Kalau saya ditanya apakah saya orang Jawa asli, saya akan jawab dengan penuh percaya diri, ya saya Jawa tulen. Pertanyaan berikutnya, apakah saya turunan berdarah biru, dengan sepenuh hati saya akan bilang, kedua orang tua saya berdarah merah, bukan biru. Kemudian, siapakah 5 saudara yang menemani bayi lahir? Jika pertanyaan itu diajukan sebelum saya membuat tulisan ini, saya hanya akan bengong dan menggaruk-garuk kepala saya yang tidak gatal karena tidak tahu mesti menjawab apa.
ORANG JAWA
Semua suku di negeri ini punya adat istiadat, tradisi, norma, bahasa termasuk pepatah petitihnya, dan lain-lain. Begitu juga Suku Jawa atau bisa disebut Orang Jawa. Namun demikian bukan otomatis kita ini mengerti dan memahami semua hal terkait dengan suku di mana kita termasuk di dalamnya. Bukannya saya mengentengkan pengetahuan Anda tentang kesukuan Anda tetapi kalau Anda berani jujur, saya yakin pasti ada hal-hal yang tidak Anda tahu, mengerti, dan pahami. Ini juga berlaku untuk orang Jawa baik Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur.
SAUDARA BAYI
Yang memicu saya ingin membuat tulisan ini adalah satu bahasan ketika suatu pagi saya ngobrol dengan seorang tetangga baik asal Surabaya, Jawa Timur. Dari obrolan yang terjadi, muncul perihal lima saudara yang menemani seorang bayi ketika dilahirkan. Dalam tradisi Jawa dan bagi mereka yang percaya serta menjalankannya, saudara bayi yang nirwujud ini akan diperlakukan setara seolah-olah ada sosoknya. Salah satunya misalnya saat makan. “Ketika makan, jangan lupa mengajak saudara-saudaranya itu untuk makan.” Begitu salah satu ucapan tetangga saya. Sebagai manusia yang dilahirkan di Jawa oleh kedua orangtua yang juga Jawa, saya geleng kepala ketika ditanya tahu tidak lima saudara bayi itu. Namun demikian, sebagai orang Jawa yang hidup di jaman sekarang yang lagi hot-hot-nya perihal AI (Artificial Intelligent), langsung dong saya tanya Meta AI punyanya WhatsApp. Jawabannya adalah puser, kawah, ihang, megengan, dan kecipir.
5 SAUDARA YANG MENEMANI BAYI LAHIR
Bagi saya 5 saudara bayi ini merupakan pengetahuan baru, barangkali bagi Anda juga. Apakah pengetahuan ini perlu khususnya bagi orang Jawa? Meskipun mungkin tak perlu dan tak ada pengaruhnya dalam hidup ini, setidaknya kita jadi tahu ternyata ada tradisi kita yang seperti itu. Apakah harus dijalani? Kalau itu kembali ke masing-masing.
Lima saudara yang menemani bayi saat lahir dalam tradisi Jawa adalah:
1. Puser (Ari-ari/Plasenta)
Ah, si puser ini memang yang paling terkenal di antara kelima saudaranya. Bayangkan, selama sembilan bulan dia sudah jadi “room service” terbaik di dunia untuk sang bayi. Oksigen? Check. Nutrisi? Check. Pembuangan limbah? Double check. Kalau ada award untuk “Pelayan Terbaik Sepanjang Masa”, puser ini juaranya. Ironisnya, begitu bayinya lahir, puser langsung di-PHK dengan dipotong tali pusarnya. Kejam memang dunia ini.
Dalam kepercayaan Jawa, ari-ari atau plasenta ini dianggap sebagai saudara tertua si bayi. Makanya, setelah bayi lahir, ari-ari tidak boleh dibuang sembarangan. Ada ritual khusus untuk “menguburkannya” dengan hormat, biasanya di halaman rumah dengan diberi sesajen. Konon, kalau ari-ari tidak diperlakukan dengan baik, si bayi bisa rewel atau sakit-sakitan. Entah benar atau tidak, tapi nenek moyang kita sudah percaya dari turun-temurun. Siapa kita untuk mendebat kebijaksanaan yang sudah teruji ratusan tahun?
2. Kawah (Air Ketuban)
Kawah ini sebenarnya adalah air ketuban yang menyelimuti bayi selama dalam kandungan. Kalau diibaratkan, kawah ini seperti kolam renang pribadi si bayi selama sembilan bulan. Bayangkan betapa nyamannya, berenang-renang kecil sambil nunggu waktu “check out” dari hotel rahim ibunya.
Air ketuban ini dalam tradisi Jawa dianggap sebagai saudara kedua yang melindungi bayi. Fungsinya memang luar biasa: menjaga suhu tubuh bayi tetap stabil, melindungi dari benturan, bahkan membantu perkembangan paru-paru. Setelah bayi lahir, air ketuban ini juga tidak boleh diperlakukan sembarangan. Biasanya dikumpulkan dan dibuang di tempat yang dianggap sakral, seperti di bawah pohon besar atau di sungai dengan doa-doa khusus.
Lucunya, masyarakat modern sekarang malah ada yang menyimpan air ketuban untuk penelitian sel punca (stem cell). Tradisi lama bertemu sains baru, siapa yang menyangka?
3. Ihang atau Bau (Aroma Bayi Baru Lahir)
Nah, yang satu ini paling unik. Ihang atau bau ini merujuk pada aroma khas bayi yang baru lahir. Anda pasti tahu kan, bayi baru lahir itu punya aroma yang sangat khas? Bukan bau amis ikan, bukan juga bau parfum mahal, tapi ada aroma “bayi” yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dalam filosofi Jawa, aroma ini dianggap sebagai tanda bahwa si bayi masih “bersih” dari dosa duniawi. Makanya, orang tua sering kali mencium-cium kepala bayinya yang baru lahir, bukan hanya karena gemas, tapi juga untuk “menghirup” keberkahan yang ada pada si bayi.
Saudara ketiga ini memang yang paling abstrak. Bagaimana cara menghormatinya? Tidak ada ritual khusus, tapi kepercayaannya adalah jangan sampai si bayi terkena aroma-aroma tidak sedap di hari-hari pertama kelahirannya. Makanya, ruangan tempat bayi baru lahir biasanya diberi wangi-wangian atau kemenyan.
4. Megengan (Lendir)
Megengan atau lendir ini adalah cairan kental yang keluar bersamaan dengan bayi saat dilahirkan. Kalau dalam istilah medisnya disebut mukus. Lendir ini sebenarnya berfungsi sebagai “pelumas” alami saat proses persalinan, memudahkan bayi keluar dari rahim.
Dalam tradisi Jawa, megengan dianggap sebagai saudara keempat yang membantu kelancaran proses kelahiran. Tanpa lendir ini, proses melahirkan bisa lebih sulit dan menyakitkan. Jadi, meskipun kelihatannya “jorok”, lendir ini sebenarnya sangat berjasa.
Ritual untuk megengan biasanya digabung dengan ritual untuk kawah, karena keduanya sama-sama berupa cairan. Dikumpulkan dalam wadah khusus dan dibuang di tempat yang dianggap suci dengan doa agar si bayi tumbuh sehat dan lancar dalam segala hal.
5. Kecipir (Vernix Caseosa)
Terakhir adalah kecipir, atau dalam istilah medisnya disebut vernix caseosa. Ini adalah lapisan putih kekuningan yang melapisi kulit bayi baru lahir, seperti krim pelembap alami. Fungsinya untuk melindungi kulit bayi dari air ketuban dan memudahkan proses kelahiran.
Saudara kelima ini dianggap sebagai “baju” pertama si bayi. Dalam tradisi Jawa, kecipir ini tidak boleh langsung dibersihkan total setelah bayi lahir. Biasanya dibiarkan beberapa saat sambil dibacakan doa-doa. Konon, kecipir yang masih menempel di kulit bayi bisa menjadi pertanda keberuntungan dan perlindungan.
ANTARA TRADISI DAN MODERNITAS
Sekarang pertanyaannya, di era Instagram, TikTok, dan ChatGPT ini, apakah tradisi lima saudara bayi masih relevan? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, tergantung kacamata mana yang Anda pakai.
Dari sisi medis, semua yang disebut “lima saudara” itu memang benar-benar ada dan memiliki fungsi penting dalam proses kehamilan dan persalinan. Jadi, nenek moyang kita ternyata sudah saintifik jauh sebelum sains modern berkembang. Mereka mungkin tidak tahu istilah plasenta, air ketuban, atau vernix caseosa, tapi mereka tahu betul pentingnya elemen-elemen tersebut.
Yang menarik adalah bagaimana tradisi ini mengajarkan kita untuk menghormati setiap aspek dari proses kelahiran. Di era modern yang serba praktis, kita sering melupakan bahwa melahirkan adalah proses sakral yang melibatkan banyak elemen. Tradisi lima saudara ini mengajarkan kita untuk tidak memandang remeh hal-hal yang tampak sepele.
DILEMA GENERASI SANDWICH
Bagi generasi sandwich seperti kita yang berada di antara orang tua yang masih kental dengan tradisi dan anak-anak yang tumbuh di era digital, tradisi seperti ini sering menimbulkan dilema. Di satu sisi, kita ingin menghormati warisan budaya nenek moyang. Di sisi lain, kita juga tidak ingin terlihat “kampungan” atau “tidak modern” di mata teman-teman urban.
Padahal, siapa bilang tradisi dan modernitas harus bertentangan? Kita bisa saja menjalankan ritual lima saudara sambil tetap melakukan prosedur medis yang standar. Kita bisa menghormati ari-ari dengan ritual tradisional sambil tetap memeriksakan kondisi bayi ke dokter spesialis anak. Tidak ada yang salah dengan menjadi orang modern yang tetap menghargai tradisi.
WISDOM DALAM KESEDERHANAAN
Lima saudara yang menemani bayi lahir ini mungkin terdengar kuno bagi sebagian orang. Tapi coba pikir lagi, bukankah indah jika kita melihat proses kelahiran tidak hanya sebagai peristiwa biologis semata, tapi juga sebagai momen spiritual yang melibatkan banyak elemen?
Tradisi ini mengajarkan kita bahwa tidak ada yang namanya “sampah” dalam proses kelahiran. Semua memiliki makna dan fungsi. Ari-ari yang biasanya dibuang ternyata adalah saudara tertua. Air ketuban yang tampak kotor ternyata adalah pelindung setia. Lendir yang kelihatan menjijikkan ternyata adalah penolong kelancaran. Aroma yang mungkin aneh bagi sebagian orang ternyata adalah tanda kesucian. Dan lapisan putih yang tampak seperti kotoran ternyata adalah baju perlindungan alami.
Mungkin inilah yang disebut wisdom atau kearifan lokal. Kemampuan melihat makna di balik hal-hal yang tampak sederhana. Di era yang serba instan dan pragmatis ini, tradisi lima saudara mengajak kita untuk berhenti sejenak dan merenungkan keajaiban proses kehidupan.
Jadi, apakah Anda akan menjalankan tradisi ini jika suatu saat memiliki anak? Atau cukup tahu saja sudah merasa berbudaya? Pilihan ada di tangan Anda. Yang pasti, sekarang Anda sudah tidak akan bengong lagi kalau ditanya tentang lima saudara yang menemani bayi lahir. Dan siapa tahu, suatu hari nanti Anda bisa jadi tetangga yang memberikan pencerahan pada orang lain, seperti tetangga saya dari Surabaya itu.
Karena pada akhirnya, tradisi itu seperti resep masakan nenek. Mungkin tidak selalu kita praktikkan, tapi indah untuk diketahui dan diceritakan ke generasi selanjutnya. Siapa tahu mereka butuh wisdom ini suatu saat nanti.







