol yang berisi air panas tersebut membantu sekali mengurangi dingin dengan cara digulirkan ke bagian-bagian yang terasa dingin. Kaki, tangan, jidat, telinga, muka, hampir seluruh tubuh digerayangi botol panas tersebut. Dinginnya malam menjadikan anggota tim yang lain pada malas keluar tenda. Mereka lebih memilih di dalam tenda meskipun sudah saya iming-imingi kalau saya punya sesuatu yang bisa menghangatkan badan. Namun hal tersebut tidak bertahan lama. Satu persatu mereka keluar, walaupun tidak semua. Kami ngobrol sambil mendekatkan kaki dan tangan ke lampu badai dan merebus air lagi untuk menggantikan air yang ada di dalam botol bila sudah tidak panas lagi. Saya ikut ‘ngrumpi’ sampai jam 01.30 an. Setelahnya saya masuk tenda untuk tidur meskipun tidak bisa nyenyak agar besuk bisa agak fresh badannya.
Sabtu, 14 April 2007
Sambil melingkar di dalam sleeping bag saya lihat jam yang ada di hp. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Di luar masih terdengar orang ngobrol. Saya berusaha untuk tidur lagi. Sleeping bag saya tarik lebih ke atas agar seluruh kepala saya tertutupi. Kaki yang dingin saya bungkus dengan jas almamater sebagai pengganti kaos kaki yang ketumpahan kopi tadi malam. Saya berada di sebelah pintu masuk tenda. Sebelah kanan saya Didik, Ayap, dan Ujang tidur pulas. Tadinya tenda kami berisi lima orang. Karena terlalu sempit, Hundri mengalah pindah ke tenda lain yang masih longgar. Nggak lama kemudian saya lihat hp saya lagi, ternyata sudah jam 5. Kayaknya saya tidak merasa tidur tapi kok waktu sudah berlalu satu jam. Di luar masih saja ada yang ngobrol. Rupanya mereka begadang. Jam 05.15 saya keluar tenda. Ternyata yang ngobrol Idan, Rahmat, Indra, Ipul, dan Encu. Mereka sedang mengelilingi api unggun yang dibuat dengan ranting-ranting dibantu dengan spiritus dan minyak tanah. Hangatnya api bisa saya rasakan saat mendekat.
Satu persatu orang-orang keluar dari tenda. Hari sudah terang. Kami semua sudah tidak begitu kedinginan. Kalau mengingat tadi malam ketika kami sampai di tempat ini, nelangsa rasanya, juga ngeri, karena semua kedinginan. Barangkali bagi yang nggak suka naik gunung, kelakuan kami ini konyol banget. Malam-malam hujan-hujanan di atas gunung. Tetapi pagi ini semua merasa fine–fine saja, walaupun masih terasa dinginnya. Kami semua berharap pagi ini matahari mau keluar sehingga bisa menjemur semua perlengkapan terutama baju ganti dan sleeping bag. Sayangnya mentari selalu tertutup awan. Kabut tebal sudah mengeliling perkemahan. Jam 08.30 matahari baru mau mulai muncul. Itupun hanya beberapa menit. Kami jadi pesimis jemuran bisa pada kering semua. Tali rafia yang kami bentangkan tadi pagi di antara pepohonan untuk dijadikan tali jemuran melengkung oleh beban baju-baju basah kami. Itulah satu-satunya harapan kami untuk bisa memiliki baju kering sebagai pengganti. Sayangnya harapan tinggal harapan. Jemuran bisa dipastikan tidak akan kering.
Jam 6 saya dan delapan anggota tim lainnya membawa jirigen dan botol aqua menyusuri alun-alun mencari air. Persediaan air yang ada sudah habis dipakai tadi malam. Pagi ini kami perlu masak buat sarapan dan minum. Saya tahu di dekat jalur yang mau ke puncak Gede ada sungai kecil. Diperkirakan perlu waktu 30 menit untuk sampai di sana. Tetapi baru jalan sekitar lima menit saya sudah menemukan air di hulu sungai tersebut yang ternyata dekat dengan Shelter 6, tempat perkemahan kami. Tenang rasanya air sudah ada di tangan. Saya tidak khawatir lagi bila sudah ada air. Setelah mengambil beberapa foto, kami kembali ke perkemahan. Anggota cewek yang ada di kemah segera menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. Pagi ini menu untuk sarapan adalah oseng-oseng wortel dan buncis ditambah kacang teri. Hmmmm… mak nyus!
Selesai sarapan, waktunya bersantai-santai sambil sesekali mengecek jemuran. Ada kejadian yang mengherankan saya tadi malam. Entah ini halusinasi atau apa. Aneh rasanya. Sampai sekarangpun saya belum menemukan jawabannya. Entah itu karena mata saya, dinginnya malam, atau ada hal lain. Ujang ketika keluar dari tenda yang posisinya sekitar enam meter dari tempat saya duduk terlihat besar sekali. Ketika berjalan menghampiri saya dan beberapa teman lain yang lagi ngobrol dia makin lama makin mengecil dan kembali ke ukuran normal ketika sudah dekat. Begitu juga botol aqua yang ada di depan tenda dimana Ujang barusan keluar. Ketika saya sorot dengan lampu senter terlihat besar sekali, hampir dua kali lipat. Karena penasaran, saya samperin botol tersebut. Begitu dekat, terlihat biasa saja. Tidak sebesar tadi. Aneh. Saya percaya kalau ada mahluk lain selain manusia, tapi saya tidak seperti orang Perancis bilang ”Je n’y crois pas, mais je les crains” (aku tak percaya hantu, tetapi aku takut padanya).
Jam 11 kami putuskan membongkar tenda. Saat barang-barang diberesin, hujan turun. Terpaksa kami berteduh dulu di dalam tenda menunggu hujan reda. Begitu hujan berhenti, segera peralatan dikemasi, dimasuk-masukkan ke dalam tas masing-masing. Tenda dibongkar. Sampah dikumpulkan untuk dibawa. Setelah semuanya siap kami berangkat menuju puncak Gede. Jam menunjukkan pukul 11.30. Dalam keadaan hujan, kami menyusuri alun-alun Suryakencana. Rencananya akan melewati puncak Gede terus pulang lewat Cibodas. Udara makin dingin, kabut semakin tebal ada di atas dan sekeliling kami. Dalam guyuran hujan, setelah jalan beberapa saat, saya kumpulkan semua anggota tim. Dengan berkumpul di tengah alun-alun dan diguyur air hujan, saya tawarkan kepada mereka, apakah mau terus naik ke puncak atau kembali ke tempat berkemah tadi dan turun ke Gunung Putri. Puncak Gede memang sudah di depan mata, tapi dengan guyuran hujan yang terus-menerus dan kabut tebal sehingga membuat kami semakin kedinginan, apalagi Danang tidak memakai jas hujan, sangat tinggi resikonya untuk meneruskan perjalanan. Saya tahu mungkin sebagian di antara anggota tim sangat kecewa. Tetapi dengan melihat kondisi cuaca yang tidak bersahabat, apalagi baju cadangan masih banyak yang belum kering, rasanya nggak mungkin untuk berkemah lagi setelah melewati puncak Gede. Keputusan yang sulit ini harus diambil. Akhirnya kami setuju untuk kembali turun ke arah mana kami datang. Jalur Gunung Putri memang lebih pendek dibandingkan kalau harus ke arah Cibodas.
Jam 13.45 kami sudah sampai di Shelter HM 16. Tidak ada papan nama dari pos istirahat tersebut. Enam belas menit kami melepas lelah di situ. Jam 14.01 kami meneruskan perjalanan lagi. Dengan berkurangnya curah hujan, perjalanan bisa dilakukan dengan lebih cepat. Saya menyesal hanya memakai sandal gunung. Saya pikir, dengan memakai sepatu dan kaos kaki basah, kaki saya akan kedinginan. Ternyata dengan memakai sandal kaki ini penuh tanah dan lumpur serta dalam keadaan terbuka sehingga beresiko untuk luka bila terkait akar yang mencuat dimana-mana atau terantuk batu. Untungnya meskipun saya sempat jatuh dua kali karena jalanan yang licin, kaki saya tidak apa-apa. Seandainya sepatu yang basah tetap saya pakai, pasti saya merasa lebih safe. Kalaupun sepatunya kering juga percuma, pasti akan basah juga dalam guyuran air hujan dan dinginnyapun akan hilang setelah dipakai buat jalan.
Jam 14.12 saya sudah sampai Shelter 1 tempat kami istirahat, sholat, dan makan siang saat kemarin naik. Ical, Roni dan Idan yang tadi jalan di depan saya sudah ada disitu. Sambil menunggu yang lain turun, saya bikin kopi. Hangat rasanya di badan. Ketika Viena datang, dia menawari untuk membuatkan mie rebus. Dengan senang hati saya menerima tawaran tersebut. Terima kasih Vie. Saya keluarkan mie kari ayam yang ada di ransel saya untuk dimasaknya. Nikmat rasanya makan siang dengan mie dicampur nasi sisa masak tadi pagi yang sempat dibawa turun meskipun ternyata belum matang benar. Mudah-mudahan saja tidak bikin sakit perut (dan ternyata tidak).
Setelah sempat bakar-bakaran dan foto-foto, jam 15.21 kami mulai meneruskan perjalanan. Hujan sudah berhenti. Sebagai gantinya, kabut yang datang. Kami seperti berada di dalam dapur yang penuh asap. Di sekeliling kami dipenuhi kabut. Bagi saya, hal ini menyenangkan. Bau kabut yang khas saya hisap dalam-dalam. Segar rasanya. Barang inilah yang merupakan salah satu yang saya rindukan bila berada di gunung. Berhentinya hujan ternyata hanya sebentar. Nggak lama kemudian gerimis datang lagi. Apapun yang terjadi perjalanan harus diteruskan. Saat sampai di sungai tempat kami mengambil air waktu kemarin berangkat, saya membersihkan kaki yang sudah tidak karuan penampilannya, juga yang lain. Susah juga membersihkan tanah dan lumpur yang menempel di kaki dan sela-sela jarinya. Selesai bersih-bersih kaki, meskipun tidak bisa sampai mulus, perjalanan dilanjutkan. Pos jaga Gunung Putri sebentar lagi kelihatan. Jam 16.05 akhirnya sampai di pos jaga. Saya keluarkan surat ijin untuk diserahkan kepada petugas jaga yang ada di tempat tersebut sekaligus beristirahat sebentar sambil menunggu teman-teman yang belum pada turun.
Gerimis belum berhenti, malahan lebih banyak, ketika saya meninggalkan pos jaga. Begitu sampai di bawah, saya menitipkan tas di warung yang di situ sudah ada Ujang, Viena, dan Indra. Selanjutnya menuju masjid desa Gunung Putri untuk ganti celana training, kaos Alcatel, dan jas almamater yang sebelumnya saya jaga mati-matian agar tetap kering untuk dipakai pulang. Ketiganya sudah saya pakai tadi malam dan hanya barang itulah harta karun yang saya miliki yang masih kering sebagai baju ganti. Selesai ganti baju, saya ambil air wudlu untuk sholat lohor yang dijama’ dengan asar. Saya mengucapkan syukur akhirnya sampai di bawah. Meskipun target awal yang ditetapkan tidak tercapai tapi kami bisa selamat sampai di bawah lagi.
Entah jam berapa kami naik angkot dari depan warung nasi Nona Mini menuju pasar Cipanas. Karena cuma ada satu angkot padahal kami bersembilanbelas maka naik angkotnya dicicil dua kali. Saya dan delapan anggota tim lainnya dapat giliran yang kedua. Ternyata jalur angkot jurusan Cipanas-Gunung Putri lebih jauh, berkelok-kelok, dan rusak bolong-bolong dibandingkan jalur yang melewati rumah makan Ayam Bakar Cianjur atau jalur angkot Cipanas-Pasir Kampung. Saat saya dan rombongan sampai di pasar Cipanas, kloter pertama sudah menunggu di emperan toko menghindari gerimis yang belum berhenti juga. Kami masing-masing membayar Rp.4.000, harga normal untuk angkot jurusan Cipanas-Gunung Putri.
Jam 18.35 kami dapat bis (kalau nggak salah Hiba Utama) yang langsung menuju Baranangsiang Bogor. Cuma beberapa penumpang yang ada di dalamnya ketika kami naik. Mereka duduk di bagian depan, sehingga belakang kosong semua. Kami semua ngumpul di belakang, bercanda, ketawa-ketiwi. Tapi hal itu hanya berlangsung beberapa saat. Setelahnya, sepi. Kami semua pada tidur kecapaian. Saya sendiri tidak begitu cape, hanya kepalanya yang pusing. Rasanya saya sedang mabuk seperti biasa kalau badan tidak dalam keadaan fit saat naik mobil. Saya hanya berdoa mudah-mudahan tidak sampai muntah. Bekal permen Fox yang masih tersisa saya kemot untuk mengurangi rasa mabuk, tetapi tidak berhasil. Akhirnya saya pakai buat tidur-tiduran. Saat kondektur menarik ongkospun saya berikan dengan mata merem-melek karena menahan pusing. Kondektur minta lagi ketika saya sodorkan uang lima ribu. ”Tujuh ribu,” katanya. Saya tanya biasanya berapa, dia menjawab kalau bukan malam Minggu biasanya cuma Rp.5.000. Okelah, masih wajar buat saya. Bahkan saya mau nambahin jadi Rp.10.000 kalau dia bisa membuat pusing saya hilang. ABCDEFG, aduh bo cape deh eike fusing gila…..
Setelah turun di Baranangsiang, kami janjian untuk kumpul di BEC. Saya seangkot sama Viena, Indra, dan Ujang. Indra sendiri sudah terkapar tak berdaya. Dia mabuk berat. Mukanya merah menyala. Ternyata ada yang lebih parah dari saya. Saya masih bisa ngomong meskipun sambil megangin kepala. Sampai di pertigaan Panaragan kira-kira jam 20.10. Viena dan Indra turun. Saya sendiri akhirnya memutuskan langsung pulang. Begitupun Ujang. Saya hanya titip salam buat anak-anak yang ngumpul di BEC dan mohon maaf tidak bisa ke BEC dulu.
Gunung Gede ada di kepala saya. Sepanjang jalan dalam angkot, peristiwa-peristiwa yang saya alami selama dua hari melayang-layang silih berganti di benak saya. Bak nonton slide yang berganti-ganti. Kecewa juga tidak bisa sampai di puncak Gede maupun puncak Pangrango sebagai mana yang direncanakan. Namun demikian, keindahan alun-alun Suryakencana berhampar rimbunan pohon edelweiss (Leontopodium alpinum) menjadi hadiah tak terkira yang kami peroleh. Memang puncak-puncak gunung itu menjadi impian, tapi nyawa kami lebih penting. Friends, sori kalo sampeyan menjadi kecewa. Apalah artinya puncak gunung kalau nyawa kita jadi hilang karenanya. Masih ada waktu bagi kita untuk kesana lagi. Percayalah!
Bagi yang akan mendaki Gede maupun Pangrango, waktu terbaik adalah Mei s/d September, terutama Agustus dan September. Pada bulan tersebut bunga edelweiss sudah bermekaran dan curah hujannya sedikit.
Sumber gambar: koleksi pribadi
Video: di sini
@idan: perlu teman untuk periksa ke dokter? 😉
padahal saya baca artikel ini udah lebih dari sekali tapi masih aj merinding kalo baca ini artikel…………