Berkelebat ikan di dalam lubuk, langsung tau jantan atau betina.
Anda yang orang Minang atau Padang pasti paham dari sederetan kata yang jadi judul tulisan ini. Pepatah Minang yang satu ini benar-benar menohok jiwa para pemalas sosial dan si lambat tanggap di zaman serba instan. Bayangkan saja, ikan yang berkelebat sekilas di dalam air keruh pun bisa langsung diidentifikasi jenis kelaminnya oleh mata yang terlatih. Sementara kita? Terkadang butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menyadari bahwa tetangga sebelah rumah ternyata sudah pindah.
Pepatah ini mengajarkan tentang ketajaman observasi dan kecepatan dalam membaca situasi. Dalam era digital yang mengharuskan kita untuk geser kiri, kanan, atas, atau bawah menggunakan jempol dalam hitungan detik, kemampuan ini menjadi semakin relevan. Atau mungkin malah semakin tumpul karena terlalu banyak distraksi?
DRAMA HARIAN YANG TAK PERNAH TAMAT DI LINGKUNGAN KELUARGA
Mari kita mulai dari unit terkecil masyarakat yang paling menyenangkan untuk diamati yaitu keluarga. Dalam keluarga, kemampuan membaca situasi dengan cepat bukanlah kemampuan super, melainkan keterampilan bertahan hidup.
Contohnya, ketika Ibu tiba-tiba diam seribu bahasa sambil mencuci piring dengan suara yang lebih keras dari biasanya. Anak yang cerdas akan langsung tahu bahwa ini bukan saatnya untuk meminta uang jajan tambahan atau mengaku nilai ulangan matematikanya jeblok. Sementara anak yang kurang peka akan tetap santai sambil bertanya, “Bu, besok aku mau nonton bioskop sama teman, boleh kan?” Hasilnya? Bisa-bisa muncul piring terbang di dalam rumah yang hendak mendarat di jidat si anak.
Atau ambil contoh klasik lainnya, Ayah yang tiba-tiba rajin membereskan halaman rumah di hari Minggu pagi. Keluarga yang berpengalaman akan segera tahu bahwa ini pertanda ada tamu penting yang akan datang, mungkin calon mertua atau bos kantor. Mereka akan segera bersiap-siap, mandi, dan berpakaian rapi. Sedangkan anggota keluarga yang lamban akan tetap santai dalam kaos oblong dan sarung hingga tamu benar-benar datang, lalu panik dan sembunyi di kamar.
Fenomena radar keluarga ini juga berlaku untuk membaca suasana hati pasangan. Istri yang sudah menikah bertahun-tahun biasanya bisa mendeteksi dari cara suami, misalnya, menutup pintu mobil. Apakah hari itu dia mendapat masalah di kantor atau tidak. Begitu juga sebaliknya, suami yang peka akan langsung tahu dari nada “Selamat pagi, sayang” yang diucapkan istrinya apakah dia perlu waspada atau bisa santai sepanjang hari.
LABORATORIUM SOSIAL TERBESAR BERUJUD TETANGGA
Semua orang punya tetangga, entah dia persis berada di sebelah rumah atau jauh. Makhluk misterius yang hidupnya selalu menjadi bahan pengamatan gratis 24/7. Di sini, kemampuan “takilek ikan” benar-benar diuji. Tetangga yang cerdas bisa langsung tahu dari suara pintu yang dibanting berkali-kali bahwa pasangan di rumah sebelah sedang bertengkar. Mereka akan bijak menunda rencana meminjam gula atau bertanya tentang tagihan listrik.
Contoh konkretnya, ketika melihat tetangga tiba-tiba sering keluar masuk rumah dengan wajah murung dan kantong mata yang menghitam, orang yang peka akan langsung tahu bahwa mungkin ada masalah keuangan atau kesehatan di keluarga tersebut. Mereka akan lebih sensitif dan tidak akan pamer tentang liburan mewah yang baru saja mereka lakukan.
Sebaliknya, ada juga tetangga yang tingkat kepekaannya setara dengan batu. Mereka akan tetap memutar musik keras-keras meski tetangga sebelah sedang ada yang sakit. Atau tetap mengadakan pesta hingga larut malam padahal besok tetangga ada acara penting pagi-pagi buta.
Yang paling menghibur adalah adanya detektif tetangga yang bisa langsung tahu dari jenis mobil yang parkir di depan rumah, siapa yang sedang bertamu. “Oh, itu mobil merah milik anak sulungnya yang dokter, pasti ada kabar gembira nih.” Atau “Wah, mobilnya pak RT parkir di sana, pasti ada masalah administrasi.”
ARENA GLADIATOR DI DUNIA KERJA
Di dunia kerja inilah kemampuan “takilek ikan” benar-benar dipertaruhkan. Kantor adalah ekosistem yang kompleks di mana setiap gerakan, ekspresi wajah, dan bahkan cara seseorang memegang cangkir kopi bisa menjadi indikator penting.
Karyawan lama yang bertahan di kantor biasanya bisa langsung membaca dari cara atasan berjalan apakah hari itu aman untuk mengajukan cuti atau justru harus ekstra waspada. Jika bos berjalan dengan langkah cepat sambil mengerutkan dahi, itu artinya ada masalah besar. Waktu yang tepat untuk menghindari kontak mata dan pura-pura sangat sibuk dengan pekerjaan.
Contoh yang lebih spesifik, ketika melihat kolega dari Divisi Keuangan tiba-tiba sering berbisik-bisik dengan Bagian Personalia, karyawan yang peka akan langsung tahu bahwa mungkin akan ada perubahan besar dalam perusahaan. Bisa jadi PHK, reorganisasi, atau perubahan kebijakan gaji. Mereka akan mulai mempersiapkan CV dan jejaring, sementara kolega yang kurang peka akan tetap santai hingga pengumuman resmi keluar.
Ada juga fenomena menarik tentang membaca politik kantor. Misalnya, ketika melihat dua manajer yang biasanya akrab tiba-tiba jarang terlihat bersama, atau ada perubahan komposisi peserta rapat rutin. Orang yang jeli akan segera tahu bahwa ada pergeseran kekuasaan atau konflik internal.
SENI MEMBACA HATI DALAM PERSAHABATAN
Dalam konteks persahabatan, kemampuan membaca situasi dengan cepat adalah kunci untuk mempertahankan hubungan yang sehat. Sahabat yang baik adalah mereka yang bisa langsung tahu kapan temannya butuh ditemani dan kapan butuh sendiri, kapan perlu dihibur dan kapan perlu ditegur.
Contohnya, teman yang peka akan langsung tahu dari perubahan pola unggahan media sosial bahwa sahabatnya sedang mengalami masalah. Jika biasanya aktif mengunggah, tiba-tiba sepi, atau sebaliknya, tiba-tiba berlebihan dalam mengunggah dengan caption yang terlalu positif, itu bisa jadi tanda bahwa ada yang tidak beres.
Atau ketika dalam obrolan grup WhatsApp, sahabat yang biasanya responsif tiba-tiba hanya membalas dengan “ok” atau emoji, teman yang peduli akan langsung tahu bahwa perlu pendekatan personal. Mereka tidak akan menunggu hingga masalah membesar atau bertanya di grup besar, tapi akan langsung mengirim pesan pribadi atau mengajak bertemu empat mata.
Yang menyedihkan adalah ketika kita memiliki teman yang sama sekali tidak peka. Mereka akan tetap cuek meski kita sudah memberikan sinyal-sinyal jelas bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Atau sebaliknya, mereka akan tetap memaksa untuk nongkrong padahal kita sudah menunjukkan tanda-tanda butuh waktu sendiri.
PEKA DI ERA DIGITAL
Di era digital ini, kemampuan “takilek ikan” menghadapi tantangan baru. Kita harus belajar membaca situasi tidak hanya dari bahasa tubuh dan ekspresi wajah, tapi juga dari digital body language atau bahasa tubuh digital baik berupa teks maupun audiovisual. Cara seseorang mengetik pesan, waktu respons, pemilihan emoji, bahkan aktivitas online mereka bisa menjadi indikator suasana hati dan kondisi mereka.
Misalnya, teman yang biasa membalas pesan dengan cepat tiba-tiba sering “read” tapi tidak merespon, atau yang biasa menggunakan emoji sekarang hanya mengetik teks polos. Orang yang peka akan langsung tahu bahwa ada perubahan dalam kondisi emosional teman tersebut.
Namun di sisi lain, teknologi juga membuat kita semakin malas untuk benar-benar mengamati lingkungan sekitar. Kita lebih sibuk melihat layar ponsel daripada memperhatikan perubahan-perubahan kecil di sekitar kita. Akibatnya, banyak yang kehilangan kemampuan natural untuk membaca situasi sosial.
MENGASAH KEMAMPUAN OBSERVASI
Lalu bagaimana caranya mengasah kemampuan “takilek ikan” ini? Pertama, kurangi waktu menatap layar dan lebih banyak mengamati lingkungan sekitar. Perhatikan detail-detail kecil. Cara orang berjalan, ekspresi wajah mereka, perubahan kebiasaan sehari-hari, hal-hal yang tampaknya sepele.
Kedua, latih empati dengan mencoba memahami perspektif orang lain. Jangan langsung menghakimi atau bereaksi, tapi coba pahami dulu apa yang mungkin mereka rasakan atau alami.
Ketiga, perbanyak interaksi tatap muka secara langsung. Ngobrol lewat telepon pintar dan lewat video memang praktis, tapi tidak bisa menggantikan kekayaan informasi yang bisa kita dapatkan dari berinteraksi langsung dengan seseorang.
CARA MENGHADAPI ORANG TIDAK PEKA
Nah, ini bagian yang paling menantang. Bagaimana cara menghadapi orang-orang yang tingkat kepekaannya setara dengan dinosaurus yang sudah punah sejak zaman purba? Mereka yang biasa kita sebut “ndablek” atau tidak peka ini adalah spesies khusus yang membutuhkan penanganan ekstra sabar dan strategi khusus.
Komunikasi Eksplisit
Pertama-tama, lupakan ekspektasi bahwa mereka akan menangkap sinyal halus Anda. Dengan orang ndablek, komunikasi harus sejelas air mineral dalam kemasan. Jika Anda ingin mereka berhenti melakukan sesuatu, jangan berharap isyarat mata atau helaan napas akan berhasil. Katakan langsung, “Tolong berhenti melakukan X karena Y.”
Contohnya, alih-alih berharap tetangga yang suka memutar musik keras akan membaca situasi ketika Anda menutup jendela dengan agak keras, lebih baik langsung mengetuk pintu dan bilang, “Pak, maaf, anak saya sedang belajar, bisa tolong volumenya dikecilkan?” Simpel, langsung, dan efektif. Ah, takut, malu, nggak enak, kalau gitu itu lain soal. Bukan salah mereka yang ndablek, kitanya yang tidak tegas.
Teknik Sandwich
Untuk orang ndablek di lingkungan kerja atau keluarga, gunakan teknik sandwich yaitu kritik di antara dua pujian. “Wah, kerjaan kamu bagus banget ya. Cuma mungkin lain kali kalau ada rapat bisa datang tepat waktu? Soalnya ide-ide kamu selalu berguna banget.” Mereka butuh petunjuk yang sangat jelas tentang apa yang salah, tapi jangan sampai merasa diserang.
Strategi Rekaman Rusak
Kadang-kadang, orang ndablek butuh diingatkan berkali-kali tentang hal yang sama. Jangan frustrasi jika harus mengulang pesan yang sama berulang kali seperti rekaman rusak. Anggap saja mereka seperti anak kecil yang butuh pengulangan untuk belajar. “Ingat ya, kalau mau pinjam barang tolong bilang dulu.” Ulangi terus hingga menjadi kebiasaan.
Menjadi Contoh
Tunjukkan contoh perilaku yang Anda harapkan. Jika Anda ingin mereka lebih peka terhadap perasaan orang lain, jadilah contoh dengan menunjukkan empati. “Wah, kamu kayaknya lagi capek ya? Istirahat dulu saja.” Siapa tahu lama-lama mereka akan meniru pola perilaku ini.
Teknik Psikologi Kebalikan
Untuk kasus yang ekstrem, coba gunakan psikologi kebalikan. Alih-alih minta mereka melakukan sesuatu, katakan bahwa mereka mungkin tidak bisa melakukannya. “Ah, kamu mah susah diharapkan untuk ingat hal-hal kecil gini.” Ego mereka akan terpancing untuk membuktikan sebaliknya.
Terima dan Adaptasi
Yang paling penting, terima kenyataan bahwa beberapa orang memang terlahir seperti ini. Mereka bukan bermaksud jahat, hanya saja radar sosial mereka rusak dari sononya. Daripada frustrasi, lebih baik beradaptasi dengan mengantisipasi perilaku mereka dan menyesuaikan ekspektasi.
Misalnya, jika Anda tahu bahwa teman Anda selalu telat dalam acara grup, berikan jam yang lebih awal 30 menit. Atau jika kolega Anda selalu lupa tenggat, ingatkan mereka H-3, H-2, dan H-1.
Memanfaatkan Perantara
Kadang-kadang, orang ndablek lebih mudah menerima pesan dari orang ketiga. Jika komunikasi langsung tidak berhasil, minta bantuan orang yang lebih dekat dengan mereka atau yang mereka hormati untuk menyampaikan pesan. “Eh, si A bilang kamu diminta lebih hati-hati sama waktu rapat.”
Tetap Waras
Yang terpenting, jangan biarkan orang ndablek menguras energi mental Anda. Tetapkan batasan yang jelas dan jangan ragu untuk istirahat dari interaksi dengan mereka jika sudah terlalu sering. Ingat, Anda tidak bertanggung jawab untuk mengubah kepribadian orang lain, Anda harus melindungi kewarasan diri sendiri.
Manfaatkan Jika ada Kesempatan Baik
Ketika orang ndablek tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tepat, beri apresiasi. “Wah, makasih ya kamu ingat buat nanya kabar aku. Aku lagi butuh teman ngobrol nih.” Penguatan positif kadang lebih efektif daripada kritik terus-menerus.
Ingat, berhadapan dengan orang ndablek adalah maraton, bukan sprint. Butuh kesabaran ekstra, strategi yang tepat, dan kadang-kadang rasa humor untuk bertahan. Tapi dengan pendekatan yang benar, bahkan batu pun bisa diajar mengapung, meski mungkin butuh waktu satu dekade.
KEPEKAAN SEBAGAI KETERAMPILAN HIDUP
Pepatah “Takilek ikan di dalam lubuak, lah tau jantan jo batinonyo” mengingatkan kita bahwa kepekaan dan kemampuan membaca situasi bukanlah bakat alamiah yang hanya dimiliki segelintir orang, tapi keterampilan yang bisa diasah. Di era yang semakin kompleks ini, kemampuan tersebut menjadi semakin penting untuk navigasi sosial yang sukses.
Orang yang mampu dengan cepat membaca situasi akan lebih mudah beradaptasi, membangun hubungan yang baik, dan menghindari konflik yang tidak perlu. Mereka seperti ikan yang bisa dengan lincah bergerak di dalam air keruh, sementara yang lain masih kebingungan mencari arah.
Jadi, mulai sekarang, cobalah untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Perhatikan detail-detail kecil, dengarkan tidak hanya dengan telinga tapi juga dengan mata dan hati. Siapa tahu, kemampuan “takilek ikan” Anda akan menyelamatkan Anda dari berbagai situasi canggung atau bahkan membuka peluang-peluang tak terduga dalam hidup.
Ingat, dalam hidup ini kita semua adalah ikan yang berenang di dalam lubuk yang sama. Yang membedakan adalah seberapa cepat dan tepat kita bisa membaca arus dan memahami sesama ikan di sekitar kita. Dan percayalah, kemampuan ini akan sangat berguna, baik untuk menghindari predator maupun untuk menemukan kawanan yang tepat.
Kalau Anda jadi ikan, penginnya dimasak apa? Asam padeh? Pesmol? Pepes? Goreng? Bakar? Atau mau dimakan mentah begitu saja? Atau mau yang lain?