Jl. Gajah Mada adalah salah satu jalan utama di Semarang yang sering saya lewati. Ketika hendak ke Pasar Johar berburu buku bekas atau ke Tawangsari untuk ngumpul dengan teman-teman kuliah satu angkatan dan satu jurusan yang biasa saling memanggil dengan sebutan Gondez, saya selalu melewati jalan itu. Begitu juga saat pulang dari Pasar Johar atau Tawangsari kembali ke rumah kos, angkutan kota yang saya gunakan kembali melalui Jl. Gajah Mada. Dalam perjalanan pergi atau pulang itulah sebuah rumah makan yang menyajikan menu tunggal berupa tahu pong selalu memprovokasi setiap saya lewat di depannya. Tulisan besar warna merah ”TAHU PONG” menyolok mata saya dan mengejek sekaligus memberi tahu bahwa tempat itu menjual santapan berbahan kedelai yang merupakan salah satu makanan favorit saya.
Aksi provokatif tulisan ”TAHU PONG” itu betul-betul ampuh. Memang, dia tidak bersuara, hanya sebuah frasa merah dua kata, tapi telinga ini terasa mendengar cemoohannya. ”Pengen ya? Sori, menu ini buat orang berduit. Bukan untuk mahasiswa kos-kosan sepertimu. Silakan ngences (ngiler). Boleh datang bila sudah ada uang.” Tidak berdaya saya melawan ejekan tak bersuara itu. Diprovokasi terus menerus seperti itu, keinginan itu kemudian mengkristal menjadi dendam. Sebuah dendam mahasiswa baru yang kos di daerah Pleburan.
Tahu sendiri, yang namanya anak kos pasti kedalaman sakunya terbatas. Sebagian anggaran itu memang digunakan untuk makan. Namun beberapa makanan tertentu termasuk tahu pong, hanya akan terbeli bila tidak makan sehari mungkin dua hari. Saat itu saya tidak berani memilih tidak makan sehari atau dua meskipun demi tahu pong penetes air liur. Saya hanya bisa menahan dan menahan sejak mulai menjadi mahasiswa baru. Hingga saya diwisuda, keinginan menyantap tahu pong Jl. Gajah Mada belum juga terlampiaskan. Tanpa terasa, dendam tahu pong itu sekarang sudah berusia 25 tahun.
Meski sudah begitu lama, saya tetap ingat dengan janji saya. Janji untuk makan tahu pong Jl. Gajah Mada Semarang. Diantar seorang teman, saya masuk dengan gagahnya ke rumah makan tahu pong provokator itu. Tempatnya tidak besar, hanya ada dua meja yang disatukan dengan beberapa kursi mengelilingi meja itu. Ternyata selain itu, di lantai atas warung itu juga disediakan tempat makan yang cukup nyaman. Ada AC di dalamnya untuk melawan hawa panas kota Semarang. Meski tidak maksimal, setidaknya ruangan yang menampung lima meja plus kursi itu masih terasa sejuk.
Anda pernah mencoba tahu pong tersebut?
Tambahan:
Buat sahabat saya yang baik hati, Konthet, terima kasih atas traktirannya. 😉