Sebutan sehari wisata di Rangkasbitung sebenarnya tidak pas karena kami berada di kota ini tidak selama 24 jam, hanya tiga jam 40 menit yaitu dari pukul 11.30 WIB sampai 15.10 WIB. Tapi tak apalah, judul Wisata di Rangkasbitung Dalam Sehari rasanya lebih enak dibaca dan didengar.
Sebelum membaca lebih jauh, saya sarankan membaca tulisan Menuju Rangkasbitung dari Bogor terlebih dahulu. Tulisan berjudul Wisata di Rangkasbitung Dalam Sehari ini merupakan kelanjutan dari tulisan tersebut.
Target Wisata di Rangkasbitung
Ada beberapa lokasi yang akan kami datangi saat wisata di Rangkasbitung ini. Douwes Dekker Huis atau rumah yang dulu ditinggali Multatuli adalah tujuan pertama. Rumah ini terletak di Jln. Rt Hardiwinangun No. 5, Rangkasbitung. Dari stasiun ke lokasi hanya membutuhkan waktu 13 menit jalan kaki. Rumah tersebut masih terawat bagus. Ada papan nama yang sebagian terhalang tanaman bunga di dekat tiang tembok. Bukan Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, tapi nama seseorang yang mungkin sekarang menjadi penghuni atau pemilik rumah itu. Kami mengambil beberapa foto tetapi hanya dari luar pagar.

Meskipun di Google Maps lokasi itu ditandai dengan nama Eduard Douwes Dekker, apakah memang rumah kuno yang asri itu betul tempat tinggalnya Multatuli? Dari beberapa informasi yang tersebar di internet, petilasan tempat tinggal Douwes Dekker ternyata ada di belakang RSUD Dr. Adjidarmo Jln. Iko Jatmiko No.1, Muara Ciujung Barat, Rangkasbitung. Informasi ganda ini perlu ditelusuri lebih lanjut. Saya berencana kembali ke Rangkasbitung suatu saat nanti untuk mencari kejelasan tentang rumah Douwes Dekker itu.
Museum Multatuli dan Perpustakaan Saidjah Adinda
Dari Douwes Dekker Huis perjalanan dilanjutkan ke Museum Multatuli. Cuma butuh tiga menit jalan kaki. Sayangnya museum tutup. Hanya Senin sampai Jumat museum dibuka. Jam buka sesuai jam kantor. Museum ini berada di sisi timur alun-alun Rangkasbitung, berseberangan dengan Masjid Agung Al A’raaf. Karena tak bisa masuk, hanya bagian luar dan lingkungan sekitar yang bisa dinikmati. Di sebelahnya terdapat Perpustakaan Saidjah Adinda yang juga tutup pada Sabtu dan Minggu.


Selesai dari museum kemudian berjalan ke Masjid Agung Al A’raaf. Selain untuk tempat ibadah, tidak ada yang istimewa untuk dilihat karena bukan bangunan bersejarah. Bentuk fisik masjid ini merupakan bangunan baru. Justru yang menarik perhatian adalah gedung di dekat masjid itu, sebuah bangunan lama yang menjadi kantor DPRD Kabupaten Lebak dan gedung di sebelahnya yaitu kantor Bupati Lebak yang dulu pernah ditinggali Bupati Lebak kedua Raden Adipati Karta Natanagara. Bupati yang dipanggil Regen Sepoeh oleh masyarakat setempat ini disebut dalam novel Max Havelaar karya Multatuli.
Ketika sedang berjalan dan berada di depan kantor Bupati Lebak, yang tadinya hanya gerimis jadi hujan lebat. Kami segera berjalan cepat menuju Alfamart Kapugeran tidak jauh dari tempat itu untuk membeli payung sekalian berteduh. Sayangnya minimarket ini tidak menjual payung. Tak apalah. Setidaknya kami bisa numpang berteduh sambil menikmati roti dan air mineral di terasnya dan yang barusan dibeli di minimarket itu.
Balong Ranca Lentah
Begitu hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Tujuannya adalah Balong Ranca Lentah yang menjadi tujuan wisata favorit masyarakat Lebak. Dihitung dari Masjid Al A’raaf, jarak ke balong (kolam) tidak terlalu jauh. Hanya 500 meter dan cuma butuh enam menit untuk jalan kaki. Di sekeliling balong itu ramai pedagang bila malam hari. Itulah sebabnya Balong Ranca Lentah dikenal sebagai destinasi wisata kuliner. Sayangnya kami datang di siang hari. Banyak gerobak makanan kosong di sekeliling balong. Hanya ada beberapa pedagang yang bisa kami temui dan itu pun tak menggugah selera karena bukan makanan khas Rangkasbitung. Setelah sejenak menikmati Balong Ranca Lentah, segera kami melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya. Tetapi kami sempatkan mampir dulu di minimarket dekat tempat itu untuk beli payung. Jaga-jaga kalau hujan turun saat tak ada tempat untuk berteduh.
Berburu Sate Bandeng
Kami sudah bertekad untuk tetap jalan kaki ke Jln. Jendral Sudirman. Konon di sana ada penjual sate bandeng. Balong Ranca Lentah ke sate bandeng yang bernama Bagas dan persisnya berada di Tanjakan Bangarum, Jln. Jendral Sudirman 33 berjarak 2,9 km. Info dari Google Maps, butuh waktu 35 menit jika jalan kaki. Kalau cuma segitu lamanya, terlalu ringan untuk dijalani. Kami pernah berjalan kaki tiga jam lebih. Dan tak ada masalah.

Dengan tanpa terburu-buru kami menyusuri jalan, salah satunya adalah Jln. Juanda. Ada hal mengherankan bagi kami, atau mungkin ini kebiasaan yang dianggap wajar bagi warga setempat, yang kami temui ketika jalan. Hal ini sebenarnya sudah kami lihat sebelumnya saat mulai jalan kaki dari Stasiun Rangkasbitung. Ketika menyaksikan mobil yang parkir tidak di tepi jalan, saya hanya berpikir pemiliknya hanya berhenti sebentar dan tergesa-gesa. Begitu pula saat melihat motor yang berhenti agak ke tengah jalan, pikiran saya masih sama. Namun ketika hal itu saya temui kembali bahkan lebih dari sekali, muncul pertanyaan: Apakah ini kebiasaan masyarakat setempat? Apakah karena jalan tak begitu ramai sehingga boleh parkir sesukanya? Mudah-mudahan ini hanya kelakuan segelintir, dua gelintir, tiga gelintir, empat gelintir … beberapa gelintir oknum saja.
Akhirnya Naik Angkot
Saat jalan kaki menyusuri trotoar, banyak angkot berseliweran menyalip di sebelah kanan kami. Beberapa di antara mereka menawarkan jasa. Kami tetap bersikukuh pada tekad kami untuk jalan kaki. Hingga ada satu angkot yang berhenti dan bertanya tujuan kami. Waktu itu, kami berdiri di depan kios rokok yang ditunggu seorang ibu. Si ibu ini juga bertanya ke mana kami hendak pergi. Saat kami bilang akan ke Jln. Jendral Sudirman untuk mencari sate bandeng, ibu itu menyuruh kami naik angkot yang sabar menunggu. Dia kemudian bilang ke sopir angkot supaya kami diturunkan di toko roti di depan gereja. Jarak 2,9 km yang tadinya akan kami tempuh dengan jalan kaki ternyata hanya sekitar satu kilo yang kami jalani. Selebihnya kami duduk manis di dalam angkot.
Rupanya angkot itu tidak mengarah ke Jln. Jendral Sudirman, tapi ke Jln. Sunan Kalijaga. Dan kami musti mengucapkan terima kasih kepada ibu penunggu kios dan sopir angkot karena ternyata sate bandeng Bagas yang di Jln. Jendral Sudirman hanyalah rumah produksi saja, bukan tempat makan sebagaimana yang kami kira. Pantas saja di Google Maps tidak ada foto warung atau restoran atau setidaknya bangunan yang menggambarkan tempat makan, hanya sebentuk bangunan bercat biru yang pintunya tertutup dan mirip bengkel.
Ketemu Sate Bandeng
Kami diturunkan di seberang Gereja Bethel Indonesia Jln. Sunan Kalijaga. Toko roti yang disebutkan oleh ibu penjaga kios tak kami lihat di seberang gereja. Yang ada hanya toko yang sedang direnovasi. Kami sempat longak-longok sambil berjalan ke arah Pasar Rangkasbitung mencari toko roti yang dimaksud. Akhirnya yang dicari ketemu. Ada toko yang di depannya tergantung banner merah bertuliskan TOKO ROTI warna kuning. Rupanya toko ini merupakan pindahan dari toko yang sedang direnovasi yang kami jumpai tadi. Sementara pindah ke toko yang sekarang sampai renovasi selesai yang diperkirakan enam bulan lagi, begitu kata pemiliknya.
Di toko roti yang bukan hanya jual roti ini kami jumpai sate bandeng. Bukan cuma yang bermerek Bagas, tapi juga ada sate bandeng merek Andy. Sambil melayani kami, pemilik toko bercerita. Sate bandeng yang dijual di wilayah Rangkasbitung ya dua merek itu. Produsen sate bandeng Bagas ada di Tanjakan Bangarum, Jln. Jendral Sudirman. Yang merek Andy dibuat di Muara, Kampung Jeruk. Bagas merupakan nama anak pembuatnya, sedangkan Andy adalah nama yang bikin. Katanya, lebih banyak yang beli merek Andy karena rasanya lebih enak. Dari harga juga lebih mahal, selisih Rp 2.500. Harga Bagas Rp 15.000 per tusuk, Andy Rp 17.500. Untuk membuktikannya, keduanya kami beli. Namun buat saya, dua-duanya sama enaknya. Hanya saja sate bandeng Andy teksturnya lebih lembut dan lebih basah (juicy) serta ukurannya lebih panjang sedikit.
Kudapan Khas Rangkasbitung
Selain sate bandeng, kami juga berburu makanan khas Rangkasbitung. Menyenangkan ketika buruan itu juga ada di toko ini. Bahkan penduduk lokal yang kebetulan lagi belanja mempromosikan sebuah kue bernama jojorong yang terbuat dari tepung beras dan di dalamnya berisi gula merah (gula Jawa). Katanya kue ini merupakan penganan paling enak. Saya setuju. Jojorong sangat lembut di lidah. Manisnya gula merah yang ada di dalam menyempurnakan rasa gurih dari tepung beras yang jadi bahan utamanya.
Wisata di Rangkasbitung kurang komplit bila tidak membawa pulang kopi asli Rangkasbitung. Di samping kopi bubuk asli Rangkasbitung cap Ayam seharga Rp 7.500 per bungkus, kami juga beli roti lokal yang pabriknya milik toko roti tersebut dan berlokasi di belakangnya. Mereknya Sedap Sari. Bisa jadi merek itu juga nama dari toko tersebut. Kami menebak begitu karena kami tak melihat plang nama yang terpajang di depannya. Di plastik bungkus rotinya, dia memajang nomor telepon (0252) 201654. Siapa tahu Anda ada rencana mau menghubungi. Dari pemilik toko roti itu pula kami mendapat informasi kalau di Rangkasbitung tidak ada tempat makan yang menjual sate bandeng. Seperti Bagas dan Andy, mereka hanya bikin lalu disetorkan ke pihak lain semacam Toko Roti Sedap Sari untuk menjualnya. Sate bandeng ini tidak tahan lama. Hanya tahan 12 jam di luar kulkas.


Kupat Tahu Rangkasbitung
Keluar dari toko roti, kami lalu jalan kaki menyusuri trotoar menuju stasiun Rangkasbitung. Namun sebelumnya kami menikmati kupat tahu khas Rangkasbitung yang ada di pinggir trotoar Jln. Sunan Kalijaga sekadar untuk mengisi perut. Tadinya kami berencana makan siang saat sampai di sate bandeng Bagas di Jln. Jendral Sudirman, namun rencana itu gagal total. Ternyata yang di Jln. Jendral Sudirman itu hanya rumah produksi, bukan warung atau restoran. Bumbu kacang yang dituang di atas kupat tahu ini berasa sedap, hanya agak asin saja buat lidah saya. Rasanya unik dan berbeda bila dibandingkan bumbu kacang yang ada di doclang, ketoprak, gado-gado, juga pecel Madiun. Harganya pun wajar, cukup Rp 10.000 per porsi.

Waktunya Pulang Wisata di Rangkasbitung
Sampai di Stasiun Rangkasbitung kami tak lama menunggu karena CL jurusan Tanah Abang yang berangkat pukul 15.10 WIB sudah tersedia. Tiba di Stasiun Tanah Abang pukul 17.00 WIB. Dilanjut CL jurusan Bogor yang berangkat pukul 17.15 WIB. Kereta masuk Stasiun Bogor pukul 18.39 WIB. Purna sudah wisata di Rangkasbitung hari ini.

Sungguh berkesan sehari wisata di Rangkasbitung. Hanya saja, kami berencana kembali ke Rangkasbitung. Mungkin dalam waktu dekat. Ada hal yang membuat kami penasaran: keberadaan rumah Multatuli!
Sumber foto: koleksi pribadi
Sebenarnya ada tempat makan sate bandeng di station kereta, letaknya bagian kiri pas jalanan mau keluar ke jalan raya. Enak2 makanan khas rangkas kaki lima gitu lengkap ma lalapan??☺️
Cakep infonya..,coba ah mksh yaaa?
Terima kasih infonya ?
Hehehe seru juga ya jalan jalan yg bisa dilalui kereta, semangat untuk tulisan selanjutnya
Wah … catet! Rencananya besok mau ke Rangkasbitung buat jalan-jalan.
Dari kota ke Curug munding, masih berapa jam yaa ?
Kami? Hmmm pasti ditemani pak Lurah Andi
Didi Supardi: bareng istri, Di
Ke sana lagi yuk.
@utami utar: siap!