Dua hari yang lalu saya membeli gado-gado di dekat kantor. Saya tertarik mencoba untuk membeli karena terprovokasi teman yang pernah ke sana. Katanya harganya murah dan enak. Namun ternyata, saya malah menjadi korban si ibu penjual gado-gado.
Saya sempat juga tersenyum geli, meskipun dalam hati, saat bercakap-cakap dengan si ibu. Ketika saya tanya apa nama kampung di mana dia berjualan, dia menyebutkan sebuah nama, kemudian nama kampung lain yang berada di ujung jalan kampung itu dan nama tempat berikutnya. Nama tempat yang terakhir dia sebut itulah yang membuat saya menjadi geli. Meskipun salah, saya tahu apa yang dia maksudkan. Si ibu menyebut nama itu Bogor Leksit. Anda tahu yang dia maksud? Pasti si ibu itu mengucapkan sebuah perumahan mewah yang ada di pinggir jalan tol jagorawi. Saya kemudian mengambil kesimpulan memang seperti itulah cara orang-orang di kampung si ibu gado-gado mengucapkan kata yang berasal dari bahasa Inggris itu.
Jika di awal tulisan ini saya katakan saya menjadi korban si ibu penjual gado-gado, memang benar demikian adanya. Entah disengaja atau tidak oleh si ibu itu, saya berpikiran positif saja. Namun apa yang dia lakukan merupakan tindakan diskriminatif terhadap saya.
Kejadian yang tidak mengenakkan itu tidak saya perpanjang. Saya anggap hal itu perkara kecil dan sepele. Harga yang dia berikan ke saya memang Rp.500 lebih mahal dibandingkan ke teman-teman saya. Tetapi okelah, no big deal buat saya. Apa yang si ibu itu lakukan sebagai penjual memang hak dia. Dalam teori pemasaran memang ada diskriminasi pasar yang suka diistilahkan dengan segmentasi dan diferensiasi. Makanya jika anda beli nasi goreng di Mang Kutil hanya Rp5.000, di Pak Kumis Rp12.000, di Hilton bisa Rp50.000. Nonton film di Kursi-Penuh-Bangsat Theater cuma Rp6.000, di Tuentiwan Rp20.000, di Planet Holiwut menjadi Rp250.000, padahal film yang diputer sama. Barangkali si ibu kita ini telah menerima transfer ilmu pemasaran lewat mimpi dari Philip Kotler yang biang pemasaran dari negerinya Paman Sam.
Saya masih tidak mengerti perlakuan ibu yang diskriminatif terhadap saya ini. Entah apa alasannya kok saya di-charge lebih mahal. Saya menjadi korban diskriminasi kelamin bila alasan si ibu itu memberi harga lebih mahal kepada saya karena saya laki-laki. Atau barangkali karena melihat yang beli ganteng? (eit, kalo ini sih pembelinya narsis). Atau karena penampilan saya yang tajir? (hutangnya membanjir maksudnya).
Sekarang kita tengok diri kita masing-masing. Apakah kita seperti si ibu itu, yaitu menjual gado-gado? (walah, ngaco!). Jangan-jangan kita ini berperilaku diskriminatif seperti dia. Bisa jadi mungkin kita ini nggak sadar bahwa apa yang kita perbuat merupakan perbuatan diskriminatif, seperti contohnya pilih kasih terhadap murid yang pandai dengan yang kurang pintar bila anda seorang pengajar.
Anda tentunya tidak mau menjadi korban diskriminasi. Menjadi korban diskriminasi itu benar-benar menyakitkan. Mungkin bukan badan anda yang sakit, tetapi perasaan anda, hati anda. Saya bisa merasakan hal itu karena saya sendiri pernah menjadi korban, ya yang terakhir sama si ibu gado-gado itu. Beberapa orang juga pernah curhat baik secara langsung maupun lewat tulisan. Mereka bilang betapa pedih hati mereka saat menjadi korban diskriminasi. Bahkan sampai ada yang berlinang air mata saat mengisahkan nasibnya. Maka dari itu, baik anda yang pernah jadi korban perlakuan diskriminatif maupun yang belum, janganlah pernah melakukan diskriminasi.
Barangkali apa yang anda lakukan selama ini sebenarnya termasuk diskriminasi tetapi anda sendiri tidak ngeh. Coba anda introspeksi sekarang. Anda lihat kembali ke diri anda dengan cermat. Apakah anda ternyata diskriminatif? Saya juga akan melakukan hal yang sama seperti anda.
Di dunia kerja, primordialisme (kesukuan) sering terjadi. Ini merupakan bentuk diskriminasi. Mentang-mentang anda orang Jawa, kemudian orang Papua yang baru bergabung kemudian anda tolak. Faktor like dan dislike selanjutnya malah yang menjadi landasan untuk membuat penilaian, bukan unsur yang lebih obyektif, contohnya kinerja. Saya yakin anda pasti akan sangat-sangat-sangat sakit hati bila anda dianggap tidak berprestasi hanya gara-gara anda orang Sunda sementara atasan anda dari suku yang berbeda.
Bentuk diskriminasi yang lebih luas lagi misalnya rasisme. Bentuk ini bahkan bukan hanya masalah suku tetapi bisa bisa menyangkut bahasa, warna kulit, agama, dan banyak hal lain. Bagaimana sikap yang akan anda ambil bila ada orang yang menilai anda ini tolol atau kerjanya pasti lambat hanya gara-gara badan anda gendut? Saya tidak menyalahkan anda bila kemudian anda memperkarakannya secara hukum.
Perilaku diskriminatif ini bisa muncul dan dilakukan oleh siapa saja. Lebih-lebih bila dia memiliki sesuatu kelebihan. Hal itu akan lebih memungkinkan terjadi. Misalnya antara atasan dengan bawahan, orang kaya dengan orang miskin, mahasiswa pintar dengan mahasiswa bodoh, wanita cantik dengan yang biasa-biasa saja, cewek langsing dengan yang gembrot. Apalagi selain kebetulan memiliki kelebihan orangnya juga sombong, sok kuasa, dan tengil. Makin menjadi-jadi deh.
Sudah saatnya saya akhiri tulisan ini. Sebelum itu, saya ingin merekomendasikan sebuah film yang mengisahkan diskriminasi. Sebuah film lama namun saya rasa masih relevan sampai saat ini. Film ini berjudul Mississippi Burning. Salah dua dari pemainnya adalah aktor favorit saya, Gene Hackman dan Willem Dafoe. Pernah nonton film ini? Bagus lho. Kejadiannya memang tidak di sini tetapi film tersebut mengajari penontonnya betapa diskriminasi dapat membuahkan kekejaman-kekejaman.
Baiklah, setelah ini, silakan direnungkan tulisan saya ini sambil menonton Mississippi Burning ditemani sepiring cemilan dan segentong air putih.