Baru seminggu berlalu sejak kehebohan “air ajaib” di makam Eyang Gondo Jamban mereda. Kampung Klenyer kembali ke rutinitas normal. Vespa hijau pastel milik Marmo sudah diperbaiki oleh Parno dengan ongkos yang—menurut keluhan Marmo—lebih mahal dari harga bensin sebulan. Tapi setidaknya pasangan Marmo-Giyem bisa kembali ke Madiun dengan selamat, membawa pulang pelajaran berharga tentang kebodohan viral media sosial.
Parno masih setia dengan prinsip “kerja atau tidak kerja, hidup tetap susah” sembari menghitung untung dari perbaikan vespa Marmo. Sementara Baris, sang pencari kerja teladan, sudah mulai bekerja di proyek PLN yang akhirnya dipindahkan lokasinya 300 meter dari makam Eyang Gondo Jamban.
Namun, seperti kata pepatah, “Habis air ajaib terbit rambut panjang.” Baiklah, mungkin pepatah aslinya tidak begitu, tapi begitulah yang terjadi di Kampung Klenyer.
***
Sabtu pagi yang mendung. Warung Yu Legi tampak sepi, hanya ada Parno yang sedang menikmati kopi pahitnya dengan khidmat. Kedamaian pagi itu terkoyak oleh suara tangisan histeris yang mendekat. Semakin dekat suara itu, semakin jelas terdengar kata-kata seperti “khianat”, “tega”, dan “jalang” di antara isak tangis.
“Lagi ada sinetron syuting di kampung kita, Yu?” tanya Parno pada Yu Legi yang sedang mengelap gelas.
“Mana ada sinetron mau syuting di kampung terpencil begini. Wong Jakarta aja paling cuma tahu Kampung Klenyer dari berita viral air ajaib kemarin,” jawab Yu Legi sambil melongok ke luar warung.
Tak lama kemudian, muncullah Ngatmi dengan wajah sembab dan mata bengkak seperti habis ditampar kawanan lebah. Di belakangnya, Giyem—ya, Giyem dari Madiun yang seharusnya sudah pulang—berjalan dengan wajah campuran antara bingung dan ingin pulang.
“Lho, Mbak Giyem? Masih di sini?” Parno tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.
Giyem menghela napas panjang, “Ceritanya rumit, Mas. Vespa Marmo mogok lagi di perbatasan. Karena kesal, aku malah balik ke sini naik bus. Marmo masih di bengkel entah di mana.”
Belum sempat Parno berkomentar lebih lanjut, Ngatmi sudah menghempaskan tubuhnya di kursi kosong sambil berteriak, “Yu Legi! Es teh manis lima! Yang manis banget biar semanis mulut pacar pengkhianat itu!”
“Lah, lima buat siapa saja, Ngat?” tanya Yu Legi kebingungan.
“Buat aku semua! Aku mau minum sampai diabetes sekalian biar hidupku tambah menderita!” teriak Ngatmi melodramatis.
Parno memutar bola matanya. “Sabar, Mbak Ngatmi. Apa yang terjadi?”
“Baris selingkuh, Mas Parno! Dia punya perempuan lain!” Ngatmi kembali menangis sejadi-jadinya.
“HAH?” Parno nyaris tersedak kopinya. “Baris yang itu? Baris temanku yang bahkan bicara sama perempuan saja masih gagap? Baris yang kalau lihat rok mini langsung malu-malu kucing?”
“Iya! Dia yang sudah berjanji setia padaku! Yang selalu bilang aku satu-satunya! Yang katanya baru pacaran sekali seumur hidup!” Ngatmi mengeluarkan tisu dari tasnya dan mengelap ingus yang mulai menetes.
“Tapi apa buktinya, Ngat?” tanya Yu Legi yang sudah selesai menyiapkan *satu* gelas es teh manis, bukan lima seperti yang diminta.
“Ini buktinya!” Ngatmi mengeluarkan sebuah plastik bening kecil dari tas selempangnya. Di dalamnya terdapat sehelai rambut panjang berwarna hitam. “Aku menemukan ini di kasurnya Baris kemarin sore!”
Parno memicingkan mata menatap plastik tersebut, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Mbak Ngatmi, kamu yakin itu bukti perselingkuhan?”
“Jelas, Mas! Rambut panjang di kasur Baris! Aku lihat pakai mata kepalaku sendiri!” Tangis Ngatmi kembali pecah. “Padahal waktu itu rumahnya kosong. Ibu dan neneknya lagi ke rumah budenya yang baru pulang umroh. Jelas ada perempuan lain yang diajak ke kamarnya!”
Giyem yang sejak tadi diam akhirnya berbicara, “Makanya dia minta aku menemaninya ke rumah Baris untuk konfrontasi. Tapi karena Baris masih kerja, jadi kita ke sini dulu.”
“Aku tidak menyangka orang seperti Baris bisa melakukan ini,” kata Yu Legi prihatin.
“Apanya yang tidak menyangka? Justru orang-orang pendiam seperti Baris itu yang berbahaya!” Ngatmi mengeluarkan pendapat yang entah dari mana asalnya. “Di luar kalem, di dalam iblis!”
“Ngatmi, tenanglah. Mungkin saja rambut itu punya ibunya atau neneknya,” usul Parno.
“TIDAK MUNGKIN!” Ngatmi memukul meja dengan dramatis. “Ibunya Baris rambutnya pendek sebahu! Neneknya sudah ubanan semua! Ini pasti rambut perempuan lain!”
“Mbak Ngatmi sudah konfirmasi ke Baris?” tanya Yu Legi.
“Aku sudah WA dia, tapi cuma di-read. Telepon tidak diangkat,” kata Ngatmi sambil menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Dasar pengkhianat! Baru diterima kerja sudah berubah!”
Parno menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia kenal betul sifat Baris sejak kecil. Temannya itu memang pemalu, tapi satu hal yang pasti, Baris bukan tipe orang yang suka bermain api.
“Begini saja,” kata Parno akhirnya. “Aku akan antar kalian ke proyek PLN untuk bertemu Baris langsung. Biar masalah ini selesai dengan baik.”
“Setuju!” kata Ngatmi berapi-api. “Aku akan bongkar semuanya di depan teman-teman kerjanya! Biar malu sekalian!”
“Eh, jangan begitu,” Giyem mencoba menenangkan. “Selesaikan baik-baik dulu.”
“Baik-baik katamu? Sementara dia menghianatiku?” Ngatmi kembali terisak. “Aku tahu aku bukan perempuan cantik, tapi aku selalu setia! Aku tidak pernah membalas pesan dari mantan pacarku! Aku bahkan tidak pernah follow akun cowok ganteng di Instagram!”
Parno menghela napas panjang. Drama ini terlalu berlebihan untuk ukuran sehelai rambut.
“Ya sudah, ayo kita selesaikan sekarang. Kebetulan motorku sedang dipinjam sepupuku. Kita naik motor siapa?” tanya Parno.
“Aku bawa motor Supra,” kata Ngatmi. “Giyem bisa bonceng aku lagi.”
“Atau…” Giyem tersenyum malu-malu. “Marmo baru saja menelpon. Dia sudah di jalan ke sini dengan vespa kesayangannya yang sudah diperbaiki.”
“Perfect timing,” kata Parno. “Kita tunggu Marmo dulu.”
Tak lama kemudian, suara decit vespa hijau pastel yang khas terdengar mendekat. Marmo tiba dengan wajah lebih cerah dibanding minggu lalu. Vespanya tampak lebih mulus dan bunyinya tidak sesendat sebelumnya.
“Wah, sudah bagus nih!” puji Parno sambil menepuk-nepuk body vespa.
“Iya, Mas. Terima kasih ya,” jawab Marmo. “Eh, ada apa ini? Kenapa Giyem memintaku ke sini?”
Giyem menjelaskan situasinya dengan singkat. Marmo mengangguk-angguk paham.
“Jadi kita mau ke proyek PLN sekarang?” tanya Marmo.
“Iya. Aku akan bonceng Marmo. Parno bisa bonceng Ngatmi,” usul Giyem.
“Enak saja! Aku maunya bawa motor sendiri!” tolak Ngatmi. “Biar aku bisa kabur kalau Baris ketahuan memang selingkuh.”
“Dramatis sekali hidupmu, Ngat,” komentar Parno.
Akhirnya diputuskan Ngatmi tetap bawa motor sendiri, Parno dibonceng Ngatmi, sedangkan Giyem dibonceng Marmo. Kedua kendaraan itu pun meluncur menuju proyek PLN di dekat makam Eyang Gondo Jamban.
***
Proyek PLN tampak sibuk dengan puluhan pekerja yang mondar-mandir. Lokasi yang baru berada sedikit lebih jauh dari makam, tampak lebih aman dan sudah mulai dibangun fondasi untuk beberapa tiang listrik.
“Itu Baris!” teriak Ngatmi sambil menunjuk ke arah seorang lelaki yang sedang membawa beberapa lembar kertas di tangannya.
Baris yang melihat rombongan itu datang, tampak terkejut. Wajahnya kebingungan melihat kehadiran Ngatmi, Parno, dan dua orang lain yang pernah ditemuinya di warung Yu Legi.
“Ngat? Parno? Ada apa kalian ke sini?” tanya Baris.
Belum sempat siapapun menjawab, Ngatmi sudah berlari menghampiri Baris dan menampar pipinya dengan keras. PLAK!
“PENGKHIANAT!” teriak Ngatmi, membuat semua pekerja di lokasi menoleh ke arah mereka.
“Astaga, Ngat! Kenapa kamu menamparku?” Baris memegangi pipinya yang merah.
“Jangan pura-pura tidak tahu! Ini buktinya!” Ngatmi mengeluarkan plastik berisi rambut panjang itu dan menunjukkannya ke wajah Baris. “Ini rambut siapa di kasurmu, hah? Siapa perempuan jalang yang kamu ajak ke kamar?”
Baris menatap plastik tersebut dengan wajah bingung, lalu tiba-tiba matanya melebar. “Astaga… ini…”
“Iya! Mengaku sajalah!” desak Ngatmi.
“Ngat, ini bukan rambut perempuan,” kata Baris pelan.
“BOHONG! Jelas-jelas ini rambut panjang hitam! Rambutku tidak sepanjang ini! Ibumu dan nenekmu juga tidak!”
Parno, Marmo, dan Giyem yang berdiri tidak jauh dari mereka mulai merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian para pekerja proyek.
“Ngatmi, ini rambut… Gombloh,” kata Baris akhirnya.
Hening sejenak.
“SIAPA GOMBLOH? SELINGKUHANMU?” Ngatmi berteriak semakin keras.
“Astaga, Ngat. Gombloh itu kucing betina peliharaan Budeku yang baru pulang umroh,” jelas Baris sambil menghela napas. “Kemarin Budeku berkunjung ke rumah membawa Gombloh. Kucingnya tidur di kamarku sebentar karena Bude sedang ngobrol dengan Ibu dan Nenek.”
Wajah Ngatmi perlahan berubah dari marah menjadi syok. “Ku-kucing?”
“Iya, kucing. Anggora hitam. Memang rambutnya panjang dan suka rontok di mana-mana,” jelas Baris.
“Tapi… tapi…” Ngatmi tergagap.
“Kamu bisa tanya Ibu dan Nenekku kalau tidak percaya,” tambah Baris.
Parno yang mendengar penjelasan itu, langsung tertawa terbahak-bahak. “Ya ampun, Ngat! Drama besar gara-gara rambut kucing!”
Wajah Ngatmi merah padam karena malu. Air matanya yang tadinya air mata kemarahan berubah menjadi air mata kesedihan dan malu.
“Kenapa kamu tidak balas pesanku kemarin?” tanya Ngatmi dengan suara pelan.
“Aku sedang rapat proyek, tidak boleh pegang HP. Setelah itu aku langsung tidur karena kecapekan,” jelas Baris. “Pagi ini baru aku lihat pesanmu, tapi isinya cuma ‘Kita Putus!’ tanpa penjelasan. Aku bingung mau balas apa.”
“Jadi… kamu tidak selingkuh?” tanya Ngatmi.
“Ya ampun, Ngat. Aku bahkan belum pernah pacaran sebelum denganmu. Mana berani aku selingkuh?” jawab Baris dengan wajah polos.
Ngatmi terdiam, kemudian mulai menangis lagi. Tapi kali ini tangisan malu dan penyesalan.
“Maafkan aku, Baris…” isaknya.
Di belakang mereka, Parno masih tertawa sampai perutnya sakit. Marmo dan Giyem hanya bisa saling pandang, tidak tahu harus berkomentar apa.
“Eh, itu Pak Mandor datang!” kata salah seorang pekerja.
Semua orang menoleh ke arah seorang pria paruh baya yang berjalan menghampiri mereka dengan wajah tidak senang.
“Ada apa ini ribut-ribut di lokasi proyek?” tanya Pak Mandor dengan suara tegas.
“Tidak ada apa-apa, Pak,” jawab Baris cepat. “Hanya sedikit kesalahpahaman.”
“Kesalahpahaman apa sampai ada tamparan segala? Saya lihat dari kejauhan tadi!” kata Pak Mandor.
“Ini… pacar saya salah paham, Pak,” Baris mencoba menjelaskan.
“Maaf, Pak. Ini salah saya,” Ngatmi menunduk malu.
Pak Mandor menggelengkan kepala, “Ini lokasi proyek, bukan tempat drama percintaan! Saya tidak mau ada gangguan seperti ini lagi! Kalau kejadian seperti ini terulang, kamu bisa kehilangan pekerjaan, Baris!”
“Iya, Pak. Maaf, Pak,” Baris menunduk.
Setelah Pak Mandor pergi, suasana menjadi canggung. Baris menatap Ngatmi dengan pandangan sedih, “Ngat, kamu hampir saja membuat aku kehilangan pekerjaan.”
“Maaf, Baris… aku… aku terlalu cemburuan,” kata Ngatmi pelan.
“Kamu tidak percaya padaku?” tanya Baris.
Ngatmi tidak bisa menjawab, hanya menunduk.
“Kurasa kita perlu waktu untuk memikirkan hubungan kita,” kata Baris akhirnya. “Aku harus kembali bekerja sekarang.”
Dengan itu, Baris berbalik dan kembali ke pekerjaannya, meninggalkan Ngatmi yang masih terpaku di tempatnya.
“Ayo, Ngat. Kita pulang,” ajak Parno pelan. “Biarkan Baris fokus dengan pekerjaannya dulu.”
Ngatmi mengangguk lemah. Mereka berjalan kembali ke tempat parkir dengan suasana hati yang berbeda dari saat datang.
“Aku tidak menyangka masalah sebesar itu ternyata cuma gara-gara rambut kucing,” bisik Marmo pada Giyem.
“Seperti kita yang jauh-jauh dari Madiun ternyata cuma untuk menemukan kebocoran pipa air, bukan keajaiban,” balas Giyem.
“Kampung Klenyer memang ajaib dengan cara yang menyedihkan,” kata Parno sambil tersenyum kecut.
***
Malam itu, Di warung Yu Legi, Parno, Marmo, dan Giyem duduk bersama menikmati kopi masing-masing. Ngatmi sudah pulang duluan dengan wajah sembab dan hati yang hancur.
“Apa menurutmu Baris dan Ngatmi akan baik-baik saja?” tanya Giyem pada Parno.
“Entahlah. Tapi Baris tipe orang yang sulit marah. Mungkin besok atau lusa mereka sudah baikan,” jawab Parno.
“Pelajaran untuk kita semua,” kata Marmo bijak. “Jangan mudah percaya pada hal-hal yang belum kita pastikan.”
“Seperti kamu yang percaya air bisa jadi bensin?” goda Giyem.
“Atau Ngatmi yang percaya rambut kucing adalah bukti perselingkuhan?” tambah Parno.
Mereka tertawa bersama, meski ada kesedihan dalam tawa tersebut.
“Omong-omong, kapan kalian kembali ke Madiun?” tanya Parno.
“Besok pagi,” jawab Marmo. “Sudah cukup petualangan kami di Kampung Klenyer.”
“Dan cukup sudah drama yang kami saksikan,” tambah Giyem.
Yu Legi yang sejak tadi mendengarkan, tersenyum kecil. “Begitulah hidup di kampung kecil. Tidak ada air ajaib, hanya air mata dan drama sehari-hari.”
Parno mengangkat cangkir kopinya, “Mari bersulang untuk kebodohan manusia yang tak pernah habis.”
“Dan untuk rambut panjang di ranjang yang ternyata milik kucing!” tambah Marmo.
Mereka bersulang dengan tawa hambar. Di luar warung, langit malam tampak cerah dengan taburan bintang. Mungkin Eyang Gondo Jamban sedang tersenyum melihat kekonyolan manusia yang tak pernah ada habisnya. Atau mungkin Gombloh si kucing Anggora sedang mengeong entah di mana, tidak sadar telah menjadi penyebab drama besar di Kampung Klenyer.
Sementara itu, sepasang jalak suren di atas pohon trembesi kembali bertengger dengan tenang. Mereka tidak tahu dan tidak peduli dengan drama manusia. Yang mereka tahu, piyik-piyik di sarang mereka butuh makan, dan besok pagi mereka harus kembali mencari makan.
Hidup memang sesederhana itu. Sederhana dan menyedihkan.
Di sudut lain Kampung Klenyer, Ngatmi meringkuk di kamarnya, menatap plastik berisi sehelai rambut kucing yang hampir saja menghancurkan hubungannya. Ironis memang, cinta yang begitu besar bahkan bisa tersandung oleh sehelai rambut kucing. Tapi begitulah cinta, penuh prasangka dan kebodohan yang menyedihkan.







