Site icon Wong Kam Fung

Cintailah Pasar Korea. Hlah?

Setelah sebelumnya membahas pilihan lokasi piknik yang salah satunya adalah warung di tengah pasar, yang entah mengapa terdengar seperti ide brilian untuk mencicipi aroma bumbu dan keringat secara bersamaan, kini saatnya kita mengupas lebih dalam tentang pasar itu sendiri. Bukan warungnya, meski warung tetap akan menjadi bintang tamu di pembahasan ini karena, mari kita akui, pasar tanpa warung seperti drama Korea tanpa adegan menangis berlebihan: hambar dan tidak masuk akal.

Bicara soal pasar, ada fenomena menarik yang sedang menghantui generasi milenial dan Gen-Z Indonesia berupa obsesi terhadap segala hal yang berbau Korea. Mulai dari skincare hingga makanan, semuanya harus ada embel-embel Korean style atau ala Korea. Termasuk romantisasi pasar-pasar Korea yang terlihat bersih, teratur, dan aestetik di berbagai drama atau vlog. Padahal, kita punya pasar tradisional sendiri yang sudah beroperasi sejak nenek moyang masih pakai kemben, tapi entah mengapa yang asing selalu tampak lebih menarik daripada yang sudah ada di depan mata.

Mari kita bedah tuntas karakteristik pasar Indonesia versus pasar Korea, karena siapa tahu setelah membaca ini, Anda akan lebih menghargai Pasar Minggu yang aromanya campur aduk antara ikan asin dan parfum murahan ketimbang bermimpi berkeliling Gwangjang Market sambil berpose ala influenser.

CIRI KHAS PASAR INDONESIA: SENGKARUT YANG TERORGANISIR

Pasar tradisional Indonesia adalah manifestasi sempurna dari konsep sengkarut terorganisir, kekacauan yang entah bagaimana tetap berfungsi dengan baik. Bayangkan sebuah orkestra di mana setiap musisi memainkan lagu yang berbeda, tapi bagaimanapun harmoninya tetap terdengar, meski kadang bikin telinga berdenging.

Keriuhan yang Menjadi Identitas

Ciri paling kentara dari pasar Indonesia adalah serangan sensori yang datang dari segala arah. Mata Anda akan dimanjakan dengan warna-warni sayuran yang kadang sudah agak layu tapi tetap dijual dengan penuh percaya diri, daging yang tergantung di kait-kait besi dengan lalat sebagai hiasan, dan ikan yang menatap Anda dengan mata kosong seolah bertanya, “Kenapa hidup ini kejam?”

Hidung akan disambut aroma kompleks campuran antara bumbu rempah, ikan segar (atau tidak terlalu segar), daging mentah, buah-buahan matang, dan sesekali tercium aroma misterius yang membuat Anda berpikir itu bau apa. Telinga tidak kalah sibuk menangkap simfoni tawar-menawar, klakson angkutan umum, suara tukang bakso keliling, dan ibu-ibu yang berteriak memanggil temannya dari ujung ke ujung pasar dengan volume yang bisa menjadi saingan pelantang masjid.

Sistem Navigasi Ruwet

Pasar tradisional Indonesia tidak mengenal konsep layout yang logis. Lorong-lorongnya berkelok-kelok seperti maze, dengan gang-gang kecil yang muncul tiba-tiba menuju area yang tidak Anda duga. Ingin mencari penjual ayam? Siap-siap tersesat dulu di antara pedagang sepatu bekas dan penjual jilbab. Butuh cabe? Bersiaplah melewati deretan toko emas yang entah mengapa selalu ada di pasar sebelum akhirnya menemukan pedagang sayur yang Anda cari.

Yang lebih menantang lagi, nomor atau nama gang jarang tertera jelas. Sistem navigasinya mengandalkan penanda unik seperti “sebelah warung Mak Iyem yang jual es campur,” atau “abis tukang tambal ban, belok kanan, nanti ada yang jual ayam potong.” GPS? Menyerah duluan. Kalau memang mau menggunakan GPS, gunakan GPS yang kependekan dari Gunakan Pedagang Sekitar alias rajin bertanya ke para pedagang yang ada di situ.

Warung sebagai Pusat Komando

Di setiap sudut pasar Indonesia, pasti ada warung yang berfungsi sebagai pusat informasi, tempat istirahat, dan media sosial offline. Warung-warung ini adalah CNN-nya pasar. Semua berita, gosip, dan harga komoditas terkini beredar di sini. Pemilik warung biasanya ibu-ibu yang punya ingatan seperti hard drive dan kemampuan multitasking yang bikin CEO Fortune 500 iri.

Mereka bisa sambil masak, melayani pembeli, ngobrol dengan tetangga, dan mengingat bahwa Pak RT kemarin beli tempe tiga bungkus dan belum bayar. Warung ini juga berfungsi sebagai tempat parkir anak-anak yang ikut ibu belanja, lengkap dengan cemilan dan minuman untuk menenangkan bocah yang mulai rewel karena kepanasan.

Tradisi Tawar Menawar

Kalau di Korea ada Taekwondo, di pasar Indonesia ada tawar-menawar, olahraga yang melibatkan kemampuan akting, psikologi, dan stamina mental. Pedagang akan menyebutkan harga yang sudah pasti dinaikkan terlebih dahulu, pembeli akan teriak “Mahal banget!” dengan ekspresi syok yang berlebihan, lalu dimulailah negosiasi yang bisa berlangsung lima menit hingga setengah jam.

Ada strategi khusus dalam tawar-menawar, mulai dari pura-pura pergi (yang 80% berhasil membuat pedagang panik dan menurunkan harga), sampai bawa-bawa cerita sedih tentang ekonomi yang sulit. Pedagang pun tidak kalah kreatif, dengan dalih “harga segini sudah rugi, Bu” sambil wajah memelas yang sudah dilatih bertahun-tahun.

CIRI KHAS PASAR KOREA: AESTETIK DAN FUNGSIONAL

Sementara itu, pasar Korea hadir dengan pendekatan yang berbeda 180 derajat. Kalau pasar Indonesia adalah jazz improvisasi, pasar Korea adalah simfoni klasik yang sudah diatur sedemikian rupa hingga setiap not dimainkan dengan presisi.

Kebersihan Adalah Sebagian dari Iman

Ciri paling mencolok dari pasar Korea adalah tingkat kebersihan yang membuat Anda berpikir, “Apa ini pasar atau rumah sakit?” Lantai dipel sampai mengkilap, tidak ada sampah berserakan, dan yang paling mengherankan, tidak ada bau amis atau anyir yang biasanya identik dengan pasar tradisional.

Pedagang daging dan ikan menggunakan lemari pajang berpendingin yang membuat produk mereka terlihat seperti karya seni di museum. Sayuran ditata rapi dalam keranjang yang seragam, dengan label harga yang jelas dan tidak bisa ditawar. Bahkan area toilet (ya, toilet di pasar Korea bersih!) dilengkapi dengan tisu, sabun, dan pengering tangan otomatis.

Pasar Cheongnyangni (정량리 시장)

Sistematis

Pasar Korea mengadopsi sistem zonasi yang ketat. Area sayuran ya sayuran, area daging ya daging, tidak ada yang campur aduk. Di Pasar Cheongnyangni (청량리 시장) misalnya, kita akan melihat deretan pedagang ginseng segar dan kering berikat-ikat di salah satu lorong di lantai bawah. Di lantai atas, berkumpul para pedagang ginseng yang sudah berbentuk kapsul, teh, ginseng dalam kemasan saset siap minum, permen, dan lain-lain. 

Lorong-lorongnya lebar dan lurus, dengan papan penanda yang jelas dalam bahasa Korea dan Inggris. Anda tidak akan tersesat karena semuanya sudah dipetakan dengan detail.

Setiap pedagang memiliki kios yang seragam, dengan fasilitas lengkap seperti timbangan digital, mesin kasir, dan bahkan ada yang menerima pembayaran digital. Tidak ada pedagang yang duduk di lantai dengan alas terpal, semuanya punya tempat yang layak dengan meja dan kursi yang ergonomis. Namun demikian, saya pernah lihat pedagang yang menggelar dagangannya di jalan tetapi itu di luar pasar.

Food Court yang Instagramable

Pasar Korea biasanya memiliki food court yang desainnya bagus dan menarik. Tempatnya bersih, terang, dengan dekorasi yang minimalis tapi tetap hangat. Menu-menu ditampilkan dengan foto-foto profesional yang membuat ludah menetes, lengkap dengan harga yang jelas dan tidak bisa ditawar.

Yang unik, banyak pedagang makanan Korea yang sudah sepuh tapi tetap energik dan bangga dengan produk mereka. Mereka akan menjelaskan dengan detail bagaimana makanan dibuat, bahkan kadang memberikan sampel gratis. Tapi jangan berharap bisa ngobrol gosip seperti di warung pasar Indonesia, mereka lebih fokus pada profesionalisme.

Teknologi yang Terintegrasi

Pasar modern Korea sudah mengintegrasikan teknologi dalam operasionalnya. Ada aplikasi untuk mengecek ketersediaan barang, sistem pembayaran digital yang universal, bahkan beberapa pasar sudah menggunakan robot sebagai petugas kebersihan. WiFi gratis sudah standar, dan banyak area yang menyediakan colokan untuk ngecas. Di langit-langit setiap lorong terpasang CCTV yang aktif memantau setiap pergerakan manusia di dalam pasar, bukan sekadar CCTV pajangan untuk menakut-nakuti maling.

Pasar Cheongnyangni (청량리 시장)

TERNYATA MANUSIA DI MANA-MANA SAMA SAJA

Meski terlihat berbeda drastis, pasar Korea dan Indonesia ternyata memiliki beberapa persamaan yang cukup mengejutkan. Ini membuktikan bahwa di balik perbedaan budaya dan sistem, manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan dan perilaku yang universal.

Fungsi Sosial

Baik pasar Korea maupun Indonesia sama-sama berfungsi sebagai pusat sosial masyarakat. Di kedua negara, pasar bukan hanya tempat berbelanja, tapi juga tempat bersosialisasi, berbagi informasi, dan mempertahankan tradisi kuliner. Orang datang ke pasar tidak hanya untuk membeli kebutuhan, tapi juga untuk bertemu tetangga, ngobrol, dan merasakan kehangatan komunitas.

Di pasar Korea, meski lebih terorganisir, tetap ada elemen sosial yang kuat. Pedagang dan pembeli reguler memiliki hubungan personal, dan ada ritual saling bertanya kabar yang mirip dengan yang terjadi di pasar Indonesia. Bedanya, di Korea obrolannya lebih singkat dan langsung ke intinya, sementara di Indonesia bisa berlanjut jadi diskusi politik atau gosip tetangga.

Identitas Kuliner yang Kuat

Kedua pasar sama-sama menjadi penjaga dari identitas kuliner tradisional. Pasar Indonesia menjaga resep-resep nusantara yang turun temurun, sementara pasar Korea mempertahankan makanan tradisional mereka di tengah gempuran makanan Barat dan fusion.

Yang menarik, di kedua pasar, Anda akan menemukan makanan yang tidak bisa Anda dapatkan di restoran mewah. Ada rasa autentik yang hanya bisa ditemukan di pasar, karena para pedagang ini adalah penjaga resep asli yang sudah diwariskan secara turun temurun. Mau itu gudeg Yu Djum di pasar Beringharjo atau kimchi buatan halmeoni di pasar Gwangjang, rasanya punya soul yang berbeda.

Dulu, sebelum Pasar Gembrong diubah menjadi seperti sekarang, ada seorang ibu pedagang soto di lantai bawah, saya biasa menyebutnya bunker, yang rasa sotonya autentik. Meskipun banyak pedagang soto di Bogor, tak ada yang bisa menyamainya. Hanya soto di bunker Pasar Gembrong ini satu-satunya yang rasa lezatnya khas. Selain soto, dia juga punya gimbal udang yang ukurannya lebih gede dari piring makan. Gimbal ini juga menjadi kesukaan saya. Biasanya saya beli gimbal ini untuk dibawa pulang karena tidak akan habis jika dimakan di tempat. Saat ini saya tidak tahu apakah warung soto itu masih ada atau tidak. 

Masih di Bogor, kali ini di Pasar Anyar, saya punya warung gudeg langganan. Tempatnya juga di lantai bawah. Selain gudeg, dia menjual soto ayam yang cocok buat lidah saya. Warung ini masih ada sampai sekarang. Kalau Anda mau ke sana, mending bareng saya saja karena repot kalau harus menunjukkan di mana lokasinya.

Ekonomi Rakyat yang Tangguh

Pasar tradisional di kedua negara menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kecil. Pedagang-pedagangnya adalah entrepreneur sejati yang membangun usaha dari nol, dengan modal seadanya dan semangat pantang menyerah. Mereka bangun subuh, pulang petang, dengan dedikasi yang luar biasa untuk menghidupi keluarga.

Di Indonesia, banyak pedagang pasar yang berhasil menyekolahkan anak hingga sarjana dari hasil berjualan sayuran atau ikan. Di Korea pun sama, banyak pemilik warung pasar yang berhasil membesarkan anak-anaknya hingga menjadi professional. Ada hal menarik dari kesibukan yang terjadi di pasar tersebut.

Adaptasi Terhadap Modernitas

Kedua pasar juga sama-sama beradaptasi dengan perkembangan zaman, meski dengan cara yang berbeda. Pasar Indonesia mulai mengadopsi teknologi seperti pembayaran digital meski masih pilih-pilih, sementara pasar Korea terus berinovasi dengan teknologi terbaru.

Yang menarik, kedua pasar tetap mempertahankan esensi tradisionalnya di tengah modernisasi. Pasar Korea yang sudah canggih tetap mempertahankan sentuhan manusia dalam pelayanan, sementara pasar Indonesia yang mulai modern tetap mempertahankan kehangatan dan keakraban yang menjadi ciri khasnya.

PERBEDAAN YANG BIKIN GELENG-GELENG KEPALA

Setelah membahas persamaan, sekarang saatnya mengupas perbedaan yang kadang bikin kita bertanya-tanya, apa kita dan mereka ini hidup di planet yang sama?

Konsep Kebersihan yang Berbeda Dimensi

Perbedaan paling mencolok adalah standar kebersihan. Kalau pasar Indonesia menganut filosofi “yang penting bersih hati,” pasar Korea lebih ke “yang penting bersih fisik, hati urusan belakangan.” Di pasar Indonesia, melihat pedagang ikan yang tangannya basah memegang uang lalu memegang ikan lagi adalah pemandangan normal. Di pasar Korea, hal seperti itu bisa jadi viral di media sosial dengan tagar #foodsafety.

Sistem pengelolaan sampah pun berbeda drastis. Di pasar Indonesia, sampah organik seringkali berserakan dan menjadi menu gratis untuk kucing-kucing pasar. Di pasar Korea, sistem pembuangan sampahnya terorganisir dengan baik, bahkan ada sistem daur ulang yang ketat. Mau buang plastik? Ada tempatnya. Mau buang sampah organik? Ada juga tempatnya. Mau buang meja dan kursi dagangan karena mau diganti baru atau lemari pendingin, misalnya? Tinggal lapor, nanti akan ada petugas kebersihan yang mengambilnya

Tawar Menawar

Perbedaan fundamental lainnya adalah kultur harga. Di Indonesia, harga adalah titik awal untuk negosiasi. “Berapa harganya?” diikuti dengan “Bisa kurang nggak?” adalah ritual wajib. Bahkan kalau harganya sudah murah, tetap saja ditawar karena sudah dari sononya begitu.

Di pasar Korea, harga adalah harga. Final. No debat! Kalau tertera 5,000 won, ya bayar 5,000 won. Tidak ada drama tawar-menawar, tidak ada ekspresi syok berlebihan, tidak ada ancaman pindah ke pedagang lain. Sistem ini memang efisien, tapi bagi orang Indonesia, rasanya ada yang kurang. Seperti makan nasi tanpa lauk.

Level Kebisingan dan Atmosfer

Pasar Indonesia adalah live concert sepanjang hari. Suara pedagang yang berteriak menawarkan dagangannya, pembeli yang bertanya harga dengan volume seperti mau ngomong ke orang di ujung pulau, ditambah sura latar kendaraan yang berlalu lalang, menciptakan simfoni kekacauan yang bagaimanapun juga menenangkan bagi telinga lokal.

Pasar Korea jauh lebih tenang dan beradab. Pedagang tidak berteriak-teriak, pembeli berbicara dengan volume normal, dan bahkan musik latar yang diputar pun volume rendah. Bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan kebisingan pasar, suasana pasar Korea mungkin terasa seperti perpustakaan, tenang tapi agak mencekam.

Membangun Hubungan vs Transaksional

Di pasar Indonesia, hubungan pedagang-pembeli bisa berlanjut menjadi pertemanan, bahkan keluarga. Pedagang ingat nama anak-anak Anda, tahu kapan suami Anda gajian, dan bahkan mau kasih utang kalau lagi kepepet. Ada sentuhan emosional yang terbentuk seiring waktu.

Pasar Korea lebih transaksional. Profesional tapi impersonal. Pedagang ramah dan ringan tangan, tapi hubungannya tetap dalam batas bisnis. Mereka tidak akan bertanya tentang kehidupan pribadi Anda atau memberikan nasihat hidup gratis seperti pedagang pasar Indonesia yang kadang jadi konselor dadakan.

Presentasi Produk: Apa Adanya vs Dipoles

Cara penyajian produk di kedua pasar berbeda seperti bumi dan langit. Di pasar Indonesia, sayuran ditumpuk dalam karung atau digelar di atas terpal, dengan sistem ambil sendiri yang mengandalkan kejujuran pembeli. Ikan dijual dalam kondisi utuh, masih dengan sisik dan mata yang menatap nanar, memberi Anda pengalaman autentik sepenuhnya.

Di pasar Korea, semuanya didisplai dengan estetik yang Instagramable. Sayuran dicuci bersih, dipotong rapih, dikemas dalam plastik pembungkus, dan diberi label yang jelas. Ikan sudah difilter dan dikemas rapi sehingga meningkatkan visual yang memikat.

Bangunan dan Infrastruktur

Infrastruktur pasar Indonesia umumnya apa adanya. Bangunan sederhana, ventilasi seadanya, penerangan yang kadang redup, dan lantai yang… eee bisa dibilang memakai sepatu anti air adalah pilihan yang bijak. Tapi ada daya tariknya tersendiri dalam kesederhanaan ini.

Pasar Korea dibangun dengan standar modern. Ventilasi yang baik, pencahayaan yang cukup, lantai yang tidak licin, bahkan ada AC di beberapa area. Ramah kursi roda, dengan fasilitas untuk pembeli difabel. Pada dasarnya, mereka sudah berpikir ke depan untuk semua kemungkinan.

Analog vs High-Tech

Pasar Indonesia masih banyak melakukan transaksi tunai. Meski beberapa pedagang sudah terima QRIS, mayoritas masih lebih suka tunai karena lebih simpel dan tidak ribet. Sistem pencatatan pun masih manual, ingatan pedagang adalah database utama.

Pasar Korea sudah sepenuhnya digital. Pembayaran dengan kartu atau pembayaran mobile adalah hal biasa. Sistem inventori tercatat dengan baik, dan bahkan ada aplikasi untuk pelanggan untuk mengecek ketersediaan produk sebelum datang ke pasar.

MANA YANG LEBIH BAIK?

Setelah mengupas tuntas karakteristik kedua pasar, pertanyaan yang muncul adalah, mana yang lebih baik? Jawabannya adalah tidak gampang.

Pasar Korea unggul dalam hal efisiensi, kebersihan, dan kenyamanan berbelanja. Tapi ada sesuatu yang hilang yaitu jiwa dan kehangatan yang menjadi ciri khas pasar tradisional. Pengalaman berbelanjanya memang mulus, tapi terasa hampa.

Pasar Indonesia, meski kacau dan kadang bikin frustasi, punya kehangatan dan keautentikan yang sulit ditiru. Ada rasa kebersamaan yang kuat, dan pengalaman berbelanja yang lebih dari sekadar transaksi. Tapi tentu saja, ada ruang untuk perbaikan dalam hal kebersihan dan organisasi.

Idealnya adalah kombinasi keduanya, efisiensi dan kebersihan ala Korea, tapi tetap dengan kehangatan dan semangat kebersamaan ala Indonesia. Tapi kemungkinan besar, ini akan tetap menjadi utopia karena setiap kultur punya DNA-nya sendiri yang sulit diubah.

Yang jelas, setelah menganalisis kedua pasar ini, kita jadi lebih menghargai karakteristik unik masing-masing. Pasar Indonesia mungkin tidak secanggih atau sebersih pasar Korea, tapi dia punya daya tarik dan karakter yang tidak bisa dibeli dengan teknologi tercanggih sekalipun.

Dan buat Anda yang masih terobsesi dengan segala hal berbau Korea, mungkin sudah saatnya Anda mulai mencintai pasar tradisional kita. Sebab kalau boleh jujur, aroma campuran bumbu dan keringat sambil tawar-menawar dengan ibu-ibu pedagang bisa jadi pelatih kehidupan dadakan. Itu adalah pengalaman yang tak akan bisa dilakukan oleh drama Korea.

Jadi, lain waktu Anda mau belanja, cobalah apresiasi pasar tradisional kita. Siapa tahu, Anda akan menemukan bahwa kadang-kadang, rumput tetangga tidak selalu lebih hijau, kadang cuma lebih bersih saja. Terus, kenapa judulnya Cintailah Pasar Korea? Itu ajakan bagi mereka yang benci pasar Korea dan hanya cinta pasar Indonesia. Kalau mereka sudah suka, kan tidak perlu diajak sudah berangkat sendiri.

Exit mobile version