Adjie Massaid suaminya Angelina Sondakh meninggal. Tiga penganut Ahmadiyah di Cikeusik Banten meninggal. Temanggung yang ada di kaki gunung bingung, udaranya dingin suasananya panas. Kesamaan apa yang bisa didapat dari tiga kejadian tersebut? Banyak! Tergantung dari mana kita melihat.
Meskipun kematian Adjie Massaid sudah terjadi beberapa hari lalu, kisahnya masih terasa hangat hingga kini. Peristiwa Ahmadiyah di Cikeusik dan kerusuhan setelah sidang penistaan agama di Temanggung juga masih jadi bahan pemberitaan media. Namun demikian, barangkali anda mengganggap tulisan ini adalah cerita basi. Tapi nggak apa-apalah, saya sendiri tidak peduli jika kisah ini dianggap sudah basi.
Bukan masalah basi atau tidak dengan kisah kematian Adjie yang diselimuti isu penyebab kematiannya, pembunuhan di Cikeusik, dan kerusuhan di Temanggung. Saya membuat tulisan tentang Adjie, Ahmadiyah, dan Temanggung karena ingin menyampaikan bahwa selalu ada pelajaran dari segala sesuatu yang terjadi termasuk meninggalnya seseorang. Entah dia rakyat biasa, apalagi pesohor semacam Adjie. Everything happens for a reason. Tentang tulisan ini, saya bermaksud menuangkan kata hati saya perihal mati. Berminatkah anda belajar dari sebuah kematian?
Yang namanya mati tidaklah perlu ditakuti apalagi dihindari. Juga tidak berarti kita harus tidak peduli. Dihadapi atau dihindari, diabaikan atau dinantikan, dia pasti akan datang. Mati pasti akan menjemput sekalipun kita bersembunyi di lubang semut. Untuk itu, mengapa harus galau dengan takdir yang satu ini. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa selalu berbuat kebaikan bagi sesama, bermanfaat bagi dunia. Dengan demikian, saat ajal menjelang, kita telah mewariskan manfaat bagi yang kita tinggalkan dan mudah-mudahan bisa menjadi bekal di alam sana. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggal gading, manusia mati meninggalkan nama. Saat kita sudah tidak berada di bumi ini, selayaknya nama dan amal kebaikanlah yang kita tinggalkan.
Jelas kematian memberikan pelajaran berharga. Sayangnya sebagian dari kita tidak peduli dengan pelajaran itu. Berbuat durjana seolah-olah akan hidup selamanya. Mengeruk harta yang bukan haknya bagaikan nanti pasti akan dibawa ke alam baka. Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang yang berbuat korup, mereka yang mendzolimi orang lain, orang-orang yang tega memakan harta anak yatim, dan perbuatan maksiat lain. Bila manusia ingat mati, itu semua barangkali tidak akan terjadi.
Saat kematian datang, lebih sering dianggap terlalu cepat datangnya. Apalagi bila yang meninggal mereka yang dari segi usia dianggap belum ’pantas’ mati alias masih muda. Padahal semua orang tahu bahwa untuk mendapatkan gelar almarhum atau almarhumah, syaratnya bukan faktor usia. Gelar itu merupakan sebuah ketetapan yang tidak akan bisa ditolak oleh siapapun yang sudah waktunya menerima. Jadi intinya, datangnya gelar itu hanyalah terkait masalah waktu, bukan umur. Kehadirannya bisa cepat, juga bisa lambat.
Pertanyaan yang perlu kita renungkan sekarang, kebaikan apa saja yang telah kita lakukan selama diberi kesempatan untuk hidup ini?
Sumber gambar: di sini
@Miss Chusy: amin
@Ajeng Sari Rahayu: setuju
sebaiknya jangan menyia-nyiakan waktu
Hopefully we can reach it, too, amiin…^^
@Miss Chusy: terima kasih juga. your real name’s so inspiring for everyone 😉
thanks yaa pak…very inspiring…
I do agree with you that everything happens for a reason…yaa kalo kontrak kita udah habis emanng kudu ‘pindah’…toh segala sesuatu pasti ada pelajarannya (seperti kata bapak juga)…dan caranya pun emang sudah ditentukan…so just use our time to do goo useful things that we can reach ‘khusnul khotimah’…amiiin…^^