Guru seharusnya tidak berjarak dengan muridnya. Anehnya, sang guru malah sengaja membuat batas agar ada jarak. Barangkali pengajar ini punya anggapan dirinya lebih tinggi tingkatannya dibandingkan muridnya. Mungkin dia merasa telah menjadi manusia mulia dan lebih mulia dibandingkan murid-muridnya. Tak ubahnya dia seperti sedang mengajar beruk.
Tentu saja tidak semua guru seperti itu. Jika anda sebagai murid, atau anda berada dalam lingkungan sekolah/kampus, sangat mungkin anda ketemu dengan pengajar yang ’jaim’. Memang tidak ada yang salah dengan menjaga citra (image) selama citra itu merupakan gambaran positif seorang pengajar. Namun bila ’jaim’ dilakukan untuk mencitrakan dirinya agar memberi kesan berwibawa, bukan pengajar ’murahan’ artinya tidak semua anak didik bisa mendekati, atau menimbulkan rasa takut, maka sudah tiba waktunya bagi dia untuk menentukan pilihan: mengupgrade dirinya atau pensiun dini dari posisi pengajar.
Jika grup musik Seurieus menyanyikan Rocker Juga Manusia, maka murid bukan hanya juga tapi jelas manusia. Antara guru dengan murid tidak ada bedanya. Keduanya adalah manusia, kecuali sekolah gajah atau sekolah beruk, gurunya manusia muridnya binatang. Karena muridnya manusia maka sudah seharusnya dimanusiakan. Dimanusiakan artinya tidak dianggap sebagai atau layaknya binatang. Para murid itu adalah manusia yang memiliki emosi dan perasaan seperti gurunya. Oleh karena itu sudah selayaknya mereka diajar dengan hati, dipahami emosi dan perasaan mereka. Bukan malah sebaliknya, diberi penyekat agar ada jarak antara murid dengan guru.
Tidak setiap guru semacam itu, tentu saja. Tetap ada pengajar-pengajar yang benar-benar memposisikan dirinya sebagai yang bisa digugu lan ditiru (dipercaya dan jadi tauladan) yang begitu hangat dan menyenangkan bagi muridnya. Sayangnya bukan sekali dua saya menjumpai pengajar yang membuat jarak dengan anak didiknya. Sebagai akibatnya, guru yang seharusnya merupakan orang terdekat setelah orangtua kandung mereka yang ada di rumah justru menjadi orang asing. Parahnya lagi, guru yang seharusnya menjadi mahluk ramah dan menyenang malah menjelma menjadi monster menakutkan. Bagaimana transfer pengetahuan bisa berlangsung dengan optimal jika murid dicekam kengerian? Secara psikologis, tidak ada ketenangan dan kenyamanan bila hati diliputi ketakutan. Padahal, yang namanya belajar perlu kedua hal tersebut.
Sangat mungkin terjadi seorang pengajar menjadi menakutkan bukan karena kesengajaan. Bisa saja seorang guru sebenarnya sedang membangun tembok pemisah antara dia dengan muridnya tanpa disadari. Seperti apa misalnya? Menerapkan aturan di kelas secara berlebihan adalah salah satu contohnya. Sebuah aturan tentu saja baik dan perlu diterapkan. Namun jika aturan itu dianggap mengada-ada atau diterapkan hanya agar terlihat berkuasa, disadari atau tidak, pengajar tersebut telah mendirikan tembok pemisah dengan muridnya. Bila tembok telah terbentuk, jangan berharap komunikasi bisa mengalir dengan lancar.
Umur juga bukan jadi patokan. Tidak peduli tua atau muda, keduanya mungkin saja menjadi pembangun tembok pemisah yang efektif dan efisien. Efektif karena tembok itu sangat manjur menghalangi kelancaran hubungan, efisien sebab tidak butuh waktu lama untuk merealisasikannya. Hanya dalam sekejap, ucapan dan perbuatan seorang pengajar bisa memunculkan tembok penghalang. Asumsi mendasar saya terhadap munculnya sikap pengajar pembangun tembok ini adalah karena mereka butuh pengakuan, adanya ketidakpercayaan diri, dan upaya menutupi ketidakmampuan dalam mengajar. Saya khawatir mereka juga mendefinisikan tegas maka harus galak dan lembut berarti lemah.
Menjadi pengajar bukan hanya sekedar pintar. Kepintaran otak tidak akan cukup bila tidak dilengkapi kepandaian mentransfer isi otaknya itu. Keahlian mentranfer ilmu bisa dilakukan tergantung seberapa hebat pengajar itu mengkomunikasikannya. Bila komunikasi yang dilakukan efektif maka transfer akan bisa berlangsung dengan lancar. Nah, bagaimana komunikasi bisa efektif? Salah satunya adalah dengan menghilangkan pembatas antara pengajar dengan murid. Pembatas itu otomatis akan hilang bila pengajar mau memanusiakan muridnya. Dengarkan suara hatinya, akrabi emosinya, maka si murid akan merasa dimanusiakan.
Bukan Mengajar Beruk
Jika anda guru manusia, yang anda sedang ajar pasti manusia. Mereka bukan beruk, jadi jangan perlakukan mereka seperti beruk. Anda tidak sedang mengajar beruk.
Sumber gambar: di sini
[…] maksudkan tersebut bila anda membaca dua tulisan yang pernah saya buat sebelumnya yang berjudul Mengajar Beruk dan Kelas Neraka […]
@elis: sama2
@Miss Chusy: intinya, mesti pinter2 baca sikon ya? saya butuh pelatihan yang bentuknya otbon juga kok 😉
Ikutan komen ach…
Bagus pak artikelnya…jadi lebih bisa introspeksi diri apakah aku juga gitu…meskipun aku rasa siyyy enggak…hahahahahahaha…mebeladiri.com ceritanya…
Anyway…betul siyy kita harus memperlakukan siswa/mahasiswa setara tapi tetep kita terapkan aturan2 jika mereka sudah terlalu jauh mencampuri urusan kita…harus dibatasi thoo yooo kalo gitu ituh…
Mungkin tergantung anaknya juga yaa pak…didekati malah jadi kayak manfaatin…kan enggak enak banget…tapi kembali juga ke pribadi masing2…
Mudah2an bisa jadi bahan introspeksi buat semuanya yaa…
Ngomong2 upgrade…kapan niyyy pak kita di-upgrade…butuh pelatihan niyyy…sebenarnya siyyy butuh outbound…hahahahahaha…
terima kasih pak atas masukkan nya….
I like it… 🙂
@zico: murid itu harus didekati, harus diposisikan setara
@Miftahgeek: ketika murid berani sama gurunya, sang guru mestinya melihat dulu mengapa bisa seperti itu. sbuah batasan yg tdk tepat bisa jadi malah memperbruk keadaan.
@achoey: jika guru hanya sekedar mentransfer ilmunya, hilanghal makna filosofi digugu lan ditiru
@sjafri mangkuprawira: mengajar & mendidik harusnya satu paket, dan sistem mengajar harusnya berorientasi siswa. guru mengarahkan dan meluruskan.
@MT di Bogor: terserah akang 😉
yeach, guru bukan cuma menjelaskan ilmu pengetahuan kepada muridnya, tetapi menjelaskan sikap, dengan sikapnya sendiri…
kapan kita bahas blogor.org lebih fokus?
…kita seharusnya berangkat dari apa sebenarnya tugas sang guru/dosen…dia tak semata-mata mangajar…namun yg lebih utama adalah MENDIDIK…disitu ada unsur-unsur filosofi hidup dan kehidupan…anak murid diajak untuk berpikir tentang hakekat keberadaan masing-masing di dunia ini,mengapa perlu berinteraksi,mengapa perlu menuntut ilmu,mengapa perlu beribadah dst…disitu ditanamkan tentang tata sopan santun,budi pekerti,menghargai orang lain, empati dst…sementara mengajar lebih dekat dengan pemahaman mengalihkan ilmupengetahuan kepada khalayak belajar saja…itulah yg dikhawatirkan selama ini…lebih besar unsur ajar ketimbang didik…karena itu ada baiknya dalam proses pembelajaran diterapkan apa yg disebut dengan pembelajaran berpusat pada siswa/mahasiswa…mereka diajak untuk aktif berpikir, berkreatif, berinisiatif, dan berinovasi tanpa meninggalkan pengembangan karakter…semoga
Ya guru sebaiknya memang mampu menjadi tauladan. Sedih jikalau ruh guru itu hilang, yanga ada adalah pekerjaan sebagai pengajar.
Tapi ibu saya sendiri membuktikan bahwa sekarang memang kondisi “mewajibkan” guru untuk membuat batas pak, mengingat kelakuan siswa [dan mahasiswa :p] yang udah berani ma guru nya sendiri –“
PertamaX nich pak 🙂
membaca postingan yang ini, saya jadi teringat tulisan yang pernah saya baca, kata-katanya kurang lebih seperti ini “ujian bagi seorang guru terhadap muridnya adalah merasa ‘lebih tau’, dari muridnya. dan sudah sepantasnyalah murid’a itu yang mendatangi guru tersebut.” begitu tulisan yang saya ingat. menurut saya, ketika rasa itu sudah ada. sikap itu bisa dirasakan oleh anak didik’nya (murid). jadi antara guru dan murid tidak ada ikatan emosional. atau secara ekstrim sulit untuk bisa dekat. namun ketika guru sudah berkata (walau dalam hati) “aku ingin mengajarmu dengan sepenuh hati” murid pun akan merasakan kedekatan dengan guru tersebut secara emosional. seharusnya guru yang membuat batasan terhadap muridnya, harus baca buku dale carnegie (how to win friends and influence people) 🙂 agar setidak-tidaknya jadi melek paradigma-nya. 🙂