Saya harap Anda membaca tulisan saya ini sampai selesai dulu. Jangan biasakan menghakimi hanya dari melihat judulnya. Seperti yang saya jadikan judul, kita bisa dipanggil haji hanya dengan uang Rp. 10.000, bahkan tak perlu pergi ke Mekah. Hemat wal murah, kan?
Anda boleh menuduh saya membuat judul yang beraroma “clickbait” atau memprovokasi. Kalau itu yang Anda rasakan, berarti tujuan saya berhasil. Memang itu yang saya mau.
TRADISI
Tiap daerah di negara kita mempunyai tradisi sendiri-sendiri. Dengan daerah lain, tradisi itu bisa sama, mirip-mirip, atau beda sama sekali. Di Bogor misalnya, hampir semua pedagang, biasanya pedagang keliling, memanggil calon pembelinya Pak Haji atau Bu Haji. Lebih-lebih jika calon pembelinya itu seorang bapak-bapak yang memakai kopiah putih. Kemungkinan besar akan disapa Pak Haji tak peduli dia haji betulan atau bukan.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Bogor. Hampir di seluruh nusantara, ada kecenderungan serupa. Pedagang nasi gudeg di Yogyakarta akan memanggil Pak Haji kepada siapa saja yang terlihat seperti bapak-bapak terhormat. Penjual gado-gado di Jakarta akan berteriak “Bu Haji, gado-gadonya!” kepada ibu-ibu berkerudung yang lewat di depan gerobaknya. Bahkan tukang bakso keliling di Surabaya akan membunyikan kentongannya sambil berteriak, “Bakso, Pak Haji!”, ketika dia melihat bapak-bapak calon pembeli.
Sebenarnya, apa yang membuat seseorang terlihat seperti Pak Haji atau Bu Haji di mata pedagang keliling? Jawabannya sederhana, penampilan. Bagi kaum adam, kopiah putih adalah tiket masuk ke dalam klub eksklusif Pak Haji instan. Bagi kaum hawa, kerudung yang rapi dan pakaian yang sopan sudah cukup untuk mendapatkan gelar kehormatan Bu Haji.

PSIKOLOGI PANGGILAN
Ada psikologi menarik di balik tradisi ini. Pedagang keliling, dengan naluri bisnis yang tajam, tahu betul bahwa panggilan Pak Haji atau Bu Haji memiliki efek magis. Pertama, panggilan tersebut menunjukkan penghormatan. Siapa sih yang tidak senang dihormati? Kedua, ada unsur sanjungan terselubung di dalamnya. “Wah, saya dianggap seperti orang yang sudah naik haji nih!” begitu kira-kira yang ada di benak si pembeli.
Lebih jauh lagi, panggilan ini menciptakan kesan bahwa si pembeli adalah orang yang taat beragama, mapan secara ekonomi, dan layak dihormati. Bayangkan perasaan seorang bapak yang baru saja keluar dari masjid setelah salat Jumat, memakai kopiah putihnya, lalu dipanggil Pak Haji oleh tukang es cendol. Pasti ada rasa bangga yang mengalir dalam dadanya, meski mungkin ia belum pernah melihat Ka’bah kecuali di televisi.
DAMPAK SOSIAL
Tradisi ini menciptakan dinamika sosial yang cukup menggelitik. Ada yang merasa senang dipanggil Pak Haji meski belum haji, ada pula yang merasa risih karena merasa tidak pantas mendapat gelar tersebut. Yang paling menarik adalah mereka yang kemudian benar-benar termotivasi untuk menunaikan ibadah haji setelah sering dipanggil Pak Haji oleh pedagang keliling.
Namun, ada juga sisi kelam dari tradisi ini. Beberapa orang menjadi terlalu percaya diri dengan gelar instan mereka. Mereka mulai berperilaku seolah-olah memang sudah naik haji. Ada yang mulai sok alim, ada yang mulai menggurui orang lain soal agama, padahal pengetahuan agamanya pas-pasan. Yang lebih parah lagi, ada yang mulai menggunakan gelar Haji dalam dokumen resmi atau perkenalan formal, padahal mereka belum pernah menginjakkan kaki di tanah suci.
BISNIS KOPIAH PUTIH
Jika kita mau jujur, industri kopiah putih di Indonesia cukup menguntungkan berkat tradisi ini. Bayangkan berapa juta kopiah putih yang terjual setiap tahunnya di pasar-pasar tradisional, toko-toko perlengkapan muslim, hingga pedagang kaki lima di sekitar masjid. Harga kopiah putih yang relatif murah, mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 50.000, membuatnya dapat dijangkau oleh berbagai kalangan.
Pedagang kopiah putih pasti paham betul fenomena ini. Mereka tahu bahwa kopiah putih bukan hanya sekadar penutup kepala, tetapi juga alat transformasi instan. Dengan memakai kopiah putih, seseorang bisa langsung naik kelas sosial di mata pedagang keliling. Dari yang tadinya dipanggil Mas atau Pak, bisa langsung naik tingkat menjadi Pak Haji.
Bahkan, ada pedagang kopiah yang khusus menjajakan dagangannya di sekitar tempat-tempat ibadah dengan dalih bahwa kopiah putih akan membuat pemakainya terlihat lebih khusyuk saat beribadah. Padahal, mungkin yang ada di pikiran mereka adalah “Beli kopiah ini, nanti dipanggil Pak Haji sama tukang bakso!”
IRONI
Saat ini, di mana informasi dapat diakses dengan mudah dan orang-orang semakin kritis, tradisi memanggil Pak Haji berdasarkan penampilan masih tetap bertahan. Bahkan, di kota-kota besar, fenomena ini masih mudah ditemukan. Ironis memang, di satu sisi kita bangga dengan kemajuan teknologi dan pola pikir yang semakin modern, tetapi di sisi lain kita masih terjebak pada penilaian berdasarkan penampilan luar.
Yang lebih ironis lagi, di era media sosial ini, ada orang yang sengaja mengunggah foto diri memakai kopiah putih agar terlihat religius di mata netizen. Mereka tahu betul bahwa kopiah putih adalah alat peraga yang efektif untuk membangun citra sebagai orang yang taat beragama. Likes dan komentar positif pun berdatangan, lengkap dengan sapaan “Masha Allah, Pak Haji” dari para pengikut akun media sosialnya.
GELAR KEHORMATAN
Kalau kita renungkan lebih dalam, sebenarnya apa sih makna dari gelar Haji? Secara harfiah, gelar ini diberikan kepada orang yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Namun, dalam praktiknya di masyarakat kita, gelar ini sudah mengalami perluasan makna. Haji tidak hanya merujuk pada orang yang sudah ke Mekah, tetapi juga pada orang yang terlihat religius, terhormat, atau sekadar memakai kopiah putih.
Fenomena ini sebenarnya menunjukkan betapa relatifnya sebuah gelar atau status sosial. Yang tadinya harus dicapai dengan menabung bertahun-tahun, mengantri nomor porsi haji yang panjang, dan menempuh perjalanan jauh ke tanah suci, kini bisa didapat instan dengan berbekal kopiah putih seharga Rp 10.000.
Tentu saja, ada perbedaan mendasar antara Pak Haji yang asli dengan Pak Haji instan. Yang asli memiliki pengalaman spiritual yang mendalam, pengetahuan agama yang lebih luas, dan tentu saja, legitimasi resmi dari pemerintah. Sementara yang instan hanya memiliki kopiah putih dan panggilan kehormatan dari pedagang keliling.
DAMPAK TERHADAP HAJI SEJATI
Lalu, bagaimana dampak tradisi ini terhadap mereka yang benar-benar sudah naik haji? Ada yang merasa terganggu karena gelar yang mereka peroleh dengan susah payah kini bisa didapat dengan mudah oleh siapa saja. Ada yang merasa prestise gelar Haji menjadi berkurang karena terlalu mudah didapat.
Namun, ada juga yang bersikap bijaksana. Mereka memahami bahwa panggilan Pak Haji atau Bu Haji dari pedagang keliling adalah bentuk penghormatan dan tradisi yang sudah mengakar. Mereka tidak merasa terganggu dan bahkan menganggapnya sebagai hal yang wajar dalam dinamika sosial masyarakat Indonesia.
Yang menarik adalah, beberapa haji sejati justru merasa terbantu dengan tradisi ini. Mereka tidak perlu repot-repot memperkenalkan diri sebagai Haji karena pedagang keliling sudah otomatis memanggil mereka dengan gelar tersebut. Praktis dan efisien!
VARIASI REGIONAL
Jika kita jelajahi berbagai daerah di Indonesia, akan ditemukan variasi menarik dari tradisi ini. Di Aceh, panggilan Pak Haji lebih selektif dan biasanya ditujukan kepada orang yang benar-benar terlihat seperti sudah naik haji atau memiliki pengetahuan agama yang luas. Di Jawa Barat, panggilan ini lebih kasual dan hampir semua bapak-bapak berusia lanjut akan dipanggil Pak Haji. Di Jawa Tengah, panggilan Mas Kaji, Kang Kaji, Pak Kaji, sering ditemukan untuk menyebut Pak Haji.
Di daerah Minangkabau, ada variasi panggilan seperti Pak Aji yang merupakan dialek lokal dari Pak Haji. Sebagaimana Aji Sumaniak dan Aji Piobang yang adalah dua tokoh ulama Minangkabau dalam Perang Padri (1803-1838), julukan Aji disematkan di depan nama mereka.
Yang unik adalah di daerah Bali, di mana mayoritas penduduknya beragama Hindu. Pedagang Muslim di sana tetap menggunakan panggilan Pak Haji kepada pembeli muslim, sementara untuk pembeli Hindu biasanya dipanggil Pak atau Bapak saja. Ini menunjukkan bahwa pedagang juga memiliki kepekaan terhadap latar belakang agama pembeli mereka. Bagaimana mereka bisa mengidentifikasi pembelinya seorang muslim, tentu saja mereka punya caranya sendiri.
GENDER DAN GELAR KEHORMATAN
Menarik juga untuk melihat bagaimana tradisi ini berlaku untuk perempuan. Panggilan Bu Haji biasanya diberikan kepada perempuan yang berkerudung rapi, berpakaian sopan, dan terlihat seperti ibu-ibu yang taat beragama. Namun ada kalanya tidak seperti itu. Tukang sayur langganan yang lewat depan rumah juga memanggil Bu Haji meskipun yang dipanggil hanya berdaster dan memakai bergo, bahkan yang tanpa penutup kepala juga kadang-kadang dipanggil Bu Haji. Berbeda dengan laki-laki yang bisa instan menjadi Pak Haji dengan kopiah putih, perempuan harus memenuhi lebih banyak kriteria visual untuk mendapat gelar kehormatan tersebut.
Ada standar ganda yang menarik di sini. Seorang laki-laki cukup memakai kopiah putih untuk dipanggil Pak Haji, sementara perempuan harus berkerudung, berpakaian sopan, dan kadang-kadang juga harus terlihat seperti sudah berumur. Gadis muda berkerudung jarang sekali dipanggil Bu Haji oleh pedagang keliling.
Fenomena ini mencerminkan konstruksi sosial tentang religiusitas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki cukup menunjukkan simbol religiusitas yang sederhana misalnya kopiah putih, sementara perempuan harus menunjukkan kesopanan dan kematangan yang lebih kompleks.
BISNIS DI BALIK PANGGILAN
Jangan salah sangka, panggilan Pak Haji atau Bu Haji bukan hanya soal tradisi dan penghormatan. Ada aspek bisnis yang cerdik di baliknya. Pedagang keliling tahu betul bahwa panggilan ini dapat meningkatkan peluang penjualan. Orang yang dipanggil Pak Haji cenderung merasa tersanjung dan lebih mudah untuk membeli dagangan.
Lebih dari itu, panggilan ini juga bisa menjadi alat negosiasi harga yang halus. “Pak Haji, ini sudah harga pas nih. Saya kasih harga khusus untuk Pak Haji.” Kalimat seperti ini sering kita dengar di pasar tradisional. Seolah-olah ada privilege khusus untuk para Pak Haji dan Bu Haji.
Ada juga pedagang yang menggunakan panggilan ini sebagai strategi layanan pelanggan. Dengan memanggil Pak Haji, mereka menciptakan atmosfer yang lebih personal dan akrab. Pembeli merasa dihargai dan dihormati, sehingga kemungkinan untuk kembali membeli di tempat yang sama menjadi lebih besar.
EVOLUSI PANGGILAN
Seiring berjalannya waktu, panggilan Pak Haji dan Bu Haji juga mengalami evolusi. Di kalangan generasi muda, ada kecenderungan untuk menggunakan panggilan yang lebih umum seperti Bang, Mas, Kakak, atau bahkan Bos. Namun, panggilan tradisional ini masih tetap bertahan, terutama di daerah-daerah yang masih kental dengan nilai-nilai tradisional.
Yang menarik adalah munculnya panggilan hibrid seperti Bang Haji atau Mas Haji, atau di Jawa Tengah sering terdengar panggilan Kang Kaji. Ini menunjukkan adaptasi tradisi lama dengan gaya komunikasi yang lebih modern. Pedagang muda cenderung menggunakan panggilan ini kepada pembeli yang tidak terlalu tua tetapi tetap ingin diberikan gelar kehormatan.
KESIMPULAN YANG MENGGELITIK
Setelah mengupas tuntas Pak Haji instan ini, kita bisa menarik beberapa kesimpulan yang cukup menggelitik. Pertama, tradisi ini menunjukkan betapa kreatifnya masyarakat Indonesia dalam menciptakan dinamika sosial yang unik. Kedua, kopiah putih ternyata memiliki kekuatan magis yang tidak bisa diremehkan dalam interaksi sosial sehari-hari.
Ketiga, fenomena ini juga mencerminkan kerinduan masyarakat akan penghormatan dan pengakuan sosial. Siapa yang tidak senang dihormati dan dianggap sebagai orang yang taat beragama? Keempat, ada aspek ekonomi yang menarik di balik tradisi ini, mulai dari industri kopiah putih hingga strategi penjualan pedagang keliling.
Namun, yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapi tradisi ini dengan bijaksana. Jangan sampai kita terjebak pada penampilan luar saja tanpa memperhatikan substansi. Jangan pula kita terlalu serius menanggapi panggilan Pak Haji atau Bu Haji dari pedagang keliling sampai merasa benar-benar sudah naik haji.
Pada akhirnya, tradisi ini adalah bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang patut kita syukuri. Ia menunjukkan betapa ramahnya masyarakat kita dalam berinteraksi sosial. Meski kadang terkesan berlebihan atau bahkan keliru, tradisi ini tetap memiliki nilai positif dalam menciptakan atmosfer saling menghormati.
Jadi kalau ingin dipanggil Pak Haji, cukup beli kopiah putih di pasar seharga Rp 10.000. Anda tidak perlu pergi ke Mekah sono atau menunggu puluhan tahun untuk bisa dapat giliran pergi ke tanah suci.
HAJINGAN
Ini sengaja saya jadikan penutup. Selain sebagai pengingat, paragraf ini juga jadi bahan renungan kita bersama. Baik Pak Haji atau Bu Haji, baik haji beneran maupun hasil panggilan dari tukang sayur keliling, itu hanya panggilan atau sebutan semata. Pada akhirnya semua kembali ke penyandangnya. Tidak otomatis seorang haji akan berperilaku layaknya seorang haji, misalnya sabar, baik hati, tidak sombong, jujur, dan perilaku positif lainnya. Kalau konsekuen dengan julukannya, seorang haji seharusnya berperilaku positif. Namun jika sering berkata bohong, suka menipu rekan bisnis, menggunakan dalil-dalil untuk kepentingan pribadi, demen makan minum barang haram, korupsi, dan perilaku tidak terpuji lain padahal dia seorang haji, sangat tidak tepat kalau dia dipanggil Pak Haji atau Bu Haji. Lebih pas kalau dia disebut Hajingan.