Site icon Wong Kam Fung

Di Mana Kepalaku?

Tadi malam saya lupa memasukkan motor ke dalam rumah. Paginya, saya bergegas keluar rumah untuk mengetahui nasib motor tersebut. Ketika pintu ke luar sudah terbuka…

Tidak gampang memang menjadi orang pelupa. Mau dicuekin menjengkelkan, menjadi jengkel juga nggak ada gunanya. Tidak merubah keadaan. Lupanya tetap nggak hilang. Anda punya solusi untuk mengurangi kelupaan?

Entah sudah berapa kali saya lupa terhadap sesuatu. Kemarin misalnya, saat ada perlu di sebuah mal saya kehilangan karcis parkir. Saya lupa apakah saya masukkan kantong atau saya taruh di suatu tempat, atau jatuh entah di mana. Yang jelas, karcis itu tidak ada dan tidak bisa saya temukan. Ujung-ujungnya saya harus membayar denda dan biaya parkir agar motor bisa saya ambil. Masih untung motornya dapat diambil tanpa karcis parkir. Jika tidak, saya harus jalan kaki pulang ke rumah.

Kelupaan lain sebelum kejadian dengan karcis parkir lebih merepotkan lagi. terjadinya sehari sebelumnya. Saat itu saya ke Universitas Pakuan. Ketika akan pulang, kunci motor ternyata tidak ada. Seluruh kantong yang saya punya: celana, jaket, baju, sudah saya rogoh dan gerayangi. Kunci itu tidak ketemu. Semua tempat yang saya lewati dan kunjungi kembali saya datangi. Hasilnya juga nihil. Satu-satunya cara agar motor bisa saya bawa pulang adalah dengan mengambil kunci cadangan yang ada di rumah. Oleh karena itu, terpaksa pinjam motor teman yang kerja di kampus itu untuk pulang. Setelah kunci cadangan diambil dan telah kembali, ternyata kunci yang hilang telah ditemukan. Katanya kunci itu tadinya nempel di motor. Kemudian oleh seorang mahasiswa, kunci tersebut diambil dan diserahkan ke salah seorang pegawai sekretariat. Rupanya saya lupa mencabut kunci saat datang. Kunci masih nempel di motor ini bukan kejadian yang pertama. Entah sudah berapa kali.

Setiap mau pergi hampir selalu ada yang terlupakan. Kadang ingatnya waktu masih di rumah, kadang sudah ada di jalan. Bila ingat barang yang terlupakan itu saat belum berangkat, masih mending. Tapi bila sudah di jalan baru ingat, sering jadi jengkel sendiri. Misalnya ketika akan berangkat saya masih ingat harus ambil kunci kontak, helm, dan sarung tangan. Karena sarung tangan saya sebut terakhir, maka barang itu yang saya ambil. Saat sudah ada di atas motor, saya merasa ada yang kelupaan. Setelah mengingat-ingat sejenak, baru ketahuan kalau kunci kontak dan helm belum dibawa. Masuklah saya ke dalam rumah untuk mengambil kedua barang tersebut. Karena helm disebut terakhir, barang itu yang teringat, sedangkan kunci kontak sudah terlupakan. Begitu mau menstarter motor, baru ketahuan bahwa kunci tersebut masih ada di dalam rumah dan lupa dibawa. Akibatnya saya masuk kembali ke dalam rumah untuk mengambil kunci. Ketika akan mengambil kunci, ada hal lain yang saya kerjakan misalnya buang air kecil dulu. Begitu keluar dari kamar mandi, saya sudah melupakan apa yang harusnya saya ambil. Keluarlah saya dari rumah dan duduk di atas motor. Saat hendak menstarter motor, baru ingat lagi jika kuncinya belum diambil. Aaaahhhh… sebegitu parahnya. Jadi kerjaan saya sebelum pergi, mondar-mandir keluar-masuk rumah seperti ingus. Cih!

Masalah nama orang dan nomor telepon jangan ditanya. Tidak gampang bagi saya untuk mengingat kedua hal tersebut apalagi jika jumlahnya banyak. Itulah sebabnya, yang biasa saya lakukan ketika pertama kali bertemu adalah dengan menginformasikan kepada mereka tentang ’kelebihan’ saya ini. Dengan demikian, mereka tidak kaget ketika suatu saat ketemu saya tetapi saya hanya menatap dan bengong. Bukan sengaja melupakan tetapi memang sudah direncanakan. Ah, bukan, bukan. Memang saya benar-benar tidak ingat.

Banyak teknik sudah saya coba, teknik asosiasi misalnya, tetapi hasilnya tidak maksimal. Salah satu cara yang saya lakukan dan cukup membantu untuk mengingat nama adalah dengan mencatat nama orang-orang tersebut. Ketika dari jauh saya lihat orangnya, segera saya buka lagi catatan untuk mencari nama orang yang sebentar lagi saya temui itu. Dengan demikian, ketika sudah berhadapan saya segera menyapa dan menyebut namanya seolah-olah saya sudah hafal betul dengan namanya. Teknik sederhana tetapi cukup menolong. Setidaknya orang yang saya hadapi menjadi senang karena merasa tidak dilupakan. Dan saya tidak dianggap sombong.

Cacatan itulah yang menjadi andalan saya termasuk saat akan belanja. Dengan bermodal catatan belanja, saya bisa selalu melihat satu per satu barang yang sudah dan akan dibeli. Repotnya, meskipun sudah membuat catatan, kadang-kadang ketika sudah sampai di tempat berbelanja, saya lupa membawa catatan tersebut. Kacau jadinya. Yang terjadi akhirnya, saya ambil barang-barang yang saya ingat sudah masuk catatan meskipun sering terjadi juga banyak barang yang sebenarnya tidak masuk daftar belanja tetapi saya beli.

Gampang lupa yang mulai kronis ini bisa jadi karena faktor U. Dari dulu saya memang pelupa tetapi sekarang ini saya merasa makin parah. Makanya saya sendiri tidak heran ketika tadi malam saya lupa memasukkan motor ke dalam rumah. Untungnya, saat esok harinya, motor tersebut masih ’njogrok’ di tempatnya.

Meskipun saya sadar saya ini orangnya pelupa, saya tetap bersyukur. Saya bersyukur kepala saya nempel di badan. Dengan demikian, kemanapun saya pergi, kepala itu akan ikut meskipun saya sendiri lupa membawanya. Jika tidak, barangkali saya akan menanyakan ke anda di mana kepala saya. Tapi gimana cara ngomongnya ya? Kan mulutnya ikut kebawa sama kepala yang hilang itu? Mungkin hanya colek-colek sambil menunjuk-nunjuk leher yang sudah tidak ada kepalanya. Jangan-jangan, bukannya menjawab tetapi anda malah langsung kabur?

Sumber gambar: di sini

Exit mobile version