Tentang Rasa

10
1308

tentang rasaDalam keadaan sedang tertimpa musibah, sensitifitas akan meningkat. Bukan hanya yang mengalami, yang tidakpun juga bisa menjadi lebih sensitif. Oleh karenanya, jangan pernah memainkan perasaan dalam keadaan seperti ini.

Anda pasti ingat dampak tayangan infotainment Silet 7 Nopember 2010 yang begitu tajam memberitakan hingga menoreh luka yang ada menjadi semakin dalam. Karena pilihan kata yang digunakan sangat menyakitkan sekaligus menakutkan, marahlah mereka yang menyaksikan. Bagaimana orang tidak marah dengan tayangan yang sudah tidak berdasar juga membuat panik orang? Korban gunung Merapi yang masih dalam penderitaan di tempat pengungsian ditambah lebih panik dengan ramalan berbau klenik. Ramalan bahwa Merapi akan meletus lagi 8 Nopember atau esok hari dengan kekuatan lebih dahsyat yang jangkauan awan panasnya sampai 65 km jelas sebuah omong kosong. Meskipun akhirnya televisi tersebut menayangkan permohonan maaf, perasaan rakyat terlanjur tersakiti.

Kebebalan rasa bukan hanya ditunjukkan orang media. Pejabat negara yang seharusnya mententeramkan rakyat justru malah menghasilkan kebalikannya dalam ucapannya. Seperti yang diberitakan di detiknews.com, ucapan Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng sangat menyakiti hati para pengungsi dan juga rakyat negeri ini. Perkataan dia, “Mereka ini tinggal menunggu bunyi klenteng-klenteng lalu sarapan, klenteng-klenteng lalu  makan siang dan klenteng-klenteng lalu makan malam.” memberi kesan para pengungsi itu seperti kumpulan binatang yang sedang dikandang. Bukan masalah kebutuhan fisik saja yang diperlukan para pengungsi tetapi juga kepedulian perasaan. Mereka juga memiliki perasaan dan bahkan lebih rentan dalam kondisi seperti itu.

Tentang perasaan yang tersakiti juga melibatkan wakil rakyat. Entah apa yang ada dalam pikiran ketua DPR Marzuki Alie saat berkomentar terkait dengan musibah tsunami di Mentawai. Ucapan dia di depan wartawan bahwa tsumani adalah konsekuensi warga yang hidup di pulau sangat melukai perasaan korban dan keluarganya juga mereka yang peduli dengan penderitaan para korban. Lagi, meskipun sudah meminta maaf, perasaan banyak orang terlanjur perih. Orang yang katanya memimpin dewan yang juga katanya mewakili rakyat nyatanya lidahnya telah menyakiti rakyat. Pernyataan dia pun lantas mendapat kritik keras dari para politisi, pengamat dan LSM. Namun nasi sudah menjadi bubur.

Kita sendiri tidak tahu apakah kejadian tersebut semata-mata karena keseleo lidah atau ketidakpekaan perasaan. Berpikir positif saja, mereka tentu tidak punya niat memperkeruh keadaan. Hanya saja karena dikonsumsi oleh publik, apa yang disampaikan bisa berdampak masif. Mungkin bukan hanya tokoh publik atau tayangan infotainment yang berucap ngawur seperti itu, tetapi karena hal itu keluar dari mulut figur publik dan bisa dilihat dan didengar masa maka efeknya menjadi luar biasa.

Lalu apa yang bisa dipelajari dari kejadian tersebut? Nampaknya perlu adanya manajemen perasaan juga pengelolaan sensitifitas khususnya bagi mereka yang menjadi konsumsi media atau orang-orang media sendiri. Jangan sampai kebebalan rasa yang dipunyai menyebabkan perasaan orang lain tersakiti.

Sumber gambar: di sini

10 COMMENTS

  1. @MT di Bogor: tapi punya duit banyak ya? hehehe…
    @julie: silet ada manfaatnya kalo buat ngerok jenggot apa kumis 😆 kalo yang satu entu malah jadi racun
    @andinoeg: kayaknya semua infotainment deh… lebay semua

  2. @zico: itulah bukti ketajaman lidah, mesti lebih hati-hati menggunakannya apalagi bila yang ngomong itu tokoh publik
    @sjafri mangkuprawira: hiya, siapapun harus belajar lebih banyak untuk yang satu ini

  3. Bener banget pak, acara tayangan silet telah melakukan kesalahan fatal dengan tidak memilih ‘diksi’ yang tepat, dan juga menayangkan kejadian ‘musibah’ dari unsur supranatural-klenik, yang jauh dari pandangan secara agama (islam). saya juga menyayangkan tayangan itu.
    nah untuk para politikus, ketika mereka ‘slip of tounge’ dalam memberikan pendapat terhadap bencana yang terjadi. itu akan dimanfaatkan oleh ‘lawan politik-nya’ ibarat kata jadi kesempatan emas bagi lawan politiknya untuk menjatuhkannya 🙂

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here